Mohon tunggu...
Muhammad Ichsan
Muhammad Ichsan Mohon Tunggu... Freelancer - Menyukai seni sastra, sosial dan budaya

http://ichsannotes.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Realisme Ala Endah Raharjo: Ironi Mimpi “Wong Cilik”

25 April 2012   18:27 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:07 428
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13353780631711588366

Kita mengetahui dengan membaca sebuah hasil cipta sastra, kita merasakan suatu pengalaman baru yang dapat membawa perubahan pada pola pikir dan prilaku. Mengapa? Karena di dalam karya sastra yang baik dan sedang kita nikmati melalui pembacaan yang cermat, kita menemukan persoalan hidup yang tengah dikemukakan oleh pengarang sastra sehingga kita bisa membuat studi perbandingan untuk memperbaiki diri. Persoalan hidup yang bagaimana? Nilai-nilai kebenaran universal seperti apa kiranya yang didapat melalui membaca karya sastra dengan berbagai jenrenya itu? Ada cinta, ambisi, kebencian, sikap welas-asih, tendensi individualistik dan banyak lagi yang diungkapkan di dalam karya sastra. Semua ini benar-benar terjadi di masyarakat. Bagaimana bisa? Sedangkan karya sastra tak dapat terlepas dari kecenderungan khayali karena daya imajinatif dalam proses penciptaannya. Pengarang mendayagunakan imajinasi intelektualnya memaparkan kembali apa yang sebelumnya dialami, dihayati untuk mencari hikmah yang terkandung di dalam tiap realitas di masyarakatnya. Sebab sebagai mahluk sosial pengarang juga berinteraksi dengan realitas sosial, ikut terlibat baik secara langsung maupun tak langsung dalam suatu hubungan resiprokal yang terus-menerus. Pengarang sastra melihat bahwa manusia demi cinta (dalam pengertian luas) akan mampu melakukan berbagai tindakan. Misalnya, ia melihat bagaimana cinta seorang ibu demi anaknya, sang bunda mau mengorbankan apa yang terbaik yang dimiliki. Atau, pengarang menyaksikan betapa demi menegaskan keberadaannya yang eksklusif karena memiliki sedikit pengaruh, orang akan semena-mena terhadap orang lain yang mungkin lebih lemah dari dirinya (ambisi pribadi dan eksistensi diri dalam pertentangan antar kelas sosial di masyarakat). Melalui tulisannya, pengarang menyajikan ini setelah sedikit-banyak ia bumbui dengan narasi atau pun kecenderungan puitik agar dapat menarik perhatian pembaca. Pembaca merasa terhibur oleh ungkapan puitik berestetika dalam bahasa sastra sekaligus diberikan pengalaman batiniah yang baru. Tercapailah tujuan pengarang yakni berniat menghibur dan mencerahkan masyarakatnya. Itulah tujuan sastra sebagai hiburan yang mendidik khalayaknya. Demikian juga kiranya sifat mimetik fungsional sebuah karya sastra dengan tendensi realistiknya tersebut. Realisme dalam Cerpen ”Satu Kali Dua Meter”

Pembaca yang santai..

Setelah ingatan kita kembali segar sehubungan dengan pengertian realisme dalam kesusasteraan dan tujuannya, maka kita bisa menelaah bagaimana realisme tergambar dalam cerpen ”Satu Kali Dua Meter” ini.

Ada beberapa petunjuk yang dapat mengarahkan kita untuk melihat refleksi/pencerminan realitas sosial dalam karya pengarang Endah Raharjo ini. Pertama, deskripsi keadaan, adat kebiasaan dan suasana yang diilustrasikannya jelas memaparkan kenyataan yang berhubungan dengan ”identitas sosial” kaum marjinal. Kedua, pola struktur fungsional pembagian kewenangan/pengaruh sosial antar individu di dalam kelompok; terang mendeskripsikan siapa subjek yang menguasai dan siapa saja yang dikuasainya, juga menggambarkan apa objek yang sedang diperebutkan. Ketiga, beragam konflik sosial dan psikologis yang dilukiskan pengarang dengan maksud menekankan hubungan sebab-akibat yang terjadi dari interaksi sosial individu sebagai bagian dari kelompoknya─realitas faktual kaum urban perkotaan.

Apakah pengarang juga seorang sosiolog yang sedang bermaksud menerangkan kondisi riil di golongan masyarakat tertentu yang sedang ia lukiskan melalui karyanya? Jangan ditanyakan lagi soal itu! Pengarang tentu saja seorang memahami kondisi sosial kemasyarakatan yang menjadi material utama bangunan karya sastranya. Berdasarkan sudut pandang sosiologi sastra, jelas sekali bahwa pengarang adalah individu yang meneliti kondisi sosial melalui pengamatan langsung, lalu menguraikan kembali hasil/fakta-fakta dari penelaahan cermatnya ini melalui karya sastra dengan dilengkapi oleh segala sikap dan pandangan pribadinya. Pengarang berkenaan dengan aktifitas penciptaan karyanya yang berdasarkan fakta sosial teramati; ia berperan sebagai ”agen sosial” yang membuka saluran aspirasi komunitas tertentu (dalam konteks ini merujuk pada representasi suara kelompok marjinal), mungkin saja sebelumnya saluran ini tersumbat oleh tembok tebal hierarki kekuasaan sehingga terabaikan. Ia lantas mengambil sikap dengan memposisikan diri sebagai ”penanda” yang mengantarkan benak pembaca ke arah kenyataan sosial sebenarnya sebagai hal yang ”ditandai” olehnya. Sehubungan dengan ini, Dr. Nyoman Kutha Ratna dalam bukunya Sosiologi Sastra (206 : 2003) menjelaskan, ”Sebagai fakta kultural, karya sastra, sebagian atau seluruhnya dianggap representasi kolektivitas, yang secara esensial berfungsi untuk memperjuangkan aspirasi dan kecenderungan komunitas yang bersangkutan.” Tersirat dari penjelasan definitif ini, pengarang melalui karya sastranya yang realistik merasa terpanggil untuk menyuarakan apa yang dirasakan ”kaum pinggiran kota” dengan segala macam permasalahan hidup di lingkungan sosialnya yang sesak. Sikap pengarang yang bertendensi pada kepedulian sosialnya berupaya untuk menemukan cara penyampaian fakta kultural yang ditemui kepada khalayak melalui kreasi seninya─karya sastra.

Pembaca yang santai..

Tadi saya sudah mengatakan bahwa ada beberapa indikator yang mengarahkan kita pada pencerminan realitas sosial dalam cerpen ”Satu Kali Dua Meter.” Mari kita bahas satu demi satu untuk lebih memperjelas pemahaman kita.

Endah Raharjo, seniman yang telah menguraikan ”identitas sosial Wong Cilik” dalam cerpennya ini, mendayagunakan kekuatan deskripsi sapuan terperinci untuk merepresentasikan gambaran realitas faktual teramati olehnya. Mari kita cermati ilustrasi deskriptif menyeluruh yang ia paparkan berikut ini dimulai dari pembayangan awal/abstraksi untuk membangun suasana cerita,

”Dada Lastri kembang kempis dipenuhi rasa girang bukan kepalang. Matanya berbinar-binar memandangi parit di dekat rumahnya yang selama ini menganga dan berbau busuk itu, kini bagian atasnya telah tertutup dak beton.

Lastri berlari menyusuri gang-gang becek, hujan deras habis mengguyur kampungnya dan seluruh kota. Hampir saja ia menabrak tetangganya, yang sedang belajar naik sepeda. ”Wooo, jelalatan kayak setan!” pekik bapak si anak.

Di kampung pinggir sungai itu orang terbiasa memaki, tak ada yang peduli. Penghuninya sebagian besar pendatang dari desa atau kota lain yang menganggur, bekerja serabutan jadi buruh bangunan, pedagang asongan, penjaja makanan keliling, pelacur, hingga pencopet. Yang terakhir itu pun diakui sebagai sebuah profesi, selain membutuhkan ketrampilan, kegiatan hina itu mampu menghidupi. Kampung itu juga menjadi langganan tetap penggerebekan polisi. Sungai yang melintas di pinggir kampung itu terbelah menjadi dua, lalu kembali bertemu di ujung selatan kampung. Anak sungainya yang kecil selebar sekitar dua meter, serupa parit, masuk meliuk ke dalam kampung. Orang-orang menyebutnya Kali Bathang gara-gara limbah rumah tangga yang disalurkan ke parit itu menimbulkan bau menyengat seperti bangkai. Anak-anak kecil dan laki-laki dewasa sering buang hajat besar, langsung berjongkok di tebingnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun