Mohon tunggu...
Muhammad Ichsan
Muhammad Ichsan Mohon Tunggu... Freelancer - Menyukai seni sastra, sosial dan budaya

http://ichsannotes.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Realisme Ala Endah Raharjo: Ironi Mimpi “Wong Cilik”

25 April 2012   18:27 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:07 428
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13353780631711588366

Pengarang menerangkan secara tersirat pula melalui penolakan Darto yang tak sudi lagi bersengsara-ria di gunung sebagai wujud kebulatan tekad yang ambisius merealisasikan impian tokoh utama cerita. Selain itu, pengarang juga menjelaskan dukungan moril untuk perwujudan ambisi tokoh utama telah ada dalam bentuk militansi anggota keluarga yang rela mengorbankan uang simpanan hasil usahanya sendiri─celengan Darto.

Sehubungan dengan menularnya virus impian Lastri memiliki kios terhadap anggota keluarganya yang lain, saya menginterprestasikannya sebagai ekspresi pelarian psikologis, suatu fantasi yang mengandung hasrat terpendam dan berasal dari alam bawah sadar yang ingin terlepas dari jerat kemiskinan yang telah mencekik sedemikian lama. Ungkapan lazim yang sering kita dengar sehubungan dengan ini adalah ”Terkadang lebih nikmat makan roti di alam mimpi daripada terus-menerus makan singkong rebus di kenyataan sebenarnya.” Biasanya, fantasi ini terjadi pada diri individu yang tak berdaya sama sekali untuk mewujudkan keinginannya dikarenakan faktor-faktor tertentu, misalnya cacat fisik. Pengarang melukiskan khayalan nikmat untuk sejenak lepas dari sesak akibat dera berkepanjangan ini melalui wujud sikap berpanjang angan-angan yang dilakonkan suami sang protagonis. Fantasi melarikan diri dari kenyataan ini juga kerapkali terjadi pada diri individu yang kejiwaannya masih berkembang dan belum stabil. Lazimnya ini sering terjadi pada remaja. Bisa dilihat dari melambungnya angan-angan Darto ingin punya sepeda motor padahal baru mendengar perencanaan membuka kios.

Tetapi, lain cerita bila fantasi jenis ini merasuk ke dalam diri individu yang mungkin bisa mewujudkannya. Ada kemungkinan tindakannya lebih berani menempuh resiko yang besar karena termotivasi. Pengarang menayangkannya sebagai prilaku Lastri yang mau meminjam uang untuk modal berjualan tersebut dengan ’lintah darat’. Tokoh utama digambarkan berani mengambil keputusan itu walaupun ini dicegah anak sulungnya yang menawarkan alternatif jalan keluar persoalan. Pembaca yang santai...

Kini kita tiba membahas tentang peningkatan derajad konflik cerita. Ini ada hubungannya dengan realitas faktual dari hukum sosial tersendiri dalam mengatur pelaksanaan kontrol / kuasa dari individu tertentu terhadap anggota sesama kelompok sosialnya. Mari lihat dan sibak apa gerangan yang tersirat melalui ilustrasi berikut ini:

Dengan susah payah Diman keluar dari rumah. Kursi rodanya tersangkut pada kusen pintu. Ketika Darto hendak membantu dari belakang, tiba-tiba kursi roda itu terpental kembali ke belakang diikuti dengan hardikan.

“Kamu jangan coba-coba nyuri milikku ya!!!” Seorang laki-laki dengan wajah penuh bekas luka berkecak pinggang di depan pintu.

Ia adalah Roy Codet, gembong preman yang menguasai hampir seluruh preman dan pencopet yang beroperasi di bagian selatan kota. Seisi kampung mengenalinya karena seminggu sekali laki-laki berotot itu datang mengunjungi salah satu simpanannya yang tinggal di kampung itu. Kedatangannya ke kampung itu selalu didahului oleh suara knalpot motornya yang menggelegar menggetarkan kaca-kaca jendela rumah-rumah kampung yang berhimpitan itu.

Salah satu kakinya yang terbungkus sepatu boot kulit dengan kancing logam berderet-deret menekan bagian depan kursi roda Diman. Wajah Diman pucat pasi dan kepalanya tertunduk dalam-dalam.

“Kamu harus beli kapling di atas parit itu kalau mau jualan!” teriaknya di sela-sela kepulan asap rokoknya. Ia menyebut sejumlah angka. Kemudian sebelum pergi sekali lagi ditendangnya kursi roda Diman hingga laki-laki lumpuh itu nyaris terjungkal.

Baiklah kita menganalisa deskripsi yang mengandung konflik sosial yang bertendensi kekerasan sebagaimana yang dilukiskan pengarang di atas.

Tokoh antagonis dalam cerita, Roy Codet, merasa sebagai pihak yang berpengaruh dan memegang kendali atas dasar kekuatan yang dimiliki. Oleh karena itu, ia mendistribusikan pengaruhnya melalui pembuatan aturan sepihak yang menguntungkan dirinya (sewa atau pun jual-beli lapak berjualan─sistem perpajakan jalanan) tetapi membatasi hak individu lain di lingkungan sosial yang sama. Pengarang memang tak menjelaskan bagaimana antagonis mendapat informasi tentang keluarga protagonis yang ingin berjualan di lapak kosong. Tetapi, pembaca yang santai bisa memahami secara tersirat melalui penjelasan pengarang, yakni melalui berita burung yang mungkin tersebar dan diterangkan pula bahwa sebagai gembong copet, Roy Codet sendiri punya banyak anak buahnya termasuk di kampung tempat tokoh utama berdomisili.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun