Mohon tunggu...
Muhammad Ichsan
Muhammad Ichsan Mohon Tunggu... Freelancer - Menyukai seni sastra, sosial dan budaya

http://ichsannotes.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Realisme Ala Endah Raharjo: Ironi Mimpi “Wong Cilik”

25 April 2012   18:27 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:07 428
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13353780631711588366

Selanjutnya, pengarang sedikit menyindir melalui deskripsi ironi dramatis tentang fenomena pembohongan massal yang dilakukan ”elit” atau mereka yang ”berkuasa”.

”Tiga bulan lalu kampung itu mendapat dana bantuan yang disalurkan ke kampung-kampung oleh pemerintah kota. Sebagian warganya yang sering membaca koran di halaman kantor kelurahan tahu bahwa dana itu sebenarnya tidak tepat disebut sebagai bantuan karena merupakan hutang dari luar negeri yang angsurannya dibebankan itung gundul pada semua rakyat. Tak peduli kaya atau melarat.”

Kita semua tahu bahwa hutang luar negeri Indonesia kepada lembaga internasional pemberi bantuan sudah sedemikian menumpuk. Pengajuan hutang luar negeri ini sebenarnya bukan untuk percepatan pembangunan, pemerataan untuk kesejahteraan rakyat, tetapi lebih untuk diprioritaskan pada kelompok-kelompok tertentu yang dekat dengan ”ring of power”, yang tak lain adalah para kapitalis, elit politik. Untuk rakyat biasanya hanya remah-remah sisa yang diperebutkan setelah disunat sana-sini. Ironisnya, beban hutang luar negeri ini ternyata memang ditanggung semua rakyat Indonesia, bahkan bayi yang baru lahir pun juga terkena dikarenakan pencicilan untuk melunasi hutang-hutang bertumpuk tersebut sungguh jangka waktunya sangat lama (istilah simbolik dari pengarang: itung gundul). Sekedar untuk menina-bobokan sementara waktu, maka dibuatlah macam-macam program pemberian bantuan untuk rakyat miskin. Citra yang ingin ditampilkan adalah ”elit” memiliki kepedulian pada rakyat banyak. Ah, sungguh itu sebuah pencitraan belaka maksud sebenarnya! Ini juga salah satu realitas faktual yang ingin disampaikan pengarang dalam cerpennya tersebut, dan pengarang berhasil mengutarakannya sembari membangun suasana cerita yang hidup atas kondisi riil yang terjadi. Pembaca yang santai..

Kalau kita mau membuka mata dan melihat dengan cermat, sungguh di kehidupan sehari-harinya, antara individu terjadi persaingan dengan individu lain di kelompok sosialnya. Dalam konteks ini, siapa yang berhasil merebut pengaruh dan mengontrol keadaan tempatnya bersosialisasi tersebut, maka dirinya lah yang berkuasa. Suatu hukum sosial tersendiri biasanya tercipta atas dasar persaingan kepentingan yang menyebabkan suatu antagonisme. Dalam kondisi sosial yang antagonistik tersebut, cita-cita dan impian seorang individu berkonflik secara intens dengan lingkungan sosialnya. Disinilah kekuatan pengarang yang brillian memaparkannya melalui ”impian Lastri”. Tokoh utama cerita menyaksikan bahwa ada jalan keluar yang bisa ia tempuh dari kesulitan hidupnya sebagai urban setelah melihat keadaan lingkungannya yang baru saja dibenahi. Konflik psikologis yang berhadapan dengan konflik sosial diintrodusir dari angan-angan protagonis yang berpengharapan besar menemukan ”lahan hidup baru” agar bisa sedikit bernapas lega. Mari simak penjelasan naratif berikut ini:

“Dananya untuk nutup Kali Bathang saja, Pak RT!” Begitu salah satu usulan yang dilontarkan oleh para warga yang rumahnya berada di sekitar parit. Setelah melalui beberapa kali rapat warga, maka tak lama kemudian jadilah Kali Bathang ditutup dengan pasangan beton.

Selain bau bacin hilang, di atas parit itu kini ada ruang kosong selebar sekitar dua meter sepanjang parit hingga ke ujung kampung, kira-kira 200 meter.

Lastri ingin memanfaatkan sebagian dari ruang yang dianggap tak bertuan itu.

Secara struktural, kita tahu memang penguasa resmi di lingkungan setaraf Rukun Tetangga adalah Ketua RT. Bila ada instruksi di atasnya untuk melaksanakan program tertentu dari pemerintah, maka Ketua RT mengadakan musyawarah dengan penduduk setempat. Dalam konteks ini, setelah dicapai kesepakatan dengan warga, dana bantuan yang sebenarnya hutang itu dimanfaatkan untuk perbaikan lingkungan, menutup Kali Bathang. Lastri sebagai penduduk kampung tersebut melihat hasil dari perubahan ini. Ia melihat ada ruang untuk memulai suatu usaha kecil-kecilan yang menurut prediksinya; nanti usaha tersebut bisa mengeluarkan keluarganya dari lubang sempit kesulitan hidup.

“Kita bisa jualan, Kang! Kita jadi bikin kios, Kang!” setengah menjerit Lastri menubruk tubuh suaminya yang tergolek di lantai beralaskan kasur tipis usang. Wajahnya berbinar-binar memandangi mata suaminya yang terpejam sembari bibirnya menggumamkan doa. Di kampung itu Lastri sekeluarga merupakan bagian dari minoritas yang masih percaya pada doa.

Lastri yakin dan percaya kesulitan perekonomiannya bisa ia atasi (diisyaratkan oleh pengarang melalui tokoh utama cerita dan keluarganya percaya pada do’a yang dipanjatkan─tangan-tangan misterius Tuhan akan membantunya), kelak dengan berjualan di lapak kecil tersebut (ruang yang dianggap tak bertuan itu) merupakan satu-satunya jalan terbaik lepas dari himpitan kemiskinannya. Manusiawi sekali, bukan? Dari sini berkembanglah suatu angan menjadi ambisi pribadi si tokoh utama cerita. Ini dijelaskan pengarang melalui penayangan ulang latar belakang yang menyebabkan kemiskinan keluarga tokoh utama cerita (sang suami, tulang punggung keluarga tak berdaya, mengalami kelumpuhan total). Kemudian, pengarang mengerucutkannya kembali menjadi kesimpulan bahwa impian Lastri, si protagonis, telah menggelembung menjadi hasrat berapi-api setelah melihat kemungkinan realisasi cita-citanya ( gilar-gilar yang tak ada pemilik itu ’memungkinkan’ keinginan Lastri memiliki kios segera menjadi nyata, dan sang anak sulung sebagai sumber daya mungkin akan berkenan membantu).

Tiga tahun lalu, karena jatuh dari atas atap bangunan lantai tiga, Diman, suami Lastri yang buruh bangunan itu lumpuh total. Sejak itu, perempuan buruh cuci itu menjadi tulang punggung keluarga dan memilih berteman dengan kesusahan hidup, karena setiap kali mencoba melawan, ia selalu terkalahkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun