Mohon tunggu...
Muhammad Ichsan
Muhammad Ichsan Mohon Tunggu... Freelancer - Menyukai seni sastra, sosial dan budaya

http://ichsannotes.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Realisme Ala Endah Raharjo: Ironi Mimpi “Wong Cilik”

25 April 2012   18:27 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:07 428
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13353780631711588366

Merasa peraturannya dilanggar, Roy Codet menafsirkan sebagai bentuk pembangkangan yang tak dapat ditolerir olehnya. Antagonis merasa perlu turun tangan langsung, memberi pelajaran keras terhadap keluarga protagonis. Ia pun akhirnya tak segan-segan menggunakan kekerasan khas premanismenya. Gejala sosial apa ini? Mengapa seseorang berhak atas objek (lahan) yang didapat berdasarkan penerapan aturan kekerasan ala hukum rimba? Demikianlah kondisi patologi sosial yang memang ada di realitas faktual. Di suatu masyarakat yang anggotanya membentuk norma-norma tersendiri dalam mengontrol individu lain berdasarkan kekuatan eksklusifitas kelompok (Roy Codet beserta para anggota kriminalnya), maka bentuk penindasan terhadap orang lain dalam berbagai manifestasinya pun terjadi. Pada bagian ini, pengarang mulai mengarahkan cerita merambat naik menuju puncak (rising conflict) melalui suspensi konflik sosial yang dilukiskan di bawah ini:

“Aku sudah lapor Pak RT. Katanya semua orang boleh naruh kios di atas parit. Yang penting ngisi kas seminggu sekali buat keamanan dan jangan mepet-mepet ke jalan. Gitu katanya.” Lastri tidak mau mendengarkan ketika Diman memberi kabar buruk tentang Roy Codet.

“Di sini yang punya kuasa Roy Codet, Lastri. Pak RT cuma ngurus administrasi kampung, nggak tahu aturan main di luaran. Nggak berani dan nggak bisa ngatur Roy Codet,” kata Diman. “Kita nggak punya uang buat beli kapling,” tambah Diman.

“Nggak! Nggak bisa!” Bantah Lastri. “Aku mau bilang Roy Codet kalau Pak RT sudah kasih ijin.”

Perempuan itu bukannya tidak pernah mendengar omongan orang tentang Roy Codet. Ia juga sering miris mendengar bagaimana kejamnya laki-laki itu kalau sampai ada orang yang mencoba menentang aturannya. Tapi ketika aturan itu menghalangi mimpinya yang sebentar lagi menjadi nyata, Lastri tidak mau menyerah begitu saja.

Ia ingin Darto bisa punya sepeda motor dan mengantarnya kemana saja dirinya dan anak perempuannya pergi. Darto juga bisa memboncengkan bapaknya jalan-jalan keliling kota. Sudah lebih tiga tahun suaminya tidak pernah keluar kampung karena tidak ada angkutan umum yang mau berhenti begitu melihat ada orang berkursi roda mencegat di pinggir jalan. Mau naik taksi sudah pasti tidak punya biaya karena mereka bukan orang kaya.

Pembaca yang santai..

Kalau mau jujur, kita mengakui bahwa ada dua jenis kewenangan yang berlaku dan mengendalikan suatu equilibrium sosial. Pertama, kewenangan yang didapat individu terpilih melalui jalur resmi. Kedua, kewenangan yang didapat individu ”licin” melalui jalur bebas hambatan yang penting bisa ngebut dengan kecepatan bertindak yang mampu mendahului kewenangan resmi. Kewenangan berkecepatan tinggi dengan daya libas massif khas Roy Codet ini memang ada di kenyataan sebenarnya. Ini sejenis pengaruh yang bertendensi menguasai orang lain dan lingkungan di sekitarnya dengan pola reaksi yang progresif, rentan penggunaan kekerasan di lapangan─premanisme. Akibat dari apa ini? Tentu hal ini sebagai hasil tidak berfungsinya kewibawaan wewenang resmi yang dipercayakan pada Pak RT─pemegang kontrol lingkungan yang resmi. Mengapa? Karena terlalu fokus dengan sistem birokrasi, hanya berkutat dengan administrasi dan data-data di atas kertas. Juga disebabkan oleh suatu kultur melayani masyarakat yang kurang responsif. Kita semua tahu dan dapat dengan jelas melihat gejala ini. Pengarang pun juga memahaminya, sebagaimana yang ia lukiskan melalui penjelasan naratif berikut:

“Aku sudah lapor Pak RT. Katanya semua orang boleh naruh kios di atas parit. Yang penting ngisi kas seminggu sekali buat keamanan dan jangan mepet-mepet ke jalan. Gitu katanya.” Lastri tidak mau mendengarkan ketika Diman memberi kabar buruk tentang Roy Codet.

“Di sini yang punya kuasa Roy Codet, Lastri. Pak RT cuma ngurus administrasi kampung, nggak tahu aturan main di luaran. Nggak berani dan nggak bisa ngatur Roy Codet,” kata Diman. “Kita nggak punya uang buat beli kapling,” tambah Diman.

Bagaimana implikasinya secara langsung terhadap individu tertentu di kelompok sosialnya bila yang berkuasa di lingkungan setempat adalah pengaruh yang berasal dari kekuatan semena-mena? Tentu saja benturan. Baik berupa pertentangan individu dengan sesamanya, mau pun pertentangan individu berhadapan langsung secara frontal dengan kekuasaan yang semena-mena tersebut. Benturan ini juga mengakibatkan kekecewaan individual yang membangkitkan tindakan langsung tanpa pertimbangan lagi. Sebab, seseorang merasakan kekangan ketika meraih hak individualnya dalam mewujudkan cita-citanya sebagai aktualisasi diri di lingkungan sosial. Ia pun merasa lebih baik melawan tekanan ini daripada cita-citanya pupus tanpa upaya sama sekali karena menyerah kalah. Demikianlah yang diilustrasikan pengarang untuk membicarakan betapa sakitnya, betapa kecewanya Lastri bila angan-angan indahnya terhalang oleh Roy Codet dengan kesewenang-wenangannya. Maka, Lastri bertindak nekad sebagai kompensasi psikologis atas kekecewaan yang teramat getir dirasakan, sekalipun ia menyadari resiko yang bakal dihadapinya. Biarpun ia tahu dan pernah mendengar bahwa tangan besi Roy Codet tak sungkan-sungkan akan melibas dirinya dengan perlawanan yang ditujukan langsung pada gembong copet itu. Lastri muntab dengan emosi yang mengkelami benak dan akal-sehatnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun