Ketika pastor Santa Maria delle Grazie mendorongnya untuk bekerja lebih keras lagi, kabarnya da Vinci menjawab dengan kurang sopan tapi akurat: "Orang genius terhebat kadang-kadang mencapai lebih banyak hal saat mereka bekerja lebih sedikit."
Masalahnya, pekerja kita memiliki terlalu sedikit waktu luang yang dapat mereka pilih dan kendalikan. Padahal itulah esensi dari waktu luang yang sesungguhnya. Sekarang pertanyaan utamanya adalah, dengan aktivitas apa waktu luang tersebut diisi.
Jam-jam kosong yang diisi oleh rebahan atau rasa cemas dan rasa tak aman hampir tak bisa disebut sebagai waktu luang. Dalam bahasa Yunani, waktu luang sepadan dengan "schole". Waktu luang, dengan kata lain, adalah school (sekolah)!
Itu berarti, waktu luang bukan sekadar kebebasan dari pekerjaan yang diperlukan untuk bertahan hidup, tapi terutama merupakan ruang untuk belajar dan mengejar hal-hal yang lebih tinggi.
Untuk menciptakan waktu luang semacam itu, persoalannya bukan semata-mata memberikan banyak waktu istirahat atau menetapkan hari libur lebih banyak. Itu konyol. Kualitas waktu luang justru ditentukan oleh seberapa nyaman dan aman seseorang dalam pekerjaannya.
Maksud saya, ketika saya bilang betapa pentingnya waktu luang (yang berkualitas) bagi kaum pekerja, itu juga suatu tuntutan untuk keamanan dan kenyamanan kaum pekerja dalam pekerjaan mereka.
Kita perlu membangun ekonomi yang menciptakan lapangan kerja seluas mungkin dan upah yang adil secara merata. Dan, tak kalah pentingnya, kita perlu merebut kembali waktu luang kita - hidup kita - yang hilang. Kedua aspirasi ini harus berjalan bersama.
Kesimpulan
Sebagai hari libur, May Day agak paradoksal. Momen ini mendorong kita buat menghormati pekerja dengan, anehnya, tak bekerja. Bagaimana bisa? Menurut saya, ini mengingatkan kita bahwa sehebat-hebatnya pekerjaan, itu tak akan bertahan bila tak diimbangi dengan istirahat.
Kata filsuf Josef Pieper: "Kemampuan untuk 'bersantai' adalah salah satu kekuatan dasar jiwa manusia." Beristirahat juga merupakan hak asasi manusia. Secara budaya, kita perlu memahami bahwa produktivitas tak harus menghasilkan kelelahan yang berlebihan.
Pekerja bermata sayu adalah tanda majikan yang buruk. Kadang cara terbaik untuk maju adalah dengan berdiam diri. Kadang cara terbaik untuk beristirahat adalah dengan melakukan sesuatu secara aktif, seperti para genius yang memanfaatkan waktu luang untuk  jalan-jalan sore dan berimajinasi.
Itu paradoksal, tapi sesuai dengan kehidupan.