Mohon tunggu...
Mudrikah Aladawiyah
Mudrikah Aladawiyah Mohon Tunggu... -

Semoga bermanfaat

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kekuasaan dan Kehendak Mutlak Allah

14 Februari 2016   11:37 Diperbarui: 14 Februari 2016   11:37 8335
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Allah telah menciptakan dan mengatur alam semesta dan semua makhluk yang berada di dalamnya, tentu saja Dia pula yang memiliki kehendak dan kekuasaan yang mengatasi kehendak dan kekuasaan makhluknya. Akan tetapi, apakah kehendak dan kekuasaan Allah tersebut bersifat mutlak ataukah terbatas, para ulama kalam berbeda pendapat dalam menghadapinya.

Sebagai akibat dari perbedaan paham yang terdapat dalam aliran-aliran teologi Islam, terdapat pula mengenai kekuasaan dan kehendak mutlak Allah. Bagi aliran ynag berpendapat bahwa akal mempunyai daya yang besar, kekuasaan Allah pada hakikatnya tidaklah bersifat mutlak semutlak-mutlaknya. Adapun aliran yang berbeda pendapat sebaliknya berpendapat bahwa kekuasaan dan kehendak Allah tetap bersifat mutlak.

Mu’tazilah mengatakan bahwa Allah memiliki kehendak dan kekuasaan yang terbatas meskipun yang membatasinya adalah kehendak Nya sendiri. Menurut Mu’tazilah, yang membatasi kehendak dan kekuasaan Allah itu adalah: Kebebasan yang telah diberikan kepada Nya kepada manusia untuk memilih dan melakukan perbuatannya, Sunnah Nya dalam mengatur alam semesta dan makhluk Nya, Norma keadilan, Kewajiban yang telah ditetapkannya atas dirinya terhadap manusia.

Sebaliknya, Asy’ariyyah mengatakan bahwa Allah memiliki kehendak yang mutlak. Karena itu, Dia dapat berbuat apa saja terhadap makhluk Nya sesuai dengan kehendak nya tanpa ada yang membatasi dan melarangnya. Bahkan dia dapat saja memberikan hidayah dan menyesatkan hamba-hambanya secara paksa, memasukkan orang-orang kafir dan jahat ke dalam surge. Di pihak lain, Salafiyyah dan Maturidiyyah khususnya Samarkand,meski mengakui bahwa Allah mempunyai kekuasaan dan kehendak yang mutlak, mereka juga mengakui bahwa Allah tidaklah berlaku sewenang-wenang terhadap hamba-hambanya.

 

Perbedaan aliran-aliran mengenai kekuasaan dan kehendak mutlak Allah

o    Mu’tazilah

Aliran ini berpendapat, bahwa kekuasaan Allah sebenarnya tidak mutlak lagi. Karena telah dibatasi oleh kebebasan yang telah diberikan Allah kepada manusia dalam menentukan kekuasaan dan perbuatan. (Nasution, 1986: 119)

Oleh sebab itu dalam pandangan Mu’tazilah, kekuasaan dan kehendak mutlak Allah berlaku dalam jalur hukum‑hukum yang tersebar di tengah alam semesta. Itulah sebabnya kemutlakan kehendak Allah menjadi terbatas. (Yunan Yusuf, 1990: 74) Mereka berkeyakinan, bahwa Allah telah memberikan kemerdekaan dan kebebasan bagi manusia dalam menentukan kehendak dan perbuatannya. (Nasution, 1991: 105)

Dengan demikian aliran Mu’tazilah memandang, bahwa yang menciptakan perbuatan adalah manusia sendiri. Tidak ada hubungannya dengan kehendak Allah, bahkan Allah menciptakan manusia sekaligus menciptakan kemampuan dan kehendak pada diri manusia. (Makki, 1952:  26)

Mu’tazilah menguatkan pendapat mereka berdasarkan dalil aqli dan naqli. Secara aqli mereka menyatakan bahwa seandainya manusia tidak diberi potensi oleh Allah, maka ia tidak akan dibebani kewajiban. Sedangkan secara naqli mereka menguatkan dengan beberapa ayat Al‑Quran, antara lain Q.S. Al‑Kahfi (18): 29, yang artinya 29. “Dan Katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Allahmu; Maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir". Sesungguhnya kami Telah sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek”

