Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

[Poltak #105] Perpisahan di Dermaga Tigaraja [Tamat]

14 Juli 2023   13:43 Diperbarui: 14 Juli 2023   15:44 346
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pengumuman kelulusan adalah maklumat perpisahan bagi murid-murid kelas enam SD Hutabolon. Sejak hari pengumuman itu, mereka tidak masuk sekolah lagi.  Tidak ada lagi pertemuan di dalam kelas.

Takada kata-kata perpisahan atau semacam salam perpisahan. Setelah saling tukar kata yang tak penting, anak-anak lulusan SD itu pulang begitu saja.  Sama seperti pada hari-hari sebelumnya.  Seakan besok masih akan bertemu lagi.

Nyatanya tak demikian.  Mereka tahu itu.

Anak-anak lulusan SD itu akan menapaki jalan hidup masing-masing.  Sebagian akan melanjutkan sekolah ke SMP demi mengejar cita-cita. 

Sebagian lagi terpuruk di kampung bergelut dengan lumpur sawah. Mereka akan menghitung tahun-tahun hingga cukup umur untuk meminang atau dipinang belahan jiwa.

Tak banyak anak yang melanjut ke SMP. Hanya sembilan orang dari delapanbelas anak lulusan SD Hutabolon.

Binsar, Bistok, dan Jonder akan melanjut ke SMP Lumbanjulu; Alogo, Tiur, Marolop, dan Saur melanjut ke SMP Parapat; Berta melanjut ke SMP Pangururan Samosir. 

Sedangkan Poltak, tak bisa ditawar lagi. Dia akan melanjut ke SMP Seminari Christus Sacerdos Pematang Siantar.

Memang tak mudah bagi anak-anak Panatapan, Sorpea, Hutabolon, Portibi, dan Binanga melanjutkan sekolah ke SMP. Alasannya faktor jarak sekolah. Dua SMP terdekat berada di Lumbanjulu, Uluan-Toba dan Parapat Simalungun.  Perlu sekurangnya modal sepeda untuk pergi-pulang bersekolah ke sana.

Tapi sepeda adalah barang mewah untuk warga di lima kampung itu. Tak banyak orang yang mampu membelinya. Di Panatapan misalnya hanya Poltak yang punya sepeda, peninggalan kakeknya.

“Poltak!”

“Kenapa, pariban.”

“Kata among kami akan berangkat ke Pangururan hari Sabtu minggu depan.”

Berta memberitahu rencana waktu kepindahan keluarganya kepada Poltak, sesaat setelah bubaran pengumuman kelulusan sekolah.

“Sabtu minggu depan?”  tanya Poltak minta penegasan. Dalam hati,  “Mengapa begitu cepat?”

“Iya, Sabtu minggu depan. Tanggal enambelas.”  Berta menegaskan. Tapi dengan nada suara sendu, seakan tak ingin itu terjadi.

“Naik kapalkah?”

“Iyalah.”

“Aku akan mengantarmu naik ke kapal.”

“Janji, ya, Poltak?”

“Janji.”

Keduanya bertukar senyum sebelum kemudian, dengan langkah kaki yang mendadak terasa berat, bersimpang jalan di pintu gerbang sekolah.  Berta ke utara, ke kampung Binanga.  Poltak ke selatan, ke kampung Panatapan.

Tiga hari sebelum keberangkatan Berta dan keluarganya ke Pangururan, Poltak mendapat surat undangan ujian masuk seminari. Surat itu dikirim kepadanya lewat Ama Lamria, Porhangir Gereja Katolik Aeknatio.  Tertulis di situ ujian masuk seminari diadakan pada hari Sabtu tanggal 16 Desember 1973, pukul 10.00 – 12.00 WIB, bertempat di Pastoran Katolik Seminari Agung Parapat.

“Mudah-mudahan aku masih sempat mengantar Berta naik kapal,” bisik Poltak dalam hati, sambil menimang-nimang surat undangan ujian itu.

“Ah, tapi harus sempat. Aku sudah berjanji,” batinnya.

Poltak menghitung waktu.  Kapal ke Pangururan diperkirakan bertolak paling cepat pukul 13.00 WIB.  Ujian masuk seminari selesai pukul 12.00 WIB.  Ada selang waktu satu jam. Paling lama seperempat jam berlari dari Pastoran Katolik ke Dermaga Tigaraja. Jadi masih ada waktu sekurangnya tiga perempat  jam untuk bertemu dengan Berta.

Hanya tiga perempat jam?  Cukupkah?

Tidak, sejujurnya sangat tidak cukup.  Waktu tiga perempat jam itu pasti terasa hanya sekejap. Tapi bagi Poltak dan Berta itu akan menjadi sekejap yang tak terlupakan.

Sabtu 16 Desember pagi, menumpang motor bus “PMH”, Poltak dan neneknya tiba di Onan Tigaraja. Sementara neneknya maronan, jual-beli di pasar, Poltak akan mengikuti ujian di Pastoran Katolik.  Setelah itu mereka akan mengantar keluarga Ama Rumiris, termasuk Berta tentu saja, naik kapal rute Pangururan.

“Poltak, kau bisa pergi sendiri ujian ke pastoran di atas sana, kan?” Nenek Poltak minta kepastian.

“Bisa, Ompung.”

“Nanti, selesai ujian, kau langsung ke dermaga, ya.”

“Olo, Ompung.”

“Kita harus mengantar tulangmu, nantulangmu, dan paribanmu naik ke kapal. Jangan sampai telat kau!”

“Olo, Ompung.”

Poltak menapaki jalan mendaki dari Onan Tigaraja menuju Pastoran Katolik Seminari Agung Parapat. Ditembusnya keramaian balairung dan kios-kios dagang ke arah timur, sebelum kemudian tiba di Jalan Joseph Sinaga. Setelah menyusuri jalan beraspal sekitar limaratus meter, Poltak belok kiri mendaki jalan setapak menanjak menuju Pastoran Katolik.

Gedung Pastoran itu bertengger di atas sebuah bukit.  Itu sebuah komplek gedung-gedung pelayanan Paroki Parapat.  Ada gedung pastoran, gereja, gedung susteran, dan gedung frateran atau novisiat Seminari Agung.

Sedikit terengah dan berkeringat di pelipis dan ketiak, Poltak tiba di pintu depan gedung pastoran. Seorang frater sudah menunggu di situ.

“Horas, adik Poltak,” sapanya ramah.

Poltak terkejut.  Bagaimana bisa frater itu tahu namanya. Diamatinya wajah frater itu. Ah, dia ingat sekarang.

“Horas, Frater Ambrosius.” Poltak ingat, dia adalah Frater Ambroius, ketua dewan juri lomba menulis dan membaca puisi saat Perayaan Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus yang lalu.

“Poltak mau ikut ujian masuk seminari, kan?”

“Betul, Frater.”  Poltak menyalami frater itu.

“Mari, masuk, adik.”

Frater Ambrosius yang ramah itu mengantar Poltak ke ruang ujian. Di situ sudah hadir lima orang anak lain.  Mereka berasal dari stasi lain di wilayah Paroki Parapat.  Karena itu Poltak tak kenal seorangpun.

“Kita tunggu teman, empat orang lagi, ya.” Frater Ambroisus minta permakluman.

Ujian dimulai tepat pukul 10.00 WIB.  Saat semua peserta telah hadir, sepuluh orang.

Mata pelajaran yang diujikan hanya tiga. Bahasa Indonesia, Berhitung, dan Ilmu Pengetahuan Alam.

Bagi Poltak, soal-soal ujian masuk seminari itu kurang-lebih serupa dengan soal-soal ulangan akhir sekolah yang telah dilaluinya. Karena itu dia yakin bisa lulus masuk seminari, seperti dirinya juga bisa lulus dari Sekolah Dasar. Tapi nilainya mungkin tak sebagus hasil ujian akhir sekolah.  Sebab dia lupa minum limun tadi pagi.

Poltak menyelesaikan ujian tepat waktu. 

“Frater, apakah aku boleh langsung pulang?” tanya Poltak kepada Frater Ambrosius saat mengumpulkan berkas ujian.

“Jangan, kita makan siang dulu, Poltak.”  Frater Ambrosius menawarkan makan siang.

“Eh, makanan para pastor dan frater pasti enak,” pikir Poltak.  Dia ingin juga mencicipi makanan para hamba Tuhan itu.

Tapi wajah Berta mendadak muncul di layar benaknya.  Dia ingat janjinya mengantar Berta naik ke kapal.  Takada yang lebih penting dari itu.  Apalagi hanya sekadar makanan para pastor dan frater.

“Mauliate, Frater.  Aku ditunggu ompungku di Tigaraja,” tampik Poltak dengan halus.

“Oh, baiklah.  Hati-hati di jalan, ya, Poltak. Ingat, kau calon pastor.” 

Entah kenapa Frater Ambrosius sangat yakin Poltak pasti lulus ujian masuk seminari. Dia sudah jatuh hati pada Poltak sejak anak itu menjadi juara menulis dan membaca puisi pada 17 Agustus lalu.

“Olo, Fraternami.”

Poltak berbohong.  Bukan neneknya yang menanti kehadirannya.  Melainkan Berta, paribannya.  Tapi hal itu tak mungkinlah dikatakan kepada Frater Ambrosius.  Sebab dia kan calon pastor.  

Masa calon pastor memikirkan pariban.  Apa kata Yesus nanti?

Poltak berlari menuruni jalan setapak dari pastoran. Lalu menambah kecepatan larinya saat belok kanan ke Jalan Yosep Sinaga. 

Ibarat celeng diburu anjing saja larinya. Tak perduli pada orang-orang yang terheran-heran melihat dirinya.

Hanya ada satu hal dalam pikiran Poltak. Dia harus secepatnya tiba di Dermaga Tigaraja. Lalu menepati janjinya kepada Berta.

Sementara itu di Dermaga Tigaraja, di atas kapal tujuan Pangururan, Berta berdiri gelisah di ujung dek haluan.  Tatapan matanya lurus ke timur, ke arah pasar, mencari-cari sosok Poltak di tengah kerumunan para paronan, pengunjung pasar. Tapi sosok yang dinanti itu belum tampak juga.

Inong, mana, Poltak.  Kenapa dia belum datang juga?” Berta bertanya pada inong, ibunya. 

Jiwanya resah, matanya mulai basah.  “Poltak! Kau kan sudah janji mengantarku ke kapal!” teriaknya dalam hati.

“Sabarlah, boru. Sebentar lagi paribanmu pasti tiba.” Nai Rumiris menenangkan Berta, putrinya.

.“Kalau tak ketemu Poltak, aku tak ikutlah ke Pangururan.”  Berta mengultimatum ibunya. Seolah-olah ibunya yang salah.

“Bah, jangan begitulah, boru.  Paribanmu kan sedang ujian masuk seminari di pastoran sana.”  Nai Rumiris mengingatkan boru, putrinya itu, sambil menunjuk ke arah bukit tempat Pastoran Katolik berada.

“Bah! Paribannya calon pastor rupanya, ya!” Seorang ibu tua, penumpang kapal, menyela.

“Bah, begitukah?”  Serentak, sejumlah ibu lain minta penegasan.

“Eh, memang pastor boleh kawin, ya?”  tanya seseorang, entah siapa.

Tapi Nai Rumiris, Ama Rumiris, Rumiris, dan Berta diam saja, tak berminat memberi jawaban apapun atas pertanyaan-pertanyaan itu.

“Sabarlah, inang.  Dia pasti sedang berlari ke sini.”  Nenek Poltak meyakinkan Berta dari bibir darmaga. 

“Oi, bagaimana ini.  Kita sudah boleh berangkat?”  Ama Ronggur, jurumudi kapal, mulai tak sabaran.  

Ama Ronggur ingin segera menyalakan mesin kapal, memutar haluan, lalu bertolak ke Pangururan.  Kalau terlalu sore, dia khawatir ombak di Tao Silalahi, bagian danau yang terluas di sektor utara semakin tinggi.  Kapal berlayar melintasi bagian danau itu menuju Pangururan.

“Tunggu sebentar lagilah, Ito. Boruku ini mau ketemu paribannya dulu. Mengerti sikitlah.  Macam tak punya pariban pula kau.” 

Nai Rumiris minta pengertian Ama Ronggur. Jurumudi itu semarga dengan Nai Rumiris, sama-sama Sitanggang, sehingga dia memanggilnya ito, adik atau kakak.

“Bah. Sedap kalilah namarpariban itu. Ya, sudahlah. Kita tunggulah sebentar.”  Ama Ronggur mengalah.

“Itu Poltak!” Berta berteriak sambil menunjuk ke arah pasar. 

Rona wajahnya mendadak cerah dan ceria seperti taman bunga di pagi hari. Hatinya bersorak gembira.  Sorot matanya berbinar, tak hendak lepas dari gerak gesit Poltak berlari zig-zag di antara kerumunan orang-orang di pasar.

Poltak berlari seperti rase terbang menuju Darmaga Tigaraja. Entah sudah berapa orang ibu-ibu paronan disenggolnya.  Dan entah sudah berapa umpatan yang dilontarkan padanya. Tak diperdulikannya semua itu.

Seakan tak punya rem, Poltak berlari lurus ke bibir dermaga. Lalu, dengan tiga langkah panjang, melintas cepat pada titian naik ke dek haluan kapal. Sedemikian cepatnya sehingga dia tak kuasa menghentikan laju larinya.

Tak terhindarkan lagi, ditingkah jeritan ibu-ibu penumpang kapal, Poltak menabrak Berta yang berdiri tersenyum menyambutnya di ujung dek haluan.

Berta jatuh terlentang dalam pelukan Poltak yang juga jatuh menindihnya dari atas. Keduanya saling pandang, diam tanpa kata-kata.  Tapi suara hati mereka gemuruh berbagi rindu sebelum perpisahan tiba. Kelak adegan ini banyak ditiru dalam sinetron-sinetron dan film-film drama romantis Indonesia dan Hollywood.

Adegan-adegan kebersamaan yang indah di hari-hari lampau tayang bergantisn di layar memori Berta dan Poltak. Duduk berduaan di Bukit Keramunting; Poltak menangkap pinggang Berta yang nyaris terjatuh dari pematang sawah; berduaan di dangau menanti hujan reda; Poltak menangkap pinggang Berta di ujung haluan kapal danau; berdua berlarian di tepi danau di Tomok; bercengkerama di kebun nenas; duduk berdua di bawah terang bulan purnama.

“Kau akan pergikah, Berta?”

“Kau akan pergi jugakah, Poltak?”

Dua pasang mