Rindunya memberontak, hatinya ingin teriak, tapi untuk apa? Sedang saat ini Lintang tak tahu apakah laki-laki di belahan bumi sana masih menyimpan rindu untuknya.
Lintang terus bersenandika, 'Apakah harus berhenti berharap.. rasanya masih terlalu dini untuk menyerah.. tapi hati juga butuh kepastian.. Jika harus bersabar, sampai kapan? Sementara rindu sudah tak sabar, tak mau diajak kompromi, apalagi harus lebih lama menanti.'
Lintang menghela napas panjang, seminggu yang lalu Gischa menanyakan jawaban kesediaannya menikah dengan Mas Anan. Lintang belum memutuskan apapun, hatinya masih berharap pada Remund, tapi kabar laki-laki Jerman itu  tak kunjung menyapa. 'Haruskan aku menerima menikah dengan Mas Anan? Tapi untuk alasan apa menikah dengan laki-laki beristri? Lintang tak menemukan alasan yang tepat. Apakah hatinya sudah tak lagi bisa merasio nalurinya.
Kalau saja Lintang bisa minta pendapat orang lain, mungkin ia tak segalau ini. Tapi tidakkah terlalu naif membicarakan hal yang tabu? Ah bukan, menikah bukan hal yang tabu.. tapi menikah dengan laki-laki beristri...
Aarrghh
Lintang menutup laptopnya, mencari udara segar di teras mungkin bisa mendinginkan hatinya yang mendidih.
"Selamat siang, Mbak Lintang." Dewi menyapa sambil mengembangkan senyum.
"Eh Mbak Dewi," sapa Lintang membalas.
"Udah mau pulang, Mbak?"
"Eh.. iya, Mbak," jawab Dewi.
"Udah habis buburnya?"