c. Penerapan Yurisprudensi di Indonesia
Â
Soebekti menyebutkan pengertian yurisprudensi sebagai putusan-putusan hakim atau pengadilan yang tetap dan dibenarkan oleh Mahkamah Agung (MA) sebagai pengadilan kasasi, atau putusan-putusan Mahkamah Agung sendiri yang tetap.[11] Sehingga dapat dipahami bawa dalam dunia peradilan, yurisprudensi merupakan keputusan hakim tertinggi terhadap suatu perkara yang diikuti oleh hakim lainnya dalam menyelesaikan kasus yang sama.
Â
Dalam Sistem Hukum Indonesia, yurisprudensi secara yuridis diatur dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Jo. Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 yang menjelaskan bahwa "Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat", di mana pasal tersebut menjelaskan bahwa hakim dalam menjalankan kewenangan absolutnya boleh menggunakan sumber legalitas perundang-undangan berikut tafsirannya dan sumber yang berupa nilai-nilai hukum yang dipatuhi oleh masyarakat [12]. Yurisprudensi penerapan hukum di Indonesia sudah sering dilakukan oleh para hakim dalam memeriksa dan memutus suatu perkara. Mahkamah Agung yang merupakan lembaga peradilan tertinggi dalam sistem peradilan umum dalam hal putusannya memiliki peranan penting untuk dijadikan yurisprudensi oleh hakim di lembaga peradilan di bawahnya.
Â
Mahkamah Konstitusi pun sebagai lembaga tertinggi yang putusannya bersifat final and binding (final dan mengikat), dalam hal ini Majelis Mahkamah Konstitusi juga sering melakukan yuriprudensi dalam memeriksa dan memutus suatu perkara yang secara prinsip memiliki kesamaan. Mahkamah Konstitusi dalam penafsiran hukum yang dituangkan pada putusannya cenderung memasukkan pendapat hukum pada putusan sebelumnya untuk menganalisis suatu perkara dalam pemeriksaannya sebelum memutuskan perkara tersebut. Yurisprudensi sering dipakai sebagai landasan hukum untuk melengkapi suatu penerapan hukum yang tidak diatu dalam peraturan perundang-undangan, di mana dengan adanya standar hukum yang sama, maka dapat diciptakan rasa kepastian hukum di masyarakat, dan mencegah adanya disparitas putusan .[13]
Â
Â
3.2. Belanda
Â