Efek ini menyeluruh, termasuk kepada kaum kapitalis. Kita harus ingat bahwa mereka juga bekerja, dan mereka pun digerakkan oleh ideologi yang sama seperti kaum pekerja (dan kita semua).
Itulah mengapa kebanyakan dari kita, kalau bukan kita semua, tetap terobsesi untuk bekerja sepanjang waktu meskipun jam kerja telah distandarisasi secara hukum. Bisa kita lihat, semua ini begitu rapi dan sistematis.
Kapitalisme memaksa orang, terutama buruh, untuk kerja berlebihan (sebagaimana dikatakan Marx). Jika mereka tak mau, mereka dipecat dan, akibatnya, hilang pendapatan. Secara bersamaan, mereka juga direcoki oleh berbagai keyakinan hegemonik agar mereka "tulus" bekerja keras.
Keyakinan hegemonik tersebut - bahwa setiap orang bisa menjadi apa pun yang diinginkan asal bekerja keras dan patuh terhadap sistem - mungkin bisa membuat kaum pekerja tahan terhadap penderitaan mereka sendiri, setidaknya sementara waktu.
Namun, bagaimanapun, tahan terhadap rasa sakit dan lelah bukan berarti terhindar dari kematian dini.
Saatnya merebut (kembali) hidup kita
Seperti yang sudah kita lihat, para kapitalis biasanya menghubungkan produktivitas dengan jam kerja: makin panjang jam kerja para buruh, makin produktif pula mereka. Keyakinan ini kemudian jadi alat untuk menindas kaum pekerja.
Imbasnya, kaum pekerja sendiri turut percaya bahwa mereka harus bekerja 80 sampai 100 jam seminggu, datang ke tempat kerja pada akhir pekan, mendedikasikan diri mereka secara eksklusif untuk karier atau bisnis mereka.
Itu bukan hanya konyol, tapi juga berbahaya. Faktanya, relasi antara pekerjaan dan waktu luang - beraktivitas dan beristirahat, kesibukan dan hobi - sangatlah penting. Dalam hal ini, waktu luang sama pentingnya dengan pekerjaan.
Beberapa penelitian menemukan bahwa pekerja yang menghargai waktu luang mengalami kepuasan kerja lebih tinggi ketimbang mereka yang hanya memusatkan dirinya pada bekerja. Waktu luang juga bikin orang lebih menikmati hidup dan aktif secara sosial.
Bahkan Bertrand Russell, bersama dengan cendekiawan lain seperti Josef Pieper, berpikir bahwa pada saat-saat santai itulah peradaban tercipta. Waktu luang, secara paradoksal, justru sangat produktif.
Saat mengerjakan "The Last Supper", untuk menyebutkan satu dari seabrek contoh, Leonardo da Vinci secara teratur berhenti melukis selama beberapa jam dan tampak melamun tanpa tujuan.