Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Gadget Artikel Utama

Bagaimana Saya Mengatasi FOMO terhadap Media Sosial

4 Mei 2021   14:46 Diperbarui: 4 Mei 2021   20:53 540
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
FOMO adalah penyiksaan psikologis yang diciptakan oleh diri sendiri | Ilustrasi oleh Firmbee via Pixabay

Dulu saya mengalami apa yang belakangan ini disebut sebagai FOMO (Fear of Missing Out). Bahkan sebelum saya mengenal media sosial, saya sering (ya, hampir selalu) merasa takut melewatkan sesuatu.

Mimpi buruk benar-benar terjadi ketika saya mulai kecanduan media sosial. Apa yang saya lakukan setiap 10 menit hanyalah membuka kunci ponsel, kemudian menekan sebuah aplikasi berlogo "F" dan memeriksa notifikasi yang masuk.

Ah, itu sungguh keterlaluan. Saya menjadi anak yang sangat alay saat itu. (Persis seperti apa yang terjadi kepada anak-anak kita sekarang).

Dan memasuki usia remaja, saya menjadi begitu sok tahu. Saya membagikan apa pun yang kira-kiranya menarik perhatian publik tanpa pernah benar-benar mengerti apa dampaknya nanti.

Bagi saya, beberapa tahun itu adalah perjalanan (yang menyebalkan).

Tunjukkan produk dengan gambar bagus, dan reaksi spontan saya adalah pergi merengek kepada orang tua untuk membeli barang tersebut.

Lupakan fakta bahwa saya tidak membutuhkan barang tersebut, atau fakta lain bahwa gambar tersebut telah dimanipulasi sedemikian cantiknya oleh seorang fotografer profesional; saya hanya akan membelinya saat itu juga.

Memang tidak begitu sering, tapi saya selalu melakukan reaksi yang sama. Ini benar-benar mengganggu kehidupan saya (bahkan orang-orang di sekitar saya). Dan bayangkan saja, saya baru berusia ... baru tumbuh remaja, maksudnya.

Baru belakangan ini saya mengenal istilah FOMO. Ketika mulai sedikit mempelajarinya, saya telah mampu mendiagnosis bahwa saya mengalaminya selama ini.

Mengapa FOMO itu buruk?

FOMO adalah keinginan kompulsif untuk melakukan sesuatu yang dimotivasi bukan oleh apa yang seharusnya Anda dapatkan, melainkan oleh ketakutan akan sesuatu yang Anda lewatkan.

Jika itu terlalu kaku, Anda bisa memahami FOMO sebagai rasa takut melewatkan sesuatu. Fear of Missing Out; kepanjangannya sendiri sudah cukup untuk mengenalkan diri.

Pada awal perkenalan saya dengan media sosial, saya langsung terjebak dengan FOMO. Ini adalah perasaan bersalah ketika saya melewatkan satu notifikasi Facebook. Ini juga tentang perasaan khawatir saat satu postingan teman tidak ditanggapi.

Setiap ada kesempatan untuk keluar dari kesibukan, saya membuka Instagram karena takut tertinggal tren atau melewatkan satu konten lucu. Bahkan WhatsApp tidak ada bedanya. Saya membukanya setiap saat, berharap seseorang yang diidam-idamkan datang menyapa.

Dan, ya, itu omong kosong. Saya tidak melakukannya ketika waktu senggang. Media sosial adalah kesibukan saya. Jadi, saya merasa yakin bahwa saya telah dirasuki iblis FOMO.

FOMO adalah penyiksaan psikologis yang diciptakan oleh diri sendiri. Itu adalah bagian dari imajinasi terburuk pikiran kita.

Dengan berjayanya "Kerajaan Media Sosial", kita mulai mengembangkan keyakinan irasional bahwa setiap orang selalu bersenang-senang melampaui kita, dan bahwa kita benar-benar mirip seperti orang dungu.

Kita merasa bahwa kita adalah orang bodoh yang berdiam diri di rumah, sedangkan mereka pergi keluar untuk memotret diri bersama keindahan panorama alam.

Pada akhirnya, kita rela melakukan apa pun untuk bisa melampaui kehidupan orang lain yang kita lihat di media sosial. Kita memeriksa layar beranda setiap saat untuk memastikan bahwa kita tidak tersaingi.

Oke, mungkin itu berlebihan. Ada beberapa dari kita yang menggunakan media sosial (hanya) untuk mencari hiburan. Tapi mirisnya, mereka juga sama kecanduannya.

Inti dari FOMO adalah perasaan bahwa hidup seperti sekolah formal. Kita memperlakukan hidup kita sebagai semacam daftar nilai yang harus dimaksimalkan sebelum kita mati.

Tapi, hidup bukanlah video game. Tidak ada rapor yang menunggu kita di sana. Dan tentu, kita tidak dituntut untuk mengikuti semua tren. Dan itu juga bukan berarti kita memiliki nilai yang rendah ketika melewatkan tren.

FOMO menjadi masalah besar bagi generasi kita karena fakta sederhana bahwa generasi kita memiliki paling banyak pilihan untuk dipilih. Ini membuat kita terjebak dalam Paradoks Pilihan. Dan itulah mengapa semakin banyak pilihan, semakin kita kurang bahagia.

Dengan banyaknya pilihan tersebut, kebanyakan dari kita tidak mau melewatkan apa pun. Kita khawatir dilabeli kudet. Kita benar-benar takut dengan media sosial yang menganggur selama beberapa menit.

Dan di sinilah kita mendapatkan masalah.

Masalah dari FOMO adalah hal tersebut mencegah kita untuk benar-benar mengalami apa yang terjadi. Itu mungkin terdengar gila, karena FOMO sering kali mendorong seseorang untuk mencoba mengumpulkan pengalaman sebanyak mungkin.

Tetapi secara bersamaan, hal tersebut juga merampas pengalaman yang memiliki makna lebih dalam.

Dan FOMO pun menyebabkan seseorang membuat keputusan bukan berdasarkan realitas pengalaman, melainkan berdasarkan pengalaman yang dibayangkan.

FOMO terhadap media sosial bisa jadi lebih buruk, karena kita menggantungkan keputusan kita berdasarkan apa yang kita lihat di layar beranda.

Bagaimana mengatasi FOMO terhadap media sosial?

Tahun-tahun yang suram telah berlalu. Saya mengalami kebahagiaan yang lebih nyata ketimbang kebahagiaan karena mendapatkan notifikasi dari doi (karena saya memang tidak punya doi).

Ketika berkumpul bersama teman, saya menjadi satu-satunya orang yang mirip seperti Pithecanthropus. Dan saya cukup bangga atas hal itu. Saya merasa menjadi pemenang.

Masing-masing dari mereka sibuk menatap layar ponsel, dan saya hanya memerhatikan apa yang ada di sekitar, menikmati setiap peristiwa kecil yang tampak. Oh, indahnya kehidupan.

Tapi, saya berbagi tulisan ini bukan atas kebanggaan saya atas hal tersebut. Justru, ini adalah bentuk kemirisan saya terhadap apa yang terjadi kepada pemuda kita. Jadi, biarkan siapa pun membaca ini.

Tanpa urutan yang pasti, inilah cara saya dalam mengatasi FOMO terhadap media sosial.

1. Sadari "kekejaman" media sosial

Apakah Anda sedang merasa sedih, kesepian, takut? Atau mengalami kecemasan yang tiada henti? Bagus, kata pengiklan, karena media sosial adalah obat penawar bagi Anda.

Apa yang kita lakukan sangatlah naif. Kita tidak menyadari bahwa kita punya dua sisi koin. Jika media sosial terdengar begitu hebat, Anda melewatkan sisi lainnya; bagian terburuknya.

Kita mengakuinya bahwa media sosial telah menjadi sarana untuk berbagi informasi yang luas. Tapi, ini juga yang mendorong kita terjatuh ke dalam jurang disinformasi.

Jika Anda benar-benar memerhatikan, media sosial telah mengilhami banyak orang untuk ikut ke dalam aksi terorisme. Ini juga melahirkan supremasi kulit putih yang lebih luas. Berita hoaks mengenai pandemi ada di mana-mana.

Demokrasi sedang diserang oleh kebebasan berpendapat di media sosial. Bahkan demo besar-besaran yang bergejolak di banyak tempat berawal dari sini. Kita sering diadu domba lewat platform canggih ini.

Saya tahu bahwa saya terlalu agresif. Tapi saya tidak berlebihan. Jika Anda merasa demikian, Anda belum menjelajah lebih jauh.

Kita harus menanyai diri sendiri: apakah ini normal? Atau kita semua sedang terpengaruh oleh sesuatu semacam mantra?

Saya merasa yakin bahwa (kebanyakan) media sosial sengaja dibuat untuk membuat orang ketagihan dan kecanduan. Mulai dari pemilihan warna tampilan beranda, tombol interaksi like/love, kolom komentar, menu-menu yang terjangkau.

Mungkin mereka akan berdalih bahwa semua itu adalah upaya untuk mempersembahkan kenyamanan. Ya, tapi kenyamanan bagi manusia adalah potensi untuk kecanduan.

Maaf jika menyinggung, tapi para pengiklan dapat memanfaatkan momen ketika Anda benar-benar siap, dan kemudian mereka memengaruhi Anda dengan sebuah banner yang memancing Anda untuk mengklik, mengorbankan uang digital Anda. Dan begitulah.

Saya bisa menguraikan ini lebih banyak lagi. Tapi, saya sarankan Anda untuk menonton film dokumenter "The Social Dilemma".

Ada kutipan yang paling menancap dalam ingatan saya dari film itu, "Karena kita tidak membayar produk yang kita gunakan, pengiklan membayar produk yang kita gunakan. Pengiklan adalah pelanggannya. Kitalah yang dijual."

Jika Anda tidak membayar produknya, berarti Andalah produknya. -- Tristan Harris

Membangun kesadaran akan kekejaman media sosial menjadi langkah pertama yang sangat penting sebelum Anda memutuskan untuk membunuh FOMO terhadap media sosial. Karena inilah modal Anda. Ini adalah motivasi Anda.

2. Matikan notifikasi Anda

Kalau dipikir-pikir, saya tidak termotivasi oleh kegembiraan melihat sesuatu yang hebat. Saya termotivasi oleh rasa takut tidak melihat sesuatu yang hebat.

Dan notifikasi benar-benar mengacaukan saya. Ia senantiasa mengingatkan saya terus-menerus bahwa sesuatu sedang terjadi di dunia online. Karenanya saya merasa ketinggalan jika tidak memeriksanya.

Dan hasilnya, tidak ada apa pun yang penting. Jadi, matikan saja notifikasi Anda.

Jika Anda tidak tahu cara melakukannya, maka abaikan saja notifikasi yang muncul. Kabar baiknya adalah, Anda merasa lebih puas ketika membuka media sosial karena banyak hal yang bisa Anda nikmati.

3. Dapatkan hobi baru (atau bangkitkan hobi lama)

Kesalahan mendasar para orang tua yang memaksa anaknya berhenti membuka ponsel adalah dengan tidak memberikan alternatif yang menyenangkan bagi sang anak.

Anak-anak suka bermain. Jika ponsel menjadi satu-satunya cara mereka bermain, kemudian Anda memaksanya untuk berhenti, anak-anak akan melawan, atau cemas kalau menuruti perintah Anda.

Dan ini juga penting kita sadari. Ketika kita berusaha untuk membunuh FOMO terhadap media sosial, kita mungkin akan memiliki waktu luang yang lebih banyak.

Melakukan hobi dapat menjadi cara ampuh untuk menghilangkan rasa bosan. Ya, karena begitulah hakikat dari hobi. Jika sulit menemukan hobi baru, Anda dapat membangkitkan hobi yang telah lama tenggelam.

Saya pribadi mulai menghabiskan waktu luang untuk membaca buku; sesuatu yang selama ini saya benci. Karena saya percaya, untuk menemukan sesuatu yang kita cintai, kita harus mencarinya di antara hal-hal yang kita benci.

Dan ini benar-benar efektif. Saya bisa tenggelam ke dalam dunia sang penulis hingga melupakan apa yang saya lewatkan di media sosial.

4. Menjadi "kucing" media sosial

Ada perbedaan yang mendasar dari sifat kucing dan anjing (sepanjang yang saya ketahui).

Anjing tidak datang kepada kita memohon untuk tinggal bersama, tapi kitalah yang menjinakkan mereka. Mereka telah dibesarkan untuk menjadi penurut. Mereka mengikuti pelatihan dan mereka mudah ditebak.

Mereka bekerja untuk kita. Sangat menyenangkan bahwa mereka setia dan dapat diandalkan.

Kucing berbeda. Mereka datang dan sebagian menjinakkan diri. Mereka tidak bisa diprediksi.

Jika Anda mendekatkan wajah ke anjing peliharaan Anda, mungkin dia akan menjilat pipi Anda. Tapi jika Anda melakukannya ke kucing, pipi Anda mungkin akan habis dicakar.

Atau jika Anda punya pertunjukan sirkus, anjing akan melewati berbagai rintangan sesuai arahan Anda. Sedangkan kucing, dia akan membuat keputusan sendiri; mungkin hanya duduk menjilati bulu atau berjalan ke penonton.

Apa yang saya maksud di sini adalah, jangan menjadi "anjing" dari media sosial. Dengan kata lain, jangan menjadikan media sosial sebagai majikan Anda, dan kemudian Anda menuruti segala rayuannya seakan-akan Anda adalah anjing peliharaan.

Tapi, saya menyarankan Anda untuk menjadi "kucing" dari media sosial. Itu berarti, kita kembali menuju hakikat atau esensi dasar dari media sosial, yaitu sebagai alat komunikasi jarak jauh.

Tidak melebih-lebihkan dan tidak mengurang-ngurangi. Kita harus menjadi "majikan" dari media sosial itu sendiri. Kita punya pilihan untuk menggunakannya atau tidak. Kita diberikan pilihan untuk memanfaatkannya atau tidak.

Dan yang terpenting: secukupnya. Itulah esensi dasar dari media sosial. Juga demikianlah Anda terhindar dari FOMO terhadap media sosial.

5. Kembali menuju esensi dari kehidupan

Tanyakan pada diri Anda: Apa itu hidup? Apa yang harus dilakukan dengan hidup? Apakah jumlah like/love di media sosial berpengaruh terhadap kualitas kehidupan Anda?

Apa yang Tuhan inginkan dari kita? Apa yang menjadi patokan bahwa kita ini adalah manusia dan bukannya hewan? Seberapa jauh media sosial membantu kita menuju kehidupan yang sesungguhnya?

Satu catatan penting di sini adalah, melakukan interaksi sosial secara nyata dan bukan sekadar menggerakkan jempol untuk mengobrol dengan orang lain sembari rebahan di ranjang yang empuk.

Jika Anda merasa cemas ketika melewatkan sesuatu di media sosial, mengapa Anda tidak merasa resah ketika melewatkan banyak keajaiban dunia yang tidak mungkin Anda lihat di media sosial?

Pergilah, di luar begitu indah. Ada banyak hal yang bisa dilakukan. Jadi nikmatilah! Hiduplah!

6. Pahami bahwa kita selalu melewatkan sesuatu

Cara untuk keluar dari perasaan FOMO adalah dengan mulai membunuh fantasi-fantasi yang Anda biarkan mengatur pengambilan keputusan Anda.

Jika FOMO mendorong kita untuk merasa cemas saat melewatkan sesuatu, ketahuilah, kita memang selalu melewatkan sesuatu.

Dan itu (sangat) tidak apa-apa. Hidup memang berjalan demikian.

Kita selalu berhadapan dengan pilihan setiap saat. Ketika Anda memilih A, berarti Anda melewatkan B. Itu normal. Tapi FOMO telah membuatnya begitu buruk.

FOMO membuat kita mendasarkan pilihan pada apa yang dibayangkan. Kita melihat segala sesuatu begitu seksi di media sosial. Ada sebuah foto pantai yang begitu elok di sana.

Bunuhlah fantasi-fantasi tersebut. Tidak ada pantai yang sempurna. Tidak ada yang namanya pasangan yang sempurna. Apa yang ditampilkan di media sosial adalah sesuatu yang juga bisa kita dapatkan di dunia nyata. Mungkin dalam bentuk lain, tapi kenikmatan yang terpenting.

Pada akhirnya, mengatasi perasaan FOMO terhadap media sosial bukan berarti Anda harus menghapus semua akun media sosial Anda (meskipun itu juga ide bagus). 

Telah saya tekankan sebelumnya, bahwa ini adalah upaya kita untuk kembali ke esensi dasar atau tujuan awal dari diciptakannya media sosial.

Saya sendiri tetap membuka media sosial, namun hanya beberapa menit sebelum tidur malam. Itu pun sekadar untuk memastikan bahwa saya tidak melewatkan apa yang sedang diperbincangkan sekarang ini.

Jadi, bagaimana? Jika Anda masih ragu untuk membunuh perasaan FOMO terhadap media sosial, saya benar-benar bingung dengan Anda. Hei, kau ini dari planet mana, Bung?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun