Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Fate seemed to be toying us with jokes that were really not funny.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kapitalisme Ingin Buruh Bekerja Sampai Mati, Inilah yang Harus Kita Lakukan

1 Mei 2023   06:00 Diperbarui: 1 Mei 2023   07:07 359
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seperti diungkapkan Lenin, kapitalisme adalah kengerian tanpa akhir.

Masalahnya bukan aturan, melainkan ideologi

Dulu, sebelum adanya gerakan buruh berskala besar, buruh harus bekerja kira-kira 100 jam dalam seminggu. Kini, sebagaimana ditetapkan dalam UUCK, dan ketentuan ini cukup merata di seluruh dunia, waktu kerja berkurang drastis jadi 40 jam dalam seminggu.

Kalau begitu, apakah berarti argumen dan data yang saya sampaikan sebelumnya sudah tak relevan? Ironisnya, masih sangat relevan. Saya menyampaikan data tahun 2016; itu terjadi jauh setelah jam kerja berkurang.

Mengapa, dengan demikian, kematian akibat kerja berlebihan tetap tinggi meskipun durasi kerja sudah jauh berkurang dan dibakukan secara formal? Saya berpendapat bahwa letak masalahnya memang bukan pada aturan, melainkan ideologi.

Kenyataannya, terlepas dari pengurangan jam kerja, kita selalu memiliki banyak pekerja yang senantiasa hadir di tempat kerja, tak peduli mereka sedang sakit, stres, atau lelah. Pokoknya mereka merasa harus terus bekerja, sekalipun itu berarti mengambil pekerjaan sampingan.

Mengapa mereka, setelah diberi kelonggaran jam kerja, tetap bersikeras untuk bekerja terus? Apakah orang-orang ini pada dasarnya memang mencintai pekerjaan mereka? Mungkin. Tapi saya pikir kebanyakan darinya lebih didasari oleh rasa takut dan tidak aman, bukan ketulusan.

Dari mana asalnya kecemasan tersebut? Pendeknya, kapitalisme modern (neoliberal).

Para pekerja (dan sebenarnya kita semua) dicecoki keyakinan hegemonik bahwa kebebasan dan kemakmuran membutuhkan pengorbanan. Dengan kata lain, jika kita mau sukses, maka kita harus berkorban dengan cara disiplin dan bekerja keras.

Saya ingat pernah melihat poster bertuliskan begini: "Kekayaan tidak datang kepada mereka yang bekerja minimal." Sebagian orang mungkin menganggap itu agak lucu dan sepele, tapi keyakinan semacam itu sangat mengakar dalam benak hampir setiap orang.

Keyakinan itu, ketika dipahami berlebihan, bisa turut berkontribusi pada eksploitasi diri. Itu mendorong orang untuk bekerja secara konstan, tanpa akhir pekan, kemudian merasa pekerjaan kedua dan ketiga (dan seterusnya, tak terbatas) sebagai keharusan.

Persaingan, yang secara ekonomi merupakan salah satu penggerak pasar, diartikan sebagai perang melawan semua: seseorang harus mengalahkan orang lain untuk jadi sukses (zero-sum game). "Biarkan orang lain gagal asal saya berhasil" menjadi prinsip utama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun