"Kami melihat pertandingannya, Nak. Kamu bermain sangat baik!" kata Uminya, senyumnya membuat hati Raihan berbunga.
Namun, sebelum ia sempat merayakan, Abinya, yang biasanya lebih serius, berkata, "Bagus, tapi ingat, sekolah tetap yang utama."
Kata-kata itu seolah menggantikan euforia kemenangan dengan rasa cemas. Raihan kembali ke rutinitasnya, berusaha menyeimbangkan antara sekolah dan sepak bola. Dia belajar keras di sekolah, namun di malam hari, dia sering keluar untuk berlatih dribbling atau tendangan di lapangan.
Semakin hari, hasrat Raihan untuk menjadi pemain sepak bola profesional semakin besar. Dia sering membayangkan dirinya bermain di klub-klub besar seperti Manchester United, dengan jersey merah yang ikonik. Namun, di balik semua impian itu, ada rasa ketidakpastian dan keraguan. Apakah dia akan bisa mewujudkannya?
Saat malam tiba, Raihan sering berdiri di depan jendela kamarnya, menatap bintang-bintang, berharap agar satu hari nanti, dia bisa berada di lapangan yang lebih besar, di tengah sorakan rumian orang.
"Aku akan jadi pemain bola terkenal!" bisiknya pada diri sendiri, bertekad meski ada banyak rintangan di depan.
Desa kecil itu mungkin tidak menawarkan banyak, tetapi bagi Raihan, lapangan itu adalah panggung kehidupannya. Dia tahu, untuk mencapai impiannya, dia harus berjuang lebih keras dan tidak pernah menyerah. Mimpi itu mungkin terasa jauh, tetapi di dalam hati Raihan, dia percaya bahwa dengan kerja keras, tidak ada yang tidak mungkin.
Bab 2: Menembus Batas
Setelah kemenangan di turnamen sekolah, semangat Raihan semakin membara. Dia merasa seolah-olah seluruh dunia membuka pintu untuknya, dan dia bertekad untuk mengejar mimpinya lebih serius. Di desanya, semua orang mulai mengenal namanya, dan dukungan dari teman-teman dan keluarga memberinya motivasi tambahan.
Suatu sore, ketika Raihan sedang berlatih di lapangan, seorang pria tua mendekatinya. Pria itu adalah Pak Haris, mantan pemain sepak bola yang pernah bermain di klub lokal. Dengan mata penuh pengalaman, Pak Haris mengamati Raihan yang berlatih keras. "Kau memiliki bakat, Nak. Tapi, jika ingin bermain di level yang lebih tinggi, kamu perlu latihan yang lebih serius dan bimbingan yang tepat," ujarnya.
Kata-kata itu menggugah semangat Raihan. Dia mulai merenungkan betapa pentingnya untuk mendapatkan pelatihan yang lebih baik. Keesokan harinya, dia memberanikan diri untuk berbicara dengan orang tuanya. "Ma, Pa, aku ingin mengikuti pelatihan sepak bola di kota. Aku ingin menjadi pemain profesional," katanya dengan penuh harapan.