Statistik terkait pemberitaan Covid-19 telah berada di ambang dilematik seperti dua sisi koin yang berlawanan. Di satu sisi, kita merasa muak dengan angka-angka itu (dan kemungkinannya mereka tidak akurat), dan di sisi lain, kita membutuhkannya sebagai bentuk evaluasi.
Ketika semua orang berada di titik jenuh dan ingin melepaskan semua beban, gelombang baru dari virus ini malah menggilas seluruh harapan masyarakat. Tidak peduli Anda seorang konglomerat ataupun melarat, bencana ini telah menguak ketakutan terbesar manusia.
Adalah ketakutan kita terhadap ketidakpastian yang membuat bencana ini semakin menyeramkan.
Setiap orang telah lama bertanya-tanya: kapan pandemi ini akan berakhir? Namun sebelum mencari jawaban itu, mari kita bercermin terlebih dahulu.Â
Mereka yang tidak mau mengkritik dirinya sendiri adalah tidak lebih dari sekadar kepulan ego yang menyedihkan.
Pada 31 Desember 2019, pemerintah Tiongkok melayangkan laporan resmi kepada WHO terkait kasus pneumonia yang aneh di Wuhan. Pada 7 Januari 2020, WHO mengidentifikasi virus tersebut sebagai virus corona baru yang awalnya disebut sebagai 2019-nCoV.
Selang 4 hari kemudian, pemerintah Tiongkok melaporkan kasus kematian pertama akibat virus tersebut, dan pada 16 Januari 2020, untuk pertama kalinya WHO melaporkan kasus Covid-19 di luar Tiongkok, utamanya di Thailand.
Semenjak itu, Covid-19 mulai terdeteksi menjangkiti beberapa negara seperti Jepang, Korea Selatan, Amerika Serikat, Prancis, Kanada, Australia, Malaysia, hingga Jerman.
Beberapa negara di antaranya segera melakukan tindakan siaga seperti membatasi akses masuk dan keluar ke/dari Tiongkok, utamanya Wuhan. Kota Wuhan pun sudah melakukan karantina dan menangguhkan hampir semua akses perjalanan.
Sampai pada tanggal 23 Januari 2020, WHO masih belum menetapkan wabah ini sebagai darurat kesehatan global sampai pada 30 Januari 2020, WHO pun menetapkan wabah Covid-19 sebagai darurat kesehatan global setelah lebih dari 9.000 masyarakat global terdeteksi positif.
Bulan Februari 2020 menjadi bulan yang cukup menyibukkan dunia dengan segala perihal tindakan mengantisipasi. Tetapi pada bulan itu, Indonesia masih belum mendeteksi kasus positif pada warga negaranya. Lantas apa yang dilakukan Indonesia?
Sibuk juga ... sibuk menghina dan jemawa!
Kebanyakan orang (terutama netizen Indonesia) kala itu mulai mengunggah dan memenuhi kolom komentar media sosial dengan berbagai nyinyiran terhadap negara Tiongkok.
"Ah, azab komunis itu!"
"Nah, begitulah nasib bangsa yang ingin menyaingi Tuhan dengan menciptakan bulan dan matahari buatan!"
"Pasti doa para muslim uighur yang ditindas China telah terkabulkan!"
Kenyataannya, kitalah yang tidak bisa menyaingi perkembangan pesat mereka seakan-akan kita sedang mencari dalih untuk memenangkan kompetisi secara sepihak.Â
Mereka terus menggemakan "aib-aib" Tiongkok, padahal mereka sendirilah yang sedang membongkar aibnya sendiri.
Justru orang-orang yang mencaci itulah yang tidak mencerminkan sedikit pun sifat orang beragama. Jika kita menginjak-injak nilai kemanusiaan yang ternyata lebih banyak dijunjung oleh orang ateis, hasilnya orang ateis itulah yang tampaknya lebih religius daripada kita!
Setiap orang bersikeras menyatakan diri sebagai orang beragama, tapi mengapa hanya sekadar pengakuan tanpa penghayatan?
Bahkan pada awal ketenaran Covid-19, pemerintah kita malah bersikap jemawa! Saya harap Anda mengingatnya.
Seperti yang kita tahu, dua kasus pertama Covid-19 di Indonesia diumumkan secara langsung lewat siaran televisi pada tanggal 2 Maret 2020. Dan apa yang pemerintah kita lakukan sebelumnya?
Pada 7 Februari 2020, Marc Lipsitch dari Universitas Harvard mengatakan bahwa Covid-19 mungkin saja sudah tersebar di Indonesia, namun tak terdeteksi. Apakah semenjak itu pemerintah kita mulai bersiap siaga?
Saya harap ini tidak menjadi bahan lawakan.
Pada 11 Februari 2020, Menkes terdahulu membantah pernyataan Lipsitch bahwa Indonesia telah menjalankan prosedur yang sesuai dengan anjuran WHO dan menyebut pernyataan Lipsitch sebagai bentuk hinaan. Mengagumkan!
Dan sebenarnya, imbauan semacam itu sudah bermunculan dari pihak luar maupun pihak dalam. Tapi bagaimana reaksinya?
"Kita kebal karena gemar makan nasi kucing!"
"Virus corona tidak akan mempan pada negara yang religius seperti Indonesia. Masyarakatnya banyak berdoa!"
"Masyarakat kita itu makannya tongseng: tong dan seng. Virus corona tidak ada apa-apanya!"
"Perizinan di Indonesia itu berbelit-belit, maka virus corona tidak akan bisa masuk. Sudah malas duluan!"
Terima kasih, saya menghargai semua guyonannya. Dan bahkan saya mengerti bahwa semua itu (katanya) merupakan cara untuk mencegah terjadinya kepanikan di masyarakat. Dengan begitulah imunitas masyarakat tetap terjaga dan penularan virus tersebut tidak akan (pernah) terjadi.
Tetapi pada realitasnya, tekad untuk mencegah kepanikan tersebut malah seperti menabung kepanikan untuk kemudian meluap sejadi-jadinya di masa mendatang. Saya tidak mengatakan apa pun selain memang itulah yang terbukti sekarang.
Dulu, identitas pasien yang positif itu disembunyikan agar tidak menimbulkan kepanikan di masyarakat dan mencegah penurunan kesehatan mental pasien. Jika mengumpamakannya seperti sebuah pertempuran, ini seperti menipu diri sendiri bahwa di sana tidak akan ada musuh yang menyerang.
Justru di medan pertempuran, kita harus tahu letak posisi musuh secara pasti! Jika kita sengaja untuk menutup mata terhadap mereka (musuh kita), kitalah yang mengancam keselamatan diri kita sendiri.
Lho, kalau identitas pasien diumumkan secara terbuka, masyarakat menjadi takut!
Dalam bukunya Il Principe, Niccolo Machiavelli menuliskan bahwa terdapat dua metode untuk mengelola masyarakat: dengan cinta kasih atau dengan penanaman rasa takut pada masyarakatnya.
Idealnya adalah dengan menerapkan kedua-duanya, tetapi jika hanya mampu untuk menjalankan satu opsi, maka pilihlah opsi kedua.
Dalam kata-kata Machiavelli, "... bahwa seseorang hendaknya ditakuti dan dicintai, tetapi karena sulit bagi keduanya untuk saling berdampingan, maka jauh lebih aman untuk ditakuti daripada dicintai."
Jadi (dulu) pemerintah seharusnya membuat masyarakat takut untuk memutuskan rantai penularan? Tidak, saya menolak istilah "dibuat takut" pada konteks ini dan lebih mengacu pada istilah "dibuat waspada".
Persamaan dari "takut" dan "waspada" adalah keduanya sama-sama bertujuan untuk menghindari sesuatu.
Tetapi rasa takut lebih merujuk pada kecemasan dan keresahan yang justru bisa mengurangi daya imunitas masyarakat. Sedangkan kewaspadaan mengacu pada kesiapan kita untuk menghadapi sesuatu dengan berani dan hati-hati.
Dalam medan perang, seorang kaisar juga ingin menghindari sesuatu, yaitu serangan musuh. Tetapi bukan dengan cara takut, melainkan dengan cara waspada. Dan mana dari keduanya yang kita lakukan saat itu?