Kebebasan manusia yang diberikan Allah baru bermakna kalau Allah membatasi kekuasaan dan kehendak mutlakNya. Demikian pula keadilan Allah membuat Allah sendiri terikat pada norma‑norma keadilan yang bila dilanggar membuat Allah bersifat tidak adil atau dhalim. Dengan demikian dalam pandangan Mu’tazilah Allah tidaklah memperlakukan kehendak dan kekuasaanNya secara mutlak, tetapi sudah terbatas. (Nasution, 1986: 119).

Jadi ketidakmutlakan kehendak Allah itu disebab‑kan oleh kebebasan yang diberikan Allah kepada manusia, keadilan Allah sendiri dan adanya kewajiban‑kewajiban Allah kepada manusia serta adanya hukum alam atau sunnahtullah.

o    Asy’ariyah

Berpijak pada paham Jabariyah dan penggunaan akal yang tidak begitu besar maka Asy’ariyah berpendapat, bahwa Allah mempunyai kehendak mutlak. Kehendak Allah baik berupa hidayat dan kesesatan, kenikmatan dan kesengsaraan, pahala bagi yang taat dan siksa bagi yang maksiat, perbuatan shalah wa al‑ashlah, pengutusan rasul dan pengukuhannya dengan mu’jizat, semuanya itu berasal dari ketentuan Allah. Dialah yang menentukannya. Jika dikehendaki-Nya, ia akan terjadi. Dan jika tidak maka tidak akan terjadi. Tidak ada sesuatu yang wajib dan/atau mahal. (Makki, 1952: 7)

Dengan demikian aliran ini beranggapan, bahwa kehendak Allah itu adalah mutlak semutlak‑mutlaknya. Dalam hal ini Asy’ariyah memperkuat dengan dua dalil, yaitu dalil aqli dan dalil naqli. Secara aqli dinyatakan bahwa perbuatan Allah itu berasal dari qudrat dan iradatNya secara sempurna dan teralisasi secara mutlak. Sedangkan secara naqli adalah firman Allah Q.S. Ash‑Shaffat, 37: 96 dan Hadis Nabi. (Makki, 1952: 1)

o    Maturidiyah Bukhara

Paham mereka tentang kehendak Allah dekat dengan paham Asy’ariyah. Mereka beranggapan bahwa Allah mempunyai kehendak mutlak. Tidak ada yang menghalangi kehendak Allah, karena selainNya tidak ada yang mempunyai kehendak. Allah mampu berbuat apa saja yang dikehendakiNya dan menentukan segala‑galanya menurut kehendakNya. Tidak ada yang dapat menentang atau memaksa Allah, dan tidak ada larangan‑larangan bagi Allah. (Al‑Jazari, 1192 H.: 127)

Oleh karena itu tidak ada kewajiban bagi Allah untuk berbuat jahat, dan tidak ada pula kewajiban bagi-Nya memberi pahala bagi orang yang berbuat baik. Semua yang dikerjakan manusia, baik atau jahat, adalah atas dasar kehendak-Nya semata.

o    Maturidiyah Samarkand

Dalam masalah kehendak mutlak Allah, aliran Maturidi Samarkand mengambil posisi tengah, antara golongan Mu’tazilah dan golongan Asy’ariyah. Hal‑hal yang mereka pegangi sebagai batas kehendak mutlak Allah, antara lain: Kemerdekaan dalam kemauan dan perbuatan yang menurut pendapat mereka ada  pada manusia, Keadaan Allah menjatuhkan hukuman bukan sewenang‑wenang, tetapi berdasarkan atas kemerdekaan manusia atas dirinya untuk berbuat baik atau jahat, Keadaan hukuman‑hukuman Allah, sebagai kata al‑Bayadi, tidak boleh tidak mesti terjadi. (Nasution, 1986: 122)

