Mohon tunggu...
Muhammad Ichsan
Muhammad Ichsan Mohon Tunggu... Freelancer - Menyukai seni sastra, sosial dan budaya

http://ichsannotes.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Realisme Ala Endah Raharjo: Ironi Mimpi “Wong Cilik”

25 April 2012   18:27 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:07 428
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13353780631711588366

Darto menolak. Pikirnya untuk apa bekerja di ladang yang tampaknya segunduk gunung tapi hasilnya jauh lebih sedikit daripada satu kali dua meter tanah di pinggir jalan di kota. Dengan kios ukuran satu kali dua meter Darto yakin bisa mendapat minimal 25.000 rupiah bersih tiap hari. Berlipat kali lebih banyak daripada menanam singkong di gunung yang setelah beberapa bulan hasilnya belum tentu bisa ditukar beras.

“Aku mau, Mak, bikin kios buat jualan pulsa,” kata Darto. “Uangnya buat beli sepeda motor, ya, Mak.” Belum-belum pemuda kurus tujuh belas tahun itu sudah bermimpi.

Kalau punya sepeda motor, tiap pagi dia bisa mengantar adik perempuannya ke sekolah dan kenalan dengan teman-temannya yang manis-manis itu. Mungkin dia bisa sekali-kali memboncengkan salah satu di antara mereka. Angan-angan anak sulung Lastri melambung tinggi.

“Aku mau utang sama Yu Minah, Kang. Buat bikin kios,” gumam Lastri sambil ngeluk boyok, meluruskan punggungnya karena penat seharian mencuci dan menyeterika. Sambil mengelus-elus kaki lumpuh suaminya, Lastri memandangi Darto yang menggelesot di sampingnya, menonton TV yang layarnya buram.

Walaupun bila dirasa-rasakan hidup Lastri cukup pahit, tapi ia rajin bersyukur karena dua anaknya berperilaku manis. Begitu tahu tidak bisa meneruskan sekolah, Darto langsung bekerja serabutan. Apa saja dia kerjakan yang penting halal dan bisa menghasilkan uang.

Pernah pada musim liburan di bulan Desember, ketika hujan mengguyur kota setiap hari, dia menggenjot sepeda ke pusat pertokoan terbesar di kota sejauh 5 kilometer untuk menjadi ojek payung. Tapi kegiatan itu ia hentikan karena preman di sana tidak mengijinkan anak-anak dari luar ikut masuk ke daerah kekuasaan mereka.

“Aku punya celengan sedikit, Mak, bisa dipakai dulu,” Darto menawarkan tabungannya. “Nggak usah pinjam sama Yu Minah. Nanti nyicilnya repot. Kalau kita bolong sekali saja rentenir itu tiap hari pasti teriak-teriak di depan rumah.”

Darto bangkit mengambil celengan yang disimpan di ruang sebelah yang biasa dipakai tidur Lastri dan anak perempuannya. Rumah kecil itu punya tiga ruangan dan yang paling kecil dipakai untuk dapur. Mereka tidak punya kamar mandi. Setiap hari mereka harus ke sumur umum milik kampung untuk mandi, buang hajat dan mencuci. Setiap hari pula Lastri dan Darto bergantian membantu Diman mandi dan buang hajat. Lastri lebih sering mandi di rumah majikannya. Untuk masak dan minum, sepulang kerja Lastri selalu menggendong dua galon penuh air yang diambil dari sumur atau ledeng majikannya.

Kontraktor yang dulu mempekerjakan Diman memberinya kursi roda. Setiap hari ia membantu Lastri menyeterika cucian kering yang dibawa pulang. Sambil memejamkan mata Diman membayangkan calon kios kecilnya yang di dalamnya harus diberi kursi dan tikar agar dia bisa ikut menjaga bergantian dengan Lastri dan Darto. Senyumnya terkembang. Digenggamnya tangan Lastri yang tengah memijit-mijit lututnya, tangan-tangan yang kering dan kasar.

Dapat kita lihat bersama, bukan? Pengarang melukiskan Lastri dan keluarganya dari dulu telah hidup melarat. Sebagai keturunan dari keluarga yang melarat pula, universitas kehidupan mendidik mereka agar dapat bertahan dengan semangat juang yang tinggi dan saling membantu. Secara tersirat mereka dilukiskan pengarang sebagai keluarga urban miskin yang mengadu nasib di kota dengan segala daya upaya. Sifat memberdayakan segala kemampuan dan kekompakkan ini dilukiskan pengarang melalui suasana kehidupan sehari-hari bersahaja dari keluarga tokoh utama cerita.

Ketika orang tua Lastri meminta anaknya, Darto, pulang ke dusunnya untuk bertani di pegunungan, saya menafsirkannya sebagai upaya pengarang untuk mengkonfrontasikan impian protagonis dengan latar belakang kehidupan awal sebelumnya. Yang tentu saja sebagai cara menghadirkan konflik sosial dalam cerita secara halus.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun