Pada awal perkenalan saya dengan media sosial, saya langsung terjebak dengan FOMO. Ini adalah perasaan bersalah ketika saya melewatkan satu notifikasi Facebook. Ini juga tentang perasaan khawatir saat satu postingan teman tidak ditanggapi.
Setiap ada kesempatan untuk keluar dari kesibukan, saya membuka Instagram karena takut tertinggal tren atau melewatkan satu konten lucu. Bahkan WhatsApp tidak ada bedanya. Saya membukanya setiap saat, berharap seseorang yang diidam-idamkan datang menyapa.
Dan, ya, itu omong kosong. Saya tidak melakukannya ketika waktu senggang. Media sosial adalah kesibukan saya. Jadi, saya merasa yakin bahwa saya telah dirasuki iblis FOMO.
FOMO adalah penyiksaan psikologis yang diciptakan oleh diri sendiri. Itu adalah bagian dari imajinasi terburuk pikiran kita.
Dengan berjayanya "Kerajaan Media Sosial", kita mulai mengembangkan keyakinan irasional bahwa setiap orang selalu bersenang-senang melampaui kita, dan bahwa kita benar-benar mirip seperti orang dungu.
Kita merasa bahwa kita adalah orang bodoh yang berdiam diri di rumah, sedangkan mereka pergi keluar untuk memotret diri bersama keindahan panorama alam.
Pada akhirnya, kita rela melakukan apa pun untuk bisa melampaui kehidupan orang lain yang kita lihat di media sosial. Kita memeriksa layar beranda setiap saat untuk memastikan bahwa kita tidak tersaingi.
Oke, mungkin itu berlebihan. Ada beberapa dari kita yang menggunakan media sosial (hanya) untuk mencari hiburan. Tapi mirisnya, mereka juga sama kecanduannya.
Inti dari FOMO adalah perasaan bahwa hidup seperti sekolah formal. Kita memperlakukan hidup kita sebagai semacam daftar nilai yang harus dimaksimalkan sebelum kita mati.
Tapi, hidup bukanlah video game. Tidak ada rapor yang menunggu kita di sana. Dan tentu, kita tidak dituntut untuk mengikuti semua tren. Dan itu juga bukan berarti kita memiliki nilai yang rendah ketika melewatkan tren.
FOMO menjadi masalah besar bagi generasi kita karena fakta sederhana bahwa generasi kita memiliki paling banyak pilihan untuk dipilih. Ini membuat kita terjebak dalam Paradoks Pilihan. Dan itulah mengapa semakin banyak pilihan, semakin kita kurang bahagia.