Walaupun golongan ini mengidentifikasikan adanya kemerdekaan dan kemauan pada manusia, bukan berarti sama sekali menafikan kehendak Allah dalam diri manusia. Allah masih juga ikut campur tangan dalam menentukan perbuatan manusia, yaitu dengan menciptakan daya yang terkandung dalam diri manusia. Untuk apa daya yang dikandungnya itu dipergunakan, itulah wujud kehendak manusia. Seperti memilih yang baik dan yang buruk. Dengan kata lain kebebasan kehendak manusia hanya merupakan kebebasan memilih antara yang disukai dan yang tidak disukai oleh Allah. (Nasution, 1986: 123)

Pemberian hidayah dan penyesatan manusia

Di dalam al quran banyak dijumpai ayat yang menegaskan bahwa Allah tidak menyukai orang-ornag kafir, fasik, dzalim, yang melampaui batas (mu’tadin), yang berlebihan (musrifin), yang berkhianat (khainin), yang selalu berkhianat lagi bergelimang dosa (khawwanan atsima), yang merusak (mufsidin), yang sombong (mustakbirin), yang sombong dan membanggakan diri (mukhtalan fakhara). Sebaliknya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik (muhsinin), yang sabar (shabirin), yang bertawakkal (mutawakkilin), yang bertaqwa (muttaqin), yang bertaubat (tawwabin), dan yang mensucikan diri (mutathohhirin), dan yang adil (muqsithin). (Athaillah, 2002: 246)

Disamping itu, di dalam Al-quran banyak dijumpai ayat yang menurut harfiyahnya menyatakan bahwa Allah lah yang menghendaki sementara orang menjadi orang menjadi tersesat atau kafir atau mendapat petunjuk atau beriman. Ayat-ayat yang menyatakan hal tersebut antara lain dalam surat Hud (11): 34

wur ö/ä3ãèxÿZt ûÓÅÕóÁçR ÷bÎ) Nur& ÷br& yx|ÁRr& öNä3s9 bÎ) tb%x. ª!$# ßÌã br& öNä3tÈqøóã 4 uqèd öNä3/u Ïmøs9Î)ur cqãèy_öè? ÇÌÍÈ

34. Dan tidaklah bermanfaat kepadamu nasehatku jika Aku hendak memberi nasehat kepada kamu, sekiranya Allah hendak menyesatkan kamu, dia adalah Allahmu, dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan".

Dan surat Yunus (10): 99

öqs9ur uä!$x© y7/u z`tBUy `tB Îû ÇÚöF{$# öNßg=à2 $·èÏHsd 4 |MRr'sùr& çnÌõ3è? }¨$¨Z9$# 4Ó®Lym (#qçRqä3t úüÏZÏB÷sãB ÇÒÒÈ

99. Dan Jikalau Allahmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?

 

Akan tetapi, dalam Al qur’an juga banyak ayat yang menafikan Allah menghendaki kekufuran dan kerusakan pada hamba-hamba nya. Ayat-ayat tersebut antara lain surat Al-an’am (6): 148

$tBur ã@ÅöçR tûüÎ=yößJø9$# wÎ) tûïÎÅe³u;ãB z`ÍÉZãBur ( ô`yJsù z`tB#uä yxn=ô¹r&ur xsù ì$öqyz öNÍkön=tã wur öNèd tbqçRtøts ÇÍÑÈ

48. Dan tidaklah kami mengutus para Rasul itu melainkan untuk memberikan kabar gembira dan memberi peringatan. barangsiapa yang beriman dan mengadakan perbaikan[474], Maka tak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati.

[474] Mengadakan perbaikan berarti melakukan pekerjaan-pekerjaan yang baik untuk menghilangkan akibat-akibat yang jelek dari kesalahan-kesalahan yang dilakukan.

 

Dan Al a’raf (7): 28

#sÎ)ur (#qè=yèsù Zpt±Ås»sù (#qä9$s% $tRôy`ur !$pkön=tæ $tRuä!$t/#uä ª!$#ur $tRzsDr& $pkÍ5 3 ö@è% cÎ) ©!$# w âßDù't Ïä!$t±ósxÿø9$$Î/ ( tbqä9qà)s?r& n?tã «!$# $tB w cqßJn=÷ès? ÇËÑÈ

28. Dan apabila mereka melakukan perbuatan keji[532], mereka berkata: "Kami mendapati nenek moyang kami mengerjakan yang demikian itu, dan Allah menyuruh kami mengerjakannya." Katakanlah: "Sesungguhnya Allah tidak menyuruh (mengerjakan) perbuatan yang keji." Mengapa kamu mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui?

[532]  seperti: syirik, thawaf telanjang di sekeliling ka'bah dan sebagainya.

Ayat-ayat yang menurut harfiyahnya mengandung perbedaan antar keduanya itu telah menimbulkan banyaknya perbedaan pendapat di kalangan ulama kalam dalam menanggapi masalah apakah seseorang mendapatkan hidayah atau malah tersesat karena kehendak Allah yang mutlak ataukah karena kehendak dan perilakunya sendiri. Pendapat Rasyid Ridha’, seorang tokoh pembaruan Islam yang dipandang paling berhasil tentang masalah ini ialah dengan melihat dan melacak dadri penafsirannya terhadap ayat-ayat diatas, misalnya Surat Hud (11): 34

wur ö/ä3ãèxÿZt ûÓÅÕóÁçR ÷bÎ) Nur& ÷br& yx|ÁRr& öNä3s9 bÎ) tb%x. ª!$# ßÌã br& öNä3tÈqøóã 4 uqèd öNä3/u Ïmøs9Î)ur cqãèy_öè? ÇÌÍÈ

34. Dan tidaklah bermanfaat kepadamu nasehatku jika Aku hendak memberi nasehat kepada kamu, sekiranya Allah hendak menyesatkan kamu, dia adalah Allahmu, dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan".

Berkenaan dengan maksud ayat diatas, Ridha mnejelaskan bahwa nasihat nabi Nuh tidak akan berguna untuk kaumnya kalau hanya ia yang menghendakinya. Nasihat nabi Nuh baru berguna jikalau Allah jugaa menghendakinya, sebab sudah menjadi sunnatullah yang dapat dibuktikan melalui berbagai pengalaman bahwa nasihat bisa terwujud apabila terdapat dua syarat, yakni orang yang member nasihat dan orang yang menerima nasihat. Orang-orang yang memiiliki kesiapan untuk menerima petunjuk dan bimbingan akan dapat menerima nasihat dengan mudah. Sebaliknya, orang-orang yang sudah terbiasa melakukan kesesatan dan keonaran atau sudah terbiasa menentang kebenaran dan mengikuti hawa nafsu yang menyebabkan tidak patuh kepada Allah, akan sulit menerima nasihat tersebut.

Selanjutnya Rasyid ridha menjelaskan: Maka yang dimaksud dengan Allah yang mengehendaki orang-ornag menjadi tersesat adalah yang sesuai dengan sunnah Nya pada mereka sehingga mereka menjadi orang-orang yang tersesat, bukan dengan cara telah menciptakan mereka itu tersesat secara serampangan atau sejak semula sudah menciptakannya demikian tanpa ada suatu perbuatan dan upaya dari mereka yang menjadi penyebabnya dahulu.

Ayat lain yang menurut harfiyahnya menyetakan bahwa beriman dan tidak berimannya seseorang tergantung pada kehendak mutlak Allah adalah surat Al-An’an (6): 111:

* öqs9ur $oY¯Rr& !$uZø9¨tR ãNÍkös9Î) spx6Í´¯»n=yJø9$# ÞOßgyJ¯=x.ur 4tAöqpRùQ$# $tR÷|³ymur öNÍkön=tã ¨@ä. &äóÓx« Wxç6è% $¨B (#qçR%x. (#þqãZÏB÷sãÏ9 HwÎ) br& uä!$t±o ª!$# £`Å3»s9ur öNèdusYò2r& tbqè=ygøgs ÇÊÊÊÈ

111. Kalau sekiranya kami turunkan malaikat kepada mereka, dan orang-orang yang Telah mati berbicara dengan mereka dan kami kumpulkan (pula) segala sesuatu ke hadapan mereka[498], niscaya mereka tidak (juga) akan beriman, kecuali jika Allah menghendaki, tetapi kebanyakan mereka tidak Mengetahui.

[498] Maksudnya untuk menjadi saksi bahwa Muhammad adalah Rasulullah.

Namun, ketika menafsirkan ayat diatas, Rasyid Ridha’ tidak memahaminya secara harfiyah. Dalam penafsiran itu, Ridha’ mengatakan bahwa meski Allah telah menurunkan para malaikat   yang dapat mereka lihat atau orang-orang yang telah mati dapat berbicarakepeda mereka untuk membuktikan kebenaran agama yang dibawa oleh nabi Muhammad saw atau apa saja yang dapat dijadikan bukti kebenarannya, mereka tetap tidak amu beriman karena mereka memang tidak memiliki kesiapn untuk itu. Selain itu merka tidak memandang bukti-bukti tersebut dengan pandangan orang yang ingin mencari kebenaran, tetapi hanya memandangnya dengan pandangan seseorang terhadap musuhnya.

Dalam penjelasan selanjutnya, Ridha mengatakan bahwa ornag-ornag yang berpandangan seperti itu selamanya tidak akan beriman kecuali jika Allah mengehendaki lain. Akan tetapi sunnatullah yang berkenaan dengan ketidaksiapan mereka untuk beriman itu sejalan dengan kehendak Allah pada sesuatu yang terjadi di alam semesta ini. jika Allah menghendaki mereka beriman, pasti akan terjadi. Namun Allah tidak akan menghendaki karena yang demikian itu mengubah sunnah nya dan mengganti tabiat manusia. Dengan dimikian penegasan Allah, “kecuali jika Allah mengehendaki” semakin memperkuat semakin memperkuat penegasannya, yaitu mereka tidak akan beriman. Namun kebanyakan mereka tidak mengetahui sunnatullah yang berlaku pada hambanya dan tidak mengetahui aktualisasinya pada individu dan masyarakat.

Itulah sebabnya sementara orang beriman berharap agar orang-orang yang meminta pembuktian-pembuktian itu apabila sudah dipenuhi permintaan tersebut, mereka akan beriman dengan anggapan bahwa bukti-bukti itu dapat menjadi sebab mereka beriman. Padahal bukti-bukti itu saja belum dapat memastikan demikian dan belum dapat mengubah tabiat manusia dalam memilih apa yang lebih kuat menurut pandangan mereka. Jika Allah menghendaki manusia beriman, lalu Dia menciptakan keimanan itu di dalam hati mereka tanpa ada upaya dan iktiyar sebelumnya dari mereka, tentunya manusia itu tidak lagi memerlukan para Rosul, bahkan mereka sendiri bukan lagi sejenis makhluk yang disebut dengan manusia.

Dari beberapa penafsiran yang telah dikemukakan Rasyid Ridha’ tersebut, maka pendirian tokoh pembaruan tentang kehendak Allah dapat diformulasikan sebagai berikut: Pertama, Allah memiliki kehendak yang mutlak. Karena itu, dia tidak hanya menghendaki hambanya menjdapat petunjuk dan menjadi ornag yang beriman dan yang baik, tetapi kadang-kadang juga menghendaki mereka tersesat, menjadi orang kafir dan jahat. Kedua, dalam melaksanakan kehendak nya, baik member petunjuk dan menyesatkan hamba nya atau menjadikan mereka beriman, baik, kafir dan jahat, Allah tidak menggunakan cara yang semena mena atau mneciptakan apa yang dikehendaki nya dan memaksanya pada orang-orang yang dikehendaki nya tersebut sejak awal, tetapi dengan cara yang sesuai dengan sunnah nya. Ketiga, sunnatullah dalam memberi petunjuk dan menyesatkan hamba-hamba nya atau menjadikan mereka beriman, kafir, baik dan jahat adalah mnegacu kepada perilaku dan sikap mereka sendiri.

Pendirian Ridha’ yang telah dikemukakan diatas berbeda dengan Mu’tazilah, sebab menurut Mu’tazilah Allah hanya menghendaki hamba-hambanya itu mendapat petunjuk, beriman, dan menjadi ornag-ornag yang baik dan tidak pernah menghendaki mereka tersesat, kufur dan menjadi orang-orang yang jahat. Adapun argument-argumen Mu’tazilah yang dikemukakan untuk memperkuat pendapat mereka itu ialah antara lain:

·         Jika Allah benar menghendaki hamba-hamba nya tersesat dan kufur, berarti Dia adalah Allah yang dzalim, padahal Allah menegaskan dalam surat al-ghafir (40): 31

·         Seandainya Allah menghendaki kejahatan, kemaksiatan, dan kekufuran, Allah tentu tidaklah melarang semuanya itu dilakukan hamba-hamba nya

·         Seandainya Allah menghendaki kejahatan dan kekufuran, bagaimana dia bisa menghukum hamba-hamba nya yang melakukan kedua hal itu

·         Seandainya Allah yang mneghendaki kejahatan dan kekufuran pada hamba-hamb nya, orang musyrik akan berdalih bahwa mereka menjadi penjahat dan kafir addalah karena kehendak Allah

Dengan demikian, yang benar menurut Mu’tazilah adalah Allah hanya menyenangi kebaikan, keimanan, dan hidayah untuk semua hambanya. Untuk itu, ia diciptakan sebab-sebab yang memungkinkan merka dapat melakukan hal-hal yang dikehendaki nya itu. Karena itu pula, setiap orang bebas memilih apakah akan berbuat baik atau buruk sesuai dengan kehendak masing-masing. Dengan adanya kemampuan dan kebebasan memilih itulah manusia kelak akan menerima balasan dari Allah swt baik berupa pahala ataupun hukuman. Untuk memperkuat pendirina mereka itu, Mu’tazilah juga telah mengemukakan beberapa ayat al quran yang lain, seperti diantaranya surat Ali Imran (3): 32

ö@è% (#qãèÏÛr& ©!$# ^qߧ9$#ur ( bÎ*sù (#öq©9uqs? ¨bÎ*sù ©!$# w =Ïtä tûïÍÏÿ»s3ø9$# ÇÌËÈ

32. Katakanlah: "Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, Maka Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir".

 

Menurut Abduljabbar, sekiranya setiap kedzaliman yang terjadi di dunia ini kehendak Allah swt, tentu pernyataannya pada ayat diatas bohong dan Dia sendiri tidaklah perlu mensucikan diri nya dari berbuat dzalim jika dikatakan yang dimaksud dengan pernyataan nya itu bukanlah dia yang berbuat dzalim kepadd penghuni alam semesta ini, melainkan agar sementara mereka berbuat dzalim kepada yang lain dari kalangan mereka sendiri, dapat disanggah dnegan argument bahwa lafal dzalmaan (kedzaliman) yang dinafikan dari Allah itu adalah ism nakiroh kyang mengandung pengertian umum yang masih dapat dibawa kepada pengertian khusus.

Menurut Abdul jabar apa saja yang dikehendaki Allah tidak lepas ddari salah satu dari dua hal. Pertama, ada yang dilakukan nya sendiri. Kedua, ada yang dilakukan makhluk nya. Jika yang dikehendaki itu adalah Allah sendiri yang melakukannya , kemudian tidak terwujud, hal itu merupakan bukti kelemahan nya. Namun jika yang dikehendaki itu adalah makhluk nya yang melakukannya perlu terlebih dahulu dibedakan antara apa yang dikehendaki nya itu harus dilakukan melalui pemaksaan dari nya atau melalui kebebasan. Kalau diakukan melalui pemaksaan, kemudian kehendak Allah itu tidak terwujud, hal itu merupakan bukti kelemahan Allah. Sebaliknya, kalau dilakukan melalui ikhtiyar (kebebasan memilih) makhluk nya, kemudian kehendak nya itu tidak dapat terwujud, hal itu bukan merupakan bukti kelemahan nya.

Misalnya, Allah menghendaki agar orang orang yang kafir beriman namun merek atetap saja kafir sehingga kehendak Allah tidak terwujud, atau Allah tidak menghendaki adanya kekafiran pada hamba nya namun ternyata kekafiran itu masih saja tetap ada, maka smeuanya itu tidak dapat dijadikan bukti kelemahan Allah.

Sesuai dengan pendirian mereka itu, maka saat mereka menjumpai ayat yang menegaskan bahwa Allah tidak hanya mneghendaki sementara hambanya menjadi orang beriman dan saleh tetapi juga menghendaki sementara mereka yang lain menjadi kafir dan jahat. Mu’tazilah mengemukakan teori lutf. Secara harfiah lutf berarti kelembutan, kalau disebut lutf min Allah, maksudnya adalah taufiq dan perlindungan dari Allah. Adapun yang dimaksud dengan mu’tazilah dengan lutf tersebut adalah semua hal perbuatan dan karunia dari Allah yang apabila diberikan nya kepada seseorang, ornag itu pun akan memperoleh petunjuk, beriman dan patuh pada Allah.

Allah tidak membebankan taklif di luar batas kemampuan manusia

Masalah lain yang berkenaan dengan kehendak dan kekuasaan mutlak Allah adalah apakah mungkin Dia membebankan taklif yang tidak dapat dilaksanakan manusia? Jawaban terhadap asalah tersebut sebenarnya dapat dijumpai dalam Al qur’an dalam al a’raf (7): 42:

úïÏ%©!$#ur (#qãZtB#uä (#qè=ÏJtãur ÏM»ysÎ=»¢Á9$# w ß#Ïk=s3çR $²¡øÿtR wÎ) !$ygyèóãr Í´¯»s9'ré& Ü=»ptõ¾r& Ïp¨Zpgø:$# ( öNèd $pkÏù tbrà$Î#»yz ÇÍËÈ

42. Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal yang saleh, kami tidak memikulkan kewajiban kepada diri seseorang melainkan sekedar kesanggupannya, mereka Itulah penghuni-penghuni surga; mereka kekal di dalamnya.

Meskipun makna lahir kedua ayat diatas sudah jelas menunjukkan bahwa Allah tidak akan membebankan taklif kepada manusia diluar batas kemampuannya, para teolog Islam tetap berbeda pendapat tentang masalah tersebut. Hal itu disebabkan para teolog lebih mengutamakan konsep teologi yang dianut oleh aliran mereka sendiri daripada penegasan dari nash nash al qur’an.

Berkenaan dengan masalah taklif tersebut, Ridha’ juga telah mnegemukakan pendapatnya seperti yang terdapat pada penafsirannya terhadap ayat tersebut. Ketika menafsirkan surat al a’raf (7): 42, kami (Allah) tidak membebani seseorang, kecuali yang sesuai dengan kemampuannya. Ridho’ menafsirkan dengan: kami (Allah) tidak mewajibkan kepada mukallaf kecuali yang sesuai dengan kesanggupannya untuk melakukannya,yaitu dengan cara tidak memperkecil kemampuannya dan tidak mempersulit pelaksanaannya.

Dari penafsiran yang telah dikekmukakan Ridha’ diatas dapat disimpulkan bahwa menurut beliau, Allah tidaklah memberikan taklif syariat kepada hamba Nya diluar batas kemampuan mereka.

Apabila pendirian tersebut dibandingkan dengan pendirian dari aliran teologi Islam yang lain, pendirian tokoh pembaruan itu identik dengan pendirian aliran-aliran, seperti Mu’tazilah, Mathuridiyyah, dan Salafiyyah, tetapi bertentangan dengan pendirian aliran Asy’ariyyah. Para mufassir aliran Asy’ariyyah inilah yang dimaksud beliau did lama penafsirannya diatas dengan para mufassir yang mneyatakan bahwa Allah dapat saja membebankan taklif di luar batas kemampuan manusia untuk memikulinya.

Adanya persamaan pendirian tersebut dengan Mu’tazilah karna aliran itu juga mengatakan bahwa Allah tidak akan membebankan taklif di luar kemampuan manusia. Menurut Mu’tazilah, karena Allah adalah Allah yang maha Adil, Dia tidak akan membebankan taklif baik perintah  aupun larangan yang baik dapat dipikul manusia, sebab hal itu merupakan suatu keburukan (qabih). Padahal, Allah Mahasuci dari melakukan keburukan kepada hamba-hamba Nya.

 

Daftar pustaka

A Hanafiy, 1987. Pengantar Teologi Islam. Jakarta: Bulan Bintang

Al Quran Al karim dan Terjemah

Nasution, harun, 1986. Teologi Islam: aliran-aliran, Analisa perbandingan. Jakarta: UI Press

http://muhsinhariyanto.blogspot.com/2014/10/29/kehendak-mutlak-dan-keadilan-Allah.html

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun