Kebebasan manusia yang diberikan Allah baru bermakna kalau Allah membatasi kekuasaan dan kehendak mutlakNya. Demikian pula keadilan Allah membuat Allah sendiri terikat pada norma‑norma keadilan yang bila dilanggar membuat Allah bersifat tidak adil atau dhalim. Dengan demikian dalam pandangan Mu’tazilah Allah tidaklah memperlakukan kehendak dan kekuasaanNya secara mutlak, tetapi sudah terbatas. (Nasution, 1986: 119).
Jadi ketidakmutlakan kehendak Allah itu disebab‑kan oleh kebebasan yang diberikan Allah kepada manusia, keadilan Allah sendiri dan adanya kewajiban‑kewajiban Allah kepada manusia serta adanya hukum alam atau sunnahtullah.
o   Asy’ariyah
Berpijak pada paham Jabariyah dan penggunaan akal yang tidak begitu besar maka Asy’ariyah berpendapat, bahwa Allah mempunyai kehendak mutlak. Kehendak Allah baik berupa hidayat dan kesesatan, kenikmatan dan kesengsaraan, pahala bagi yang taat dan siksa bagi yang maksiat, perbuatan shalah wa al‑ashlah, pengutusan rasul dan pengukuhannya dengan mu’jizat, semuanya itu berasal dari ketentuan Allah. Dialah yang menentukannya. Jika dikehendaki-Nya, ia akan terjadi. Dan jika tidak maka tidak akan terjadi. Tidak ada sesuatu yang wajib dan/atau mahal. (Makki, 1952: 7)
Dengan demikian aliran ini beranggapan, bahwa kehendak Allah itu adalah mutlak semutlak‑mutlaknya. Dalam hal ini Asy’ariyah memperkuat dengan dua dalil, yaitu dalil aqli dan dalil naqli. Secara aqli dinyatakan bahwa perbuatan Allah itu berasal dari qudrat dan iradatNya secara sempurna dan teralisasi secara mutlak. Sedangkan secara naqli adalah firman Allah Q.S. Ash‑Shaffat, 37: 96 dan Hadis Nabi. (Makki, 1952: 1)
o   Maturidiyah Bukhara
Paham mereka tentang kehendak Allah dekat dengan paham Asy’ariyah. Mereka beranggapan bahwa Allah mempunyai kehendak mutlak. Tidak ada yang menghalangi kehendak Allah, karena selainNya tidak ada yang mempunyai kehendak. Allah mampu berbuat apa saja yang dikehendakiNya dan menentukan segala‑galanya menurut kehendakNya. Tidak ada yang dapat menentang atau memaksa Allah, dan tidak ada larangan‑larangan bagi Allah. (Al‑Jazari, 1192 H.: 127)
Oleh karena itu tidak ada kewajiban bagi Allah untuk berbuat jahat, dan tidak ada pula kewajiban bagi-Nya memberi pahala bagi orang yang berbuat baik. Semua yang dikerjakan manusia, baik atau jahat, adalah atas dasar kehendak-Nya semata.
o   Maturidiyah Samarkand
Dalam masalah kehendak mutlak Allah, aliran Maturidi Samarkand mengambil posisi tengah, antara golongan Mu’tazilah dan golongan Asy’ariyah. Hal‑hal yang mereka pegangi sebagai batas kehendak mutlak Allah, antara lain: Kemerdekaan dalam kemauan dan perbuatan yang menurut pendapat mereka ada pada manusia, Keadaan Allah menjatuhkan hukuman bukan sewenang‑wenang, tetapi berdasarkan atas kemerdekaan manusia atas dirinya untuk berbuat baik atau jahat, Keadaan hukuman‑hukuman Allah, sebagai kata al‑Bayadi, tidak boleh tidak mesti terjadi. (Nasution, 1986: 122)
Walaupun golongan ini mengidentifikasikan adanya kemerdekaan dan kemauan pada manusia, bukan berarti sama sekali menafikan kehendak Allah dalam diri manusia. Allah masih juga ikut campur tangan dalam menentukan perbuatan manusia, yaitu dengan menciptakan daya yang terkandung dalam diri manusia. Untuk apa daya yang dikandungnya itu dipergunakan, itulah wujud kehendak manusia. Seperti memilih yang baik dan yang buruk. Dengan kata lain kebebasan kehendak manusia hanya merupakan kebebasan memilih antara yang disukai dan yang tidak disukai oleh Allah. (Nasution, 1986: 123)