Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kapitalisme Ingin Buruh Bekerja Sampai Mati, Inilah yang Harus Kita Lakukan

1 Mei 2023   06:00 Diperbarui: 1 Mei 2023   07:07 359
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hak-hak buruh bukanlah hadiah dari kapitalisme, melainkan hasil yang diperoleh melalui protes (berdarah-darah) dan negosiasi yang demokratis. Hari Buruh (May Day) adalah sejenis monumen untuk perjuangan tersebut.

Ini mengingatkan kita bahwa pekerja di belahan dunia mana pun memiliki kepentingan yang sama dalam hal upah, tunjangan, keselamatan kerja, dan perlakuan adil. Mereka tak boleh dianggap ada hanya untuk menjadikan orang lain kaya.

Seperti yang pernah dikatakan penulis drama Jerman, Berthold Brecht: "Dua orang - satu kaya, satu miskin - bertatap muka. Kata orang miskin dengan tersentak: Seandainya aku tak miskin, kau tak akan jadi kaya."

Demikianlah, Hari Buruh lebih dari sekadar solidaritas pekerja untuk membela kepentingan mereka sendiri, atau tepatnya kepentingan kita semua, tapi ini juga tentang perjuangan berat dan panjang untuk meraih kebebasan.

Kebebasan mengharuskan mereka terlepas dari kekuasaan sewenang-wenang dan dominasi orang lain, baik majikan ataupun pemerintah, serta pembebasan dari kondisi ekonomi yang tak masuk akal dan beban kerja yang kejam.

Kebebasan dalam arti yang paling kaya, kata Mike Konczal, adalah kesempatan untuk menjalani kehidupan yang kita pilih. Ini juga berlaku untuk dunia kerja. Salah satu cara guna mencapai itu adalah dengan memiliki waktu luang.

Dengan kata lain, para buruh (atau sebetulnya, kita semua) bukan hanya membutuhkan waktu luang yang lebih banyak, tapi terutama lebih berkualitas. Mari saya jelaskan apa maksudnya.

Peringatan: kapitalisme dapat membunuhmu

Sebagai makhluk bernyawa, kita semua sedikitnya punya satu keniscayaan yang sama: mati. Namun, beberapa dari kita lebih rentan mengalami kematian karena ketidaksetaraan sosio-ekonomi dan posisi mereka dalam tatanan kapitalisme yang ada.

Seperti yang kita tahu, kapitalisme mendorong akumulasi kekayaan. Ini berarti, kapitalisme selalu menuntut lebih banyak keuntungan, termasuk pemotongan biaya, yang mengarah pada penurunan upah dan tiadanya tunjangan.

Kapitalisme juga menganggap remeh pekerja. Sistem ini beroperasi dari nilai yang dihasilkan pekerja, tapi tak pernah menghargai mereka secara cukup. Intinya, logika dingin kapitalisme hanya ingin mengeruk sebanyak mungkin nilai lebih dari pekerja.

Salah satu caranya adalah dengan memaksimalkan hari kerja. Menurut asumsi ini, semakin lama buruh bekerja, semakin besar pula keuntungan yang bisa diperoleh. Cara ini terbilang murah karena para kapitalis tak perlu menaikkan upah.

Sebagaimana dipetakan Karl Marx dalam Das Kapital (1867), kerja berlebihan yang dilakukan para buruh bakal membengkakkan barisan cadangan, sementara, sebaliknya, peningkatan cadangan memberi tekanan besar kepada para buruh untuk kerja berlebihan.

Artinya, pekerja harus tunduk pada perintah kapital kalau ingin terus bekerja, sekalipun itu berarti bekerja sampai mati.

Cadangan di sini adalah orang-orang yang sedang mencari lowongan, mereka yang berdiri di luar gerbang pabrik dan bersiap-siap menyerobot masuk kapan pun terdapat celah. Ini sangat berguna buat majikan ketika seorang pekerja mengeluh.

