Keterlenaan itulah (atas ditutupinya data-data tentang pasien positif) yang membuat daerah rawan tidak dikenali masyarakat, padahal mobilitas masyarakat sangat tinggi. Mereka yang tidak sadar sudah terjangkit tetap menjalankan aktivitasnya dengan normal, dan rantai penularan pun meluas.
Saya mengerti bahwa faktor psikologis pasien positif saat itu menjadi pertimbangan bagi pemerintah. Tapi pertimbangan yang lebih penting adalah: apakah etis membela kepentingan beberapa orang dengan mengorbankan keselamatan banyak orang?
Pertanyaan itu sendiri terkesan tidak etis, tapi itulah yang kita punya.
Alhasil kita tidak punya kesiapan matang untuk berperang melawan virus itu. Kita adalah sekelompok kaisar yang terlambat menyiapkan peperangan. Kita sudah diimbau tentang peperangan yang mengancam, tetapi kita lebih suka mengisap rokok kita dan membual lawakan-lawakan.
Saking tidak siapnya, dulu APD saja harus pakai jas hujan.
Masyarakat kita pun terpecah ke dalam beberapa kubu kala itu. Satu kubu percaya bahwa semua ini hanya konspirasi dari elite global agar masyarakat membeli vaksin. Kubu lain percaya bahwa ini adalah cara untuk mengurangi populasi dunia.
Tetapi yang lebih miris dari semua itu adalah, fenomena tersebut masih tercium tajam hingga sekarang.
Ini bencana? Ya, ini tragedi. Apakah ini azab karena dulu kita mengolok-olok Tiongkok (yang sekarang sudah mendekati pulih sempurna)?
Jika Anda mengartikan azab sebagai peristiwa buruk yang terjadi secara kausalitas dan disebabkan oleh diri kita sendiri, tentu, saya menganggukkan kepala atas itu. Tetapi jika Anda memusatkan definisinya pada "hukuman Tuhan", saya tidak sependapat.
Meskipun ini hanya masalah perspektif, jelas konsep pertama lebih ideal untuk dipercaya.
Maka apa makna dari tragedi ini? Akibat; tragedi ini adalah akibat dari kelalaian kita sendiri.Â