Apakah Anda sedang merasa sedih, kesepian, takut? Atau mengalami kecemasan yang tiada henti? Bagus, kata pengiklan, karena media sosial adalah obat penawar bagi Anda.
Apa yang kita lakukan sangatlah naif. Kita tidak menyadari bahwa kita punya dua sisi koin. Jika media sosial terdengar begitu hebat, Anda melewatkan sisi lainnya; bagian terburuknya.
Kita mengakuinya bahwa media sosial telah menjadi sarana untuk berbagi informasi yang luas. Tapi, ini juga yang mendorong kita terjatuh ke dalam jurang disinformasi.
Jika Anda benar-benar memerhatikan, media sosial telah mengilhami banyak orang untuk ikut ke dalam aksi terorisme. Ini juga melahirkan supremasi kulit putih yang lebih luas. Berita hoaks mengenai pandemi ada di mana-mana.
Demokrasi sedang diserang oleh kebebasan berpendapat di media sosial. Bahkan demo besar-besaran yang bergejolak di banyak tempat berawal dari sini. Kita sering diadu domba lewat platform canggih ini.
Saya tahu bahwa saya terlalu agresif. Tapi saya tidak berlebihan. Jika Anda merasa demikian, Anda belum menjelajah lebih jauh.
Kita harus menanyai diri sendiri: apakah ini normal? Atau kita semua sedang terpengaruh oleh sesuatu semacam mantra?
Saya merasa yakin bahwa (kebanyakan) media sosial sengaja dibuat untuk membuat orang ketagihan dan kecanduan. Mulai dari pemilihan warna tampilan beranda, tombol interaksi like/love, kolom komentar, menu-menu yang terjangkau.
Mungkin mereka akan berdalih bahwa semua itu adalah upaya untuk mempersembahkan kenyamanan. Ya, tapi kenyamanan bagi manusia adalah potensi untuk kecanduan.
Maaf jika menyinggung, tapi para pengiklan dapat memanfaatkan momen ketika Anda benar-benar siap, dan kemudian mereka memengaruhi Anda dengan sebuah banner yang memancing Anda untuk mengklik, mengorbankan uang digital Anda. Dan begitulah.
Saya bisa menguraikan ini lebih banyak lagi. Tapi, saya sarankan Anda untuk menonton film dokumenter "The Social Dilemma".