Di sepanjang Kali Bathang ada jalan kecil yang selalu dipadati pengendara motor; mereka bisa menghemat waktu sampai 10 menit menuju jalan utama lingkar selatan. Tiga bulan lalu kampung itu mendapat dana bantuan yang disalurkan ke kampung-kampung oleh pemerintah kota. Sebagian warga yang sering membaca koran di halaman kantor kelurahan tahu dana itu tidak tepat disebut bantuan. Menurut berita, hutang luar negeri itu angsurannya dibebankan itung gundul pada semua rakyat. Tak peduli kaya atau melarat.”
Jelas sekali bukan? Keadaan sesak penuh polusi berbaur dengan sempitnya ruang hidup, suasana kumuh, yang secara otomatis mengkarakterisasi identitas sosial penghuninya dengan adat-kebiasaan bertipikal kasar dan rentan kekerasan. Bahkan, gambaran ini diperjelas lagi dengan keterangan dan pola komunikasi yang kerapkali dipakai yakni kalimat yang bernada makian untuk menyampaikan pikiran dan perasaan tiap individu dalam interaksi antar personal.
”Wooo, jelalatan kayak setan!” pekik bapak si anak.
”Di kampung pinggir sungai itu orang terbiasa memaki, tak ada yang peduli. Penghuninya sebagian besar pendatang dari desa atau kota lain yang menganggur, bekerja serabutan jadi buruh bangunan, pedagang asongan, penjaja makanan keliling, pelacur, hingga pencopet.”
Latar belakang tempat berlangsungnya cerita diterangkan terjadi di kampung pinggir sungai. Kali Bathang yang membelah kampung kumuh tersebut menggambarkan suasana ruang sesak padat dimana menjadi ”tanda pengenal” khusus para penghuninya yang berprofesi pekerja kasar dan pelaku kriminal. Ini secara tersirat merujuk pada identifikasi diri secara kolektif bahwa kaum marjinal yang digambarkan seolah-olah punya ”hukum sosial tersendiri” terlepas dari segala aturan yang berlaku. Maka, karakteristik nyata mereka dilukiskan juga oleh pengarang sebagai kelompok masyarakat yang gemar melanggar hukum positif karena terkondisi tekanan hidupnya yang keras, sebagaimana yang disimpulkan dalam proposisi ini:
”Kampung itu juga menjadi langganan tetap penggerebekan polisi.”
Apakah ada tipe kelompok masyarakat yang demikian di kenyataan sehari-hari sebagaimana dilukiskan pengarang dalam cerpennya ini? Tentu ada dan banyak sekali contohnya. Sebagaimana kita ketahui bahwa semakin cengkeraman kuku kesulitan ekonomi kukuh merengkuh masyarakat di pelosok-pelosok terpencil, semakin tinggi biaya hidup yang berkontradiksi dengan lemahnya kemampuan ekonomi rakyat miskin tersebut; maka semakin tinggi angan mereka melambung ke lengkung langit agar lepas dari penderitaan. Lalu, ditempuhlah cara pindah ke daerah-daerah lain, ke kota-kota besar dengan berbondong-bondong, terjadilah urbanisasi besar-besaran. Pengarang menyaksikan hal ini juga. Ia melihatnya dan melukiskannya kembali dalam karya sastranya yang realistik.
Akibat dari urbanisasi ini tak lain muncullah kelompok masyarakat pinggiran dengan suatu budaya baru sebagai hasil pengkondisian interaksi timbal-balik dengan lingkungan sosial baru pula. Namun, tentu saja budaya baru (budaya urban pinggiran) yang merupakan pembauran bawaan adat-istiadat lamanya terkesan pragmatis, karena yang terpenting bisa bertahan hidup sementara waktu. Pengarang, Endah Raharjo melukiskan tentang hal ini dalam deskripsi berikut:
”Sungai yang melintas di pinggir kampung itu terbelah menjadi dua dan kembali bertemu di ujung selatan kampung. Anak sungainya yang kecil selebar sekitar dua meter, seperti parit, masuk meliuk ke dalam kampung. Orang-orang menyebutnya Kali Bathang karena limbah rumah tangga yang disalurkan ke parit itu menimbulkan bau menyengat seperti bangkai. Selain itu anak-anak kecil dan laki-laki dewasa sering buang hajat besar dengan cara langsung berjongkok di tebingnya.”
Apa sebab orang-orang dalam cerpen ”Satu Kali Dua Meter” yang ditulis pengarang memiliki perangai buruk (mengotori lingkungan sekitarnya, berak berparade, berjejer-jejer semaunya di tebing tanpa tahu malu) sebagaimana yang dilukiskan? Tentu ini adalah suatu adat kebiasaan yang tercipta akibat prinsip ”manfaatkan dulu apa yang ada”. Inilah budaya urban pinggiran yang mencoba bertahan hidup dengan memfungsikan fasilitas alami di sekitarnya secara ekstrim.
Bila kita tinjau dari perspektif psikologi sosial tentang hubungan bagaimana bisa suatu norma (etika) tak berlaku dengan kaum pinggiran, maka kita akan melihat bahwa tiap individu di kelompok sosialnya akan membentuk persepsi tersendiri dengan lingkungan tempat tinggalnya berdasarkan kebiasaan-kebiasaan yang dicontohkan oleh para penghuni lain yang berada di tempat yang sama secara in-group. Lebih sederhananya lagi begini, bagaimana bisa seseorang mau ”sok sopan, tertib dan beretika” dalam berprilaku jika orang lain di sekitarnya lebih cenderung bertindak sebaliknya? Jadi, jangan heran kalau melihat orang pinggiran kelakuannya super cuek dan kreatif seperti berak di tepian sungai saat orang banyak melintas di depannya, dan membuang sampah di dalam sungai tersebut. Ini sudah biasa karena sesuatu yang telah dilembagakan sebagai norma baru: pragmatisme ekstrim yang dilakukan secara kolektif sejak lama. Prilaku pragmatis yang ekstrim ini selanjutnya menjadi penanda identitas sosial mereka juga. Maka, masyarakat lain pun membentuk opini publik untuk menyebut watak sosial kaum pinggiran tersebut yang tendensius bernada negatif. Pengarang secara lihai telah melukiskan pula tentang hal ini. Penggunaan kata ”bathang” yang dalam bahasa Jawa berarti bangkai secara semiotis merujuk pada pengertian pendapat umum dengan ”cap miring” untuk diberikan kepada karakter tipikal kolektif penduduk pinggiran kota yang kumuh. Pembaca yang santai..