Tidak ada. Kita malah membual segala lawakan tentang Covid-19 dan Tiongkok. Bagi mereka yang cerdas, itu sungguh konyol! Bagaimana cara menghentikan kekonyolan itu? Jadilah orang cerdas!
Keterlenaan itulah (atas ditutupinya data-data tentang pasien positif) yang membuat daerah rawan tidak dikenali masyarakat, padahal mobilitas masyarakat sangat tinggi. Mereka yang tidak sadar sudah terjangkit tetap menjalankan aktivitasnya dengan normal, dan rantai penularan pun meluas.
Saya mengerti bahwa faktor psikologis pasien positif saat itu menjadi pertimbangan bagi pemerintah. Tapi pertimbangan yang lebih penting adalah: apakah etis membela kepentingan beberapa orang dengan mengorbankan keselamatan banyak orang?
Pertanyaan itu sendiri terkesan tidak etis, tapi itulah yang kita punya.
Alhasil kita tidak punya kesiapan matang untuk berperang melawan virus itu. Kita adalah sekelompok kaisar yang terlambat menyiapkan peperangan. Kita sudah diimbau tentang peperangan yang mengancam, tetapi kita lebih suka mengisap rokok kita dan membual lawakan-lawakan.
Saking tidak siapnya, dulu APD saja harus pakai jas hujan.
Masyarakat kita pun terpecah ke dalam beberapa kubu kala itu. Satu kubu percaya bahwa semua ini hanya konspirasi dari elite global agar masyarakat membeli vaksin. Kubu lain percaya bahwa ini adalah cara untuk mengurangi populasi dunia.
Tetapi yang lebih miris dari semua itu adalah, fenomena tersebut masih tercium tajam hingga sekarang.
Ini bencana? Ya, ini tragedi. Apakah ini azab karena dulu kita mengolok-olok Tiongkok (yang sekarang sudah mendekati pulih sempurna)?
Jika Anda mengartikan azab sebagai peristiwa buruk yang terjadi secara kausalitas dan disebabkan oleh diri kita sendiri, tentu, saya menganggukkan kepala atas itu. Tetapi jika Anda memusatkan definisinya pada "hukuman Tuhan", saya tidak sependapat.
Meskipun ini hanya masalah perspektif, jelas konsep pertama lebih ideal untuk dipercaya.
Maka apa makna dari tragedi ini? Akibat; tragedi ini adalah akibat dari kelalaian kita sendiri.Â
Jika Anda terus berkata, "Ini adalah cobaan dari Tuhan," atau, "Sabar, kita tunggu Tuhan mengakhiri semuanya," dan semacamnya, Anda sedikit banyak telah menjadikan agama sebagai candu.
Dan itulah yang dikritik oleh Karl Marx (pencetus konsep komunis), bahwa agama sering dijadikan dalih sebagai penghibur diri sendiri yang pada kenyataannya bersifat melemahkan. Kita tidak tahu apa kepastiannya, dan tidak salah juga jika beranggapan seperti itu.
Tapi, kita mesti ingat bahwa bantuan Tuhan itu tergantung kepada jerih payah dan tekad kita. Tuhan tidak menjatuhkan azab tanpa sebab, dan karenanya Tuhan juga tidak menganugerahkan bantuan tanpa alasan. Kita mesti menciptakan alasan itu lewat usaha kita.
Nah, jadi kapan pandemi akan berakhir?
Keliru! Seharusnya kita membalikkan pertanyaan itu pada diri kita sendiri: kapan saya ingin pandemi ini berakhir?
Maka jawaban yang tersedia tidak mengacu pada sebuah waktu yang akurat, melainkan pada kemungkinan yang kita punya: berakhir secepatnya atau berlangsung selamanya.
Pertanyaan "kapan pandemi akan berakhir" telah menjadikan kita sebagai objek yang terkesan ditindas oleh pandemi dan hanya bisa mengharapkan semua ini cepat berakhir. Kita pun bersikap pasif.
Tetapi pertanyaan "kapan kita ingin pandemi berakhir" menjadikan kita sebagai subjek yang menandakan pandemi itu sendiri akan menggantungkan nasib pada kita, juga kita sendirilah yang akan membuat semua ini segera selesai. Kita pun menjadi aktif.
Jika Anda ingin pandemi ini berakhir secepatnya, maka di sanalah pandemi menggantungkan nasib pada Anda. Namun jika Anda ingin pandemi ini berlangsung lebih lama lagi, setidaknya jangan merepotkan orang lain dan pemerintah. Itu sederhana.
Pertanyaan yang salah (konteks) melahirkan jawaban yang keliru.
Kini tinggal bagaimana kita menindaklanjuti jawaban kita atas pertanyaan kita sendiri. Dan apa yang lebih tepat untuk itu? Kejujuran.
Siapa pun Anda, cobalah untuk jujur. Bahkan jika Anda bukan siapa-siapa, tetaplah jujur. Entah Anda seorang petugas kesehatan, pejabat, aparat keamanan, konglomerat, publik figur ... jujurlah pada tanggung jawab Anda.
Saya seorang manusia, ya sudah, saya jujur bahwa sebagai manusia, saya tidak kebal terhadap virus dan itu artinya saya akan patuh terhadap anjuran pemerintah yang sudah berbasis ilmiah.
Saya seorang mahasiswa, ya sudah, saya jujur bahwa saya membutuhkan banyak pengetahuan dengan tetap memedulikan posisi saya  tadi sebagai manusia. Saya seorang anak, ya sudah, saya jujur bahwa saya punya kewajiban untuk membantu orang tua mengerjakan pekerjaan rumah.
Saya seorang muslim, ya sudah, saya jujur bahwa saya tunduk pada kewajiban saya untuk mematuhi aturan Tuhan, sebab aturan itu sendiri juga Tuhan ciptakan untuk kebaikan alam semesta.
Saya seorang remaja Indonesia, ya sudah, saya jujur bahwa posisi saya sebagai pemuda di era krisis ini punya peran fundamental untuk membangun kesadaran masyarakat, baik yang lebih tua maupun yang lebih muda. Apa yang saya tahu, maka itulah yang saya katakan.
Saya seorang penulis, ya sudah, saya jujur dengan apa yang saya tulis dan berusaha sekeras mungkin untuk mengatakan kebenaran pada pembaca.
Masing-masing dari kita memegang lebih dari satu peranan, dan dari posisi itulah kita bisa mengetahui batas-batas tanggung jawab kita serta melaksanakannya dengan kerendahan hati, semata-mata sebagai bentuk utusan Tuhan yang jujur di muka bumi.
Dan di sinilah saya sekarang.
Jika Anda seorang konglomerat, jujur saja bahwa Anda punya harta berlebih dan adalah kewajiban Anda untuk berbagi kepada mereka yang kelaparan. Jika Anda seorang melarat, jujur saja bahwa Anda punya pertimbangan antara bekerja keras dengan keselamatan; keduanya mesti seimbang.
Jika Anda seorang pejabat ... masa dana untuk orang sakit dikorupsi. Anda sakit?
Jika Anda seorang YouTuber, jujur saja bahwa kewajiban Anda bukan sekadar menghibur masyarakat, tapi juga mengedukasi orang awam. Atau sekurang-kurangnya, hadirkan hiburan yang tidak merugikan pihak lain.
Anda bisa mengasumsikan pandemi ini sudah berakhir sekarang juga dengan cara konsisten untuk mempertahankan produktivitas.Â
Dengan demikianlah pandemi ini punya sisi terang bagi setiap orang, dan hubungan antara kejujuran dan produktivitas harus saling berkaitan.
Pada akhirnya, ini tragedi yang wajib kita tanggulangi bersama-sama. Tidak berguna lagi untuk mencari-cari siapa yang salah, satu-satunya yang berguna adalah upaya setiap orang untuk menjadi pahlawan bagi dirinya sendiri.
Penderitaan bersama adalah masalah bersama. Andaikan kita punya kerendahan hati untuk saling menyeimbangkan dengan penuh hormat, pertanyaan "kapan pandemi ini berakhir" akan terjawab dengan sendirinya tanpa jawaban.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H