Salah satu angan-angan yang dipendamnya sejak lama adalah memiliki kios untuk berjualan bensin, rokok, majalah dan pulsa. Namun Lastri tidak punya koneksi untuk mengkapling kakilima yang terdekat dari kampungnya. Hidup di kota semakin keras saja, bahkan untuk berdagang di kakilima perlu koneksi untuk menyewa atau membeli kapling satu kali dua meter.
Kini di kampungnya ada ruang gilar-gilar di pinggir jalan kecil yang ramai, yang tidak ada pemiliknya. Angan-angan Lastri untuk memiliki kios segera menjadi nyata.
Darto, anak sulungnya yang lulusan SMP dan tidak bisa meneruskan sekolah berharap bisa menjaga kios itu sementara pagi hingga sore Lastri bekerja. Sore hingga malam, Lastri bisa menggantikan anaknya. Punya kios sendiri pasti untungnya lebih besar, pikir Lastri. Pembaca yang santai..
Mencermati proses bagaimana angan-angan individual (impian Lastri) menggelembung menjadi ambisi setelah melakukan suatu verifikasi sosial terhadap lingkungan di sekitarnya, dapat kita pahami secara skematis sebagaimana yang diperlihatkan di bawah ini:
A dan C = Awalnya Lastri dan keluarga miskinnya termotivasi dan berhasrat lepas dari himpitan kesulitan hidup (cita-cita dan tujuan pribadi).
B = Lastri dan keluarganya melihat suatu perubahan di lingkungan sosialnya yakni pemasangan dak beton menutup Kali Bathang, menyediakan ruang untuk berjualan (menimbulkan keinginan kuat untuk mewujudkan cita-cita sebelumnya).
A dan B = Jika tokoh utama ingin merealisasikan cita-citanya, maka ia harus mengarahkan kegiatan dan pikirannya ke usaha tersebut secara lebih aktif dan terarah (reaksi ambisius akibat hasrat terpendam dan peluang emas yang memuluskan jalannya). Apa sebab?
B dan C = Karena di lingkungan sosialnya yang telah berubah memberikan kemungkinan-kemungkinan untuk mewujudkan impiannya tersebut, ditambah lagi ia punya SDM yang bisa diandalkan dan kesempatan memiliki kios dulunya yang begitu sulit karena mesti ‘mengkavling’ telah terbuka (angan-angan menjadi ambisi).
Bagaimana bila upaya ambisius dalam rangka merealisasi impian tokoh utama ini mendapat rintangan, baik hambatan yang kecil maupun yang besar? Bisa diduga reaksi selanjutnya adalah serangkaian tindakan progressif yang bersifat mendobrak. Hal ini bisa berbentuk baik tindakan personal yang dilakukan sendiri, maupun aksi yang meminta dukungan penuh dari orang-orang terdekatnya (militansi). Kalau boleh meminjam hukum Archimedes tentang benda yang ditenggelamkan: semakin lama terbenam oleh derita kemiskinan yang dialami tokoh utama dan keluarganya, maka reaksi progressif revolusioner untuk melompat keluar dari kubangannya pun semakin kuat mendorong. Dalam hal ini pengarang menggambarkannya melalui teknik gradasi alur cerita yang sedemikian halus. Jujur saja saya sendiri pun mesti berulang-ulang mencermatinya. Mari kita simak ilustrasi selanjutnya.
“Darto suruh pulang ke gunung saja,” pinta emak Lastri yang masih kuat menanam singkong, jagung, kacang dan apa saja yang bisa tumbuh di ladang di atas gunung yang menjadi gantungan hidupnya.