Ahmad Taher (64 th) mengatakan bahwa di desa Lubuk Belimbing, agama Islam di kembangkan oleh Kiyai Abdurrahman dari Palembang, kemudian H. Kader (83 th) mengatakan bahwa menurut cerita-cerita orang tua, yang mula-mula membawa Islam di Tebat Monok adalah Abdullamad bersama tiga orang temannya berasal dari Muaro Ogan. Disampaikan pula bahwa selain di Tebat Monok, Abdullamad pernah juga mengajar agama Islam di Kesambe, Daspetah, Keban Agung, dan daerah Ujan Mas.
Tokoh yang disebut sebagai pembawa Islam pertama di beberapa daerah seperti yang dipaparkan di atas, setelah dihubungkan dengan mubaligh-mubaligh Islam dari Palembang yang menyiarkan Islam sampai ke pedalaman-pedalaman sesungguhnya adalah tokoh sama, yakni Haji Abdurrahman Delamat. Beliau ini adalah penerus usaha yang dirintis oleh Kyai Haji Abdul Hamid Marogan yang hidup antara tahun 1825-1890.
Menurut DJamaan Nur, Kebudayaan Melayu Bengkulu, memiliki ruh yang sama dengan Kebudayaan Melayu Luar Bengkulu. Karena konsepsi adat istiadat Melayu “ Adat Bersendikan Syara’ Syara’ Bersendikan Kitabullah” bisa dipastikan menjadi titik pembuhul kebudayaan Melayu pada umumnya.
Begitu juga di Rejang Lebong. Dalam konteks ini, Islam telah memberi warna dalam berbagai aspek kehidupan. Hal ini tampak pada aspek bahasa, kesenian, upacara dan tata laku, serta upacara Daur hidup (life cyrcle) yang terdiri atas upacara waktu lahir, masa remaja, kematian, serta kesenian, seperti Syarafal Anam, Hadrah, Beladiri dan arsitektur Masjid.
Ungkapan Adat Bersendikan Syara’ Syara’ Bersendikan Kitabullah mengingatkan orang akan model akulturasi Islam dan budaya lokal Ranah Minang. Hal ini tentu memiliki latar belakang yang jauh secara sejarah dan dalam secara budaya, hubungan masyarakat Rejang dengan orang-orang Minangkabau dapat di telusuri dalam peristiwa-peristiwa berikut:
Orang Rejang sebagai etnik tertua dan terbenyak populasinya telah menerima Bhiku-bhiku dari Pagar Ruyung, yaitu Bhiku Sepanjang Jiwo, bhiku Bembo, Bhiku Bejenggo, Bhiku Bermano sebagai pemimpin-pemimpin Ketuai Empat Petulai, ini terjadi pada masa perkembangannya kerajaan hindu majapahit;
Baik dalam Tambo Minang maupun Tambo Bengkulu, daerah Rejang di kenal sebagai “Ranah Saklawi” Saklawi berasal dari kata se-yang berarti satu dan Kalawi yang berarti saudara perempuan /Ibu. Dalam pola materinial kata Seklawi ini menunjukkan hubungan persaudaraan Ibu yang dekat.
Orang-orang Minang secara demografi masih banyak di propinsi Bengkulu dan juga di Rejang Lebong baik yang tinggal secara turun temurun maupun baru merantau.
Selanjutnya gerakan dakwah dan penyebaran Islam terus berkembang hingga ke pelosok kampung. Pada fase berikutnya muncul dan berkembanglah organisasi-organisasi Islam nasional seperti Perti, Muhammadiyyah dan NU di Rejang. Bukan hanya itu anak Suku Rejang pun mulai sekolah ke pesantren dan pulang menjadi da’i dan guru serta pemuka agama.
Bahkan sebagian anak suku Rejang menikah dengan anak suku lain yang mahir di bidang agama yang kemudian menetap di kemunitas suku Rejang sebagai orang yang mempertahankan nilai-nilai Islam. Keadaan terakhir inilah yang bertahan hingga sekarang.
Adapun perkembangan Islam di Rejang Lebong, secara lebih terorganisir terjadi pada Abad 20 dengan semakin banyaknya Mubaligh/Da’i yang datang ke Tanah Rejang, Mereka yang berasal dari daerah Minangkabu membawa faham Muhammadiyah dan PERTI (Persatuan Tarbiyah Islamiyah) tahun 1930, dan Mubaligh/Da’i yang berasal dari Palembang membawa ajaran NU, (Nahdlatul Ulama) sementara para Da’i dari Jawa membawa Spirit Serikat dagang Islam dalam PSII.