Jika Anda terus berkata, "Ini adalah cobaan dari Tuhan," atau, "Sabar, kita tunggu Tuhan mengakhiri semuanya," dan semacamnya, Anda sedikit banyak telah menjadikan agama sebagai candu.
Dan itulah yang dikritik oleh Karl Marx (pencetus konsep komunis), bahwa agama sering dijadikan dalih sebagai penghibur diri sendiri yang pada kenyataannya bersifat melemahkan. Kita tidak tahu apa kepastiannya, dan tidak salah juga jika beranggapan seperti itu.
Tapi, kita mesti ingat bahwa bantuan Tuhan itu tergantung kepada jerih payah dan tekad kita. Tuhan tidak menjatuhkan azab tanpa sebab, dan karenanya Tuhan juga tidak menganugerahkan bantuan tanpa alasan. Kita mesti menciptakan alasan itu lewat usaha kita.
Nah, jadi kapan pandemi akan berakhir?
Keliru! Seharusnya kita membalikkan pertanyaan itu pada diri kita sendiri: kapan saya ingin pandemi ini berakhir?
Maka jawaban yang tersedia tidak mengacu pada sebuah waktu yang akurat, melainkan pada kemungkinan yang kita punya: berakhir secepatnya atau berlangsung selamanya.
Pertanyaan "kapan pandemi akan berakhir" telah menjadikan kita sebagai objek yang terkesan ditindas oleh pandemi dan hanya bisa mengharapkan semua ini cepat berakhir. Kita pun bersikap pasif.
Tetapi pertanyaan "kapan kita ingin pandemi berakhir" menjadikan kita sebagai subjek yang menandakan pandemi itu sendiri akan menggantungkan nasib pada kita, juga kita sendirilah yang akan membuat semua ini segera selesai. Kita pun menjadi aktif.
Jika Anda ingin pandemi ini berakhir secepatnya, maka di sanalah pandemi menggantungkan nasib pada Anda. Namun jika Anda ingin pandemi ini berlangsung lebih lama lagi, setidaknya jangan merepotkan orang lain dan pemerintah. Itu sederhana.
Pertanyaan yang salah (konteks) melahirkan jawaban yang keliru.
Kini tinggal bagaimana kita menindaklanjuti jawaban kita atas pertanyaan kita sendiri. Dan apa yang lebih tepat untuk itu? Kejujuran.