"Kalau kau tak mau pekerjaan ini, atau kalau kau menuntut upah yang lebih tinggi, enyahlah! Ada banyak orang yang dengan senang hati akan menggantikanmu di sini." Dengan kata lain, barisan cadangan dapat berfungsi untuk memeras para pekerja yang membangkang.

Di bawah ancaman semacam itu, para pekerja secara fisik dan mental akan tertekan sampai ke intinya. Para kapitalis, dalam pengertian ini, menambah kekayaannya dari hasil eksploitasi para pekerja. Mereka tak pernah terpuaskan; para pekerja dipaksa harus puas.

Inilah mengapa kapitalisme dapat menjadi faktor penyebab, entah secara langsung ataupun tidak, kematian seseorang.

Beberapa orang meninggal karena kekurangan gizi, kedinginan karena rumahnya digusur untuk sebuah megaproyek, digerogoti penyakit mematikan karena perawatan kesehatan yang terlalu mahal, atau pengangguran akut karena biaya kuliah tak terjangkau.

Dalam konteks kaum pekerja, kapitalisme bikin mereka bekerja terlalu keras dengan gaji atau upah rendah. Durasi kerja (diam-diam) meluas ke setiap sudut dan celah kehidupan masyarakat, dan ini membunuh ratusan ribu orang setiap tahunnya.

Pada 2016, misalnya, sekitar 8,9 persen populasi global (kurang-lebih 488 juta orang) bekerja setidaknya 55 jam per minggu. Dampaknya, sebagaimana ditunjukkan oleh studi gabungan WHO dan ILO, sekitar 745.000 pekerja meninggal karena stroke dan penyakit jantung akibat kerja berlebihan.

Jumlah riil kematian dari mereka yang bekerja sampai mati di bawah kapitalisme sebenarnya lebih tinggi, dan akan lebih tinggi lagi. Bagaimana dengan pekerja tak berdokumen yang meninggal (atau terdorong untuk bunuh diri) karena tekanan kapitalisme yang terlalu berat?

Seperti diungkapkan Lenin, kapitalisme adalah kengerian tanpa akhir.

Masalahnya bukan aturan, melainkan ideologi

Dulu, sebelum adanya gerakan buruh berskala besar, buruh harus bekerja kira-kira 100 jam dalam seminggu. Kini, sebagaimana ditetapkan dalam UUCK, dan ketentuan ini cukup merata di seluruh dunia, waktu kerja berkurang drastis jadi 40 jam dalam seminggu.

Kalau begitu, apakah berarti argumen dan data yang saya sampaikan sebelumnya sudah tak relevan? Ironisnya, masih sangat relevan. Saya menyampaikan data tahun 2016; itu terjadi jauh setelah jam kerja berkurang.

Mengapa, dengan demikian, kematian akibat kerja berlebihan tetap tinggi meskipun durasi kerja sudah jauh berkurang dan dibakukan secara formal? Saya berpendapat bahwa letak masalahnya memang bukan pada aturan, melainkan ideologi.

Kenyataannya, terlepas dari pengurangan jam kerja, kita selalu memiliki banyak pekerja yang senantiasa hadir di tempat kerja, tak peduli mereka sedang sakit, stres, atau lelah. Pokoknya mereka merasa harus terus bekerja, sekalipun itu berarti mengambil pekerjaan sampingan.

Mengapa mereka, setelah diberi kelonggaran jam kerja, tetap bersikeras untuk bekerja terus? Apakah orang-orang ini pada dasarnya memang mencintai pekerjaan mereka? Mungkin. Tapi saya pikir kebanyakan darinya lebih didasari oleh rasa takut dan tidak aman, bukan ketulusan.

Dari mana asalnya kecemasan tersebut? Pendeknya, kapitalisme modern (neoliberal).

Para pekerja (dan sebenarnya kita semua) dicecoki keyakinan hegemonik bahwa kebebasan dan kemakmuran membutuhkan pengorbanan. Dengan kata lain, jika kita mau sukses, maka kita harus berkorban dengan cara disiplin dan bekerja keras.

Saya ingat pernah melihat poster bertuliskan begini: "Kekayaan tidak datang kepada mereka yang bekerja minimal." Sebagian orang mungkin menganggap itu agak lucu dan sepele, tapi keyakinan semacam itu sangat mengakar dalam benak hampir setiap orang.

Keyakinan itu, ketika dipahami berlebihan, bisa turut berkontribusi pada eksploitasi diri. Itu mendorong orang untuk bekerja secara konstan, tanpa akhir pekan, kemudian merasa pekerjaan kedua dan ketiga (dan seterusnya, tak terbatas) sebagai keharusan.

Persaingan, yang secara ekonomi merupakan salah satu penggerak pasar, diartikan sebagai perang melawan semua: seseorang harus mengalahkan orang lain untuk jadi sukses (zero-sum game). "Biarkan orang lain gagal asal saya berhasil" menjadi prinsip utama.

Efek ini menyeluruh, termasuk kepada kaum kapitalis. Kita harus ingat bahwa mereka juga bekerja, dan mereka pun digerakkan oleh ideologi yang sama seperti kaum pekerja (dan kita semua).

Itulah mengapa kebanyakan dari kita, kalau bukan kita semua, tetap terobsesi untuk bekerja sepanjang waktu meskipun jam kerja telah distandarisasi secara hukum. Bisa kita lihat, semua ini begitu rapi dan sistematis.

Kapitalisme memaksa orang, terutama buruh, untuk kerja berlebihan (sebagaimana dikatakan Marx). Jika mereka tak mau, mereka dipecat dan, akibatnya, hilang pendapatan. Secara bersamaan, mereka juga direcoki oleh berbagai keyakinan hegemonik agar mereka "tulus" bekerja keras.

Keyakinan hegemonik tersebut - bahwa setiap orang bisa menjadi apa pun yang diinginkan asal bekerja keras dan patuh terhadap sistem - mungkin bisa membuat kaum pekerja tahan terhadap penderitaan mereka sendiri, setidaknya sementara waktu.

Namun, bagaimanapun, tahan terhadap rasa sakit dan lelah bukan berarti terhindar dari kematian dini.

Saatnya merebut (kembali) hidup kita

Seperti yang sudah kita lihat, para kapitalis biasanya menghubungkan produktivitas dengan jam kerja: makin panjang jam kerja para buruh, makin produktif pula mereka. Keyakinan ini kemudian jadi alat untuk menindas kaum pekerja.

Imbasnya, kaum pekerja sendiri turut percaya bahwa mereka harus bekerja 80 sampai 100 jam seminggu, datang ke tempat kerja pada akhir pekan, mendedikasikan diri mereka secara eksklusif untuk karier atau bisnis mereka.

Itu bukan hanya konyol, tapi juga berbahaya. Faktanya, relasi antara pekerjaan dan waktu luang - beraktivitas dan beristirahat, kesibukan dan hobi - sangatlah penting. Dalam hal ini, waktu luang sama pentingnya dengan pekerjaan.

Beberapa penelitian menemukan bahwa pekerja yang menghargai waktu luang mengalami kepuasan kerja lebih tinggi ketimbang mereka yang hanya memusatkan dirinya pada bekerja. Waktu luang juga bikin orang lebih menikmati hidup dan aktif secara sosial.

Bahkan Bertrand Russell, bersama dengan cendekiawan lain seperti Josef Pieper, berpikir bahwa pada saat-saat santai itulah peradaban tercipta. Waktu luang, secara paradoksal, justru sangat produktif.

Saat mengerjakan "The Last Supper", untuk menyebutkan satu dari seabrek contoh, Leonardo da Vinci secara teratur berhenti melukis selama beberapa jam dan tampak melamun tanpa tujuan.

Ketika pastor Santa Maria delle Grazie mendorongnya untuk bekerja lebih keras lagi, kabarnya da Vinci menjawab dengan kurang sopan tapi akurat: "Orang genius terhebat kadang-kadang mencapai lebih banyak hal saat mereka bekerja lebih sedikit."

Masalahnya, pekerja kita memiliki terlalu sedikit waktu luang yang dapat mereka pilih dan kendalikan. Padahal itulah esensi dari waktu luang yang sesungguhnya. Sekarang pertanyaan utamanya adalah, dengan aktivitas apa waktu luang tersebut diisi.

Jam-jam kosong yang diisi oleh rebahan atau rasa cemas dan rasa tak aman hampir tak bisa disebut sebagai waktu luang. Dalam bahasa Yunani, waktu luang sepadan dengan "schole". Waktu luang, dengan kata lain, adalah school (sekolah)!

Itu berarti, waktu luang bukan sekadar kebebasan dari pekerjaan yang diperlukan untuk bertahan hidup, tapi terutama merupakan ruang untuk belajar dan mengejar hal-hal yang lebih tinggi.

Untuk menciptakan waktu luang semacam itu, persoalannya bukan semata-mata memberikan banyak waktu istirahat atau menetapkan hari libur lebih banyak. Itu konyol. Kualitas waktu luang justru ditentukan oleh seberapa nyaman dan aman seseorang dalam pekerjaannya.

Maksud saya, ketika saya bilang betapa pentingnya waktu luang (yang berkualitas) bagi kaum pekerja, itu juga suatu tuntutan untuk keamanan dan kenyamanan kaum pekerja dalam pekerjaan mereka.

Kita perlu membangun ekonomi yang menciptakan lapangan kerja seluas mungkin dan upah yang adil secara merata. Dan, tak kalah pentingnya, kita perlu merebut kembali waktu luang kita - hidup kita - yang hilang. Kedua aspirasi ini harus berjalan bersama.

Kesimpulan

Sebagai hari libur, May Day agak paradoksal. Momen ini mendorong kita buat menghormati pekerja dengan, anehnya, tak bekerja. Bagaimana bisa? Menurut saya, ini mengingatkan kita bahwa sehebat-hebatnya pekerjaan, itu tak akan bertahan bila tak diimbangi dengan istirahat.

Kata filsuf Josef Pieper: "Kemampuan untuk 'bersantai' adalah salah satu kekuatan dasar jiwa manusia." Beristirahat juga merupakan hak asasi manusia. Secara budaya, kita perlu memahami bahwa produktivitas tak harus menghasilkan kelelahan yang berlebihan.

Pekerja bermata sayu adalah tanda majikan yang buruk. Kadang cara terbaik untuk maju adalah dengan berdiam diri. Kadang cara terbaik untuk beristirahat adalah dengan melakukan sesuatu secara aktif, seperti para genius yang memanfaatkan waktu luang untuk  jalan-jalan sore dan berimajinasi.

Itu paradoksal, tapi sesuai dengan kehidupan.

Jadi, sementara perjuangan pengurangan jam kerja sudah masif dan berhasil (setidaknya sampai tingkat tertentu), saya pikir kaum pekerja seharusnya juga sadar bahwa hidup mereka - dalam konteks dunia sekarang yang begitu sibuk - bergantung pada waktu luang mereka.

Itu mungkin agak retorik, tapi saya cukup serius tentangnya. Bagaimanapun, kapitalisme mau kita semua, bukan hanya buruh, untuk bekerja sampai mati. Hari Buruh seharusnya menjadi tanda, baik literal maupun metaforis, untuk mengambil kembali waktu luang kita.

Sebuah negara hanya sebaik para pekerjanya, dan para pekerja tersebut harus diberi waktu dan ruang untuk mengistirahatkan tubuh dan pikiran mereka. Ini sama pentingnya dengan perlakuan adil, keselamatan kerja, dan upah yang lebih tinggi.

Demikianlah, pada Hari Buruh ini, setelah acara bakar-bakaran selesai dan kita pulang dari pantai, mari kita bicarakan semua itu. Kalau perlu, kita mulai lagi dari awal. Hanya itu atau kita mati. Minggu baru, tujuan baru!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun