Selanjutnya Rasyid ridha menjelaskan: Maka yang dimaksud dengan Allah yang mengehendaki orang-ornag menjadi tersesat adalah yang sesuai dengan sunnah Nya pada mereka sehingga mereka menjadi orang-orang yang tersesat, bukan dengan cara telah menciptakan mereka itu tersesat secara serampangan atau sejak semula sudah menciptakannya demikian tanpa ada suatu perbuatan dan upaya dari mereka yang menjadi penyebabnya dahulu.
Ayat lain yang menurut harfiyahnya menyetakan bahwa beriman dan tidak berimannya seseorang tergantung pada kehendak mutlak Allah adalah surat Al-An’an (6): 111:
* öqs9ur $oY¯Rr& !$uZø9¨tR ãNÍkös9Î) spx6Í´¯»n=yJø9$# ÞOßgyJ¯=x.ur 4tAöqpRùQ$# $tR÷|³ymur öNÍkön=tã ¨@ä. &äóÓx« Wxç6è% $¨B (#qçR%x. (#þqãZÏB÷sãÏ9 HwÎ) br& uä!$t±o ª!$# £`Å3»s9ur öNèdusYò2r& tbqè=ygøgs ÇÊÊÊÈ
111. Kalau sekiranya kami turunkan malaikat kepada mereka, dan orang-orang yang Telah mati berbicara dengan mereka dan kami kumpulkan (pula) segala sesuatu ke hadapan mereka[498], niscaya mereka tidak (juga) akan beriman, kecuali jika Allah menghendaki, tetapi kebanyakan mereka tidak Mengetahui.
[498] Maksudnya untuk menjadi saksi bahwa Muhammad adalah Rasulullah.
Namun, ketika menafsirkan ayat diatas, Rasyid Ridha’ tidak memahaminya secara harfiyah. Dalam penafsiran itu, Ridha’ mengatakan bahwa meski Allah telah menurunkan para malaikat yang dapat mereka lihat atau orang-orang yang telah mati dapat berbicarakepeda mereka untuk membuktikan kebenaran agama yang dibawa oleh nabi Muhammad saw atau apa saja yang dapat dijadikan bukti kebenarannya, mereka tetap tidak amu beriman karena mereka memang tidak memiliki kesiapn untuk itu. Selain itu merka tidak memandang bukti-bukti tersebut dengan pandangan orang yang ingin mencari kebenaran, tetapi hanya memandangnya dengan pandangan seseorang terhadap musuhnya.
Dalam penjelasan selanjutnya, Ridha mengatakan bahwa ornag-ornag yang berpandangan seperti itu selamanya tidak akan beriman kecuali jika Allah mengehendaki lain. Akan tetapi sunnatullah yang berkenaan dengan ketidaksiapan mereka untuk beriman itu sejalan dengan kehendak Allah pada sesuatu yang terjadi di alam semesta ini. jika Allah menghendaki mereka beriman, pasti akan terjadi. Namun Allah tidak akan menghendaki karena yang demikian itu mengubah sunnah nya dan mengganti tabiat manusia. Dengan dimikian penegasan Allah, “kecuali jika Allah mengehendaki” semakin memperkuat semakin memperkuat penegasannya, yaitu mereka tidak akan beriman. Namun kebanyakan mereka tidak mengetahui sunnatullah yang berlaku pada hambanya dan tidak mengetahui aktualisasinya pada individu dan masyarakat.
Itulah sebabnya sementara orang beriman berharap agar orang-orang yang meminta pembuktian-pembuktian itu apabila sudah dipenuhi permintaan tersebut, mereka akan beriman dengan anggapan bahwa bukti-bukti itu dapat menjadi sebab mereka beriman. Padahal bukti-bukti itu saja belum dapat memastikan demikian dan belum dapat mengubah tabiat manusia dalam memilih apa yang lebih kuat menurut pandangan mereka. Jika Allah menghendaki manusia beriman, lalu Dia menciptakan keimanan itu di dalam hati mereka tanpa ada upaya dan iktiyar sebelumnya dari mereka, tentunya manusia itu tidak lagi memerlukan para Rosul, bahkan mereka sendiri bukan lagi sejenis makhluk yang disebut dengan manusia.
Dari beberapa penafsiran yang telah dikemukakan Rasyid Ridha’ tersebut, maka pendirian tokoh pembaruan tentang kehendak Allah dapat diformulasikan sebagai berikut: Pertama, Allah memiliki kehendak yang mutlak. Karena itu, dia tidak hanya menghendaki hambanya menjdapat petunjuk dan menjadi ornag yang beriman dan yang baik, tetapi kadang-kadang juga menghendaki mereka tersesat, menjadi orang kafir dan jahat. Kedua, dalam melaksanakan kehendak nya, baik member petunjuk dan menyesatkan hamba nya atau menjadikan mereka beriman, baik, kafir dan jahat, Allah tidak menggunakan cara yang semena mena atau mneciptakan apa yang dikehendaki nya dan memaksanya pada orang-orang yang dikehendaki nya tersebut sejak awal, tetapi dengan cara yang sesuai dengan sunnah nya. Ketiga, sunnatullah dalam memberi petunjuk dan menyesatkan hamba-hamba nya atau menjadikan mereka beriman, kafir, baik dan jahat adalah mnegacu kepada perilaku dan sikap mereka sendiri.
Pendirian Ridha’ yang telah dikemukakan diatas berbeda dengan Mu’tazilah, sebab menurut Mu’tazilah Allah hanya menghendaki hamba-hambanya itu mendapat petunjuk, beriman, dan menjadi ornag-ornag yang baik dan tidak pernah menghendaki mereka tersesat, kufur dan menjadi orang-orang yang jahat. Adapun argument-argumen Mu’tazilah yang dikemukakan untuk memperkuat pendapat mereka itu ialah antara lain:
· Jika Allah benar menghendaki hamba-hamba nya tersesat dan kufur, berarti Dia adalah Allah yang dzalim, padahal Allah menegaskan dalam surat al-ghafir (40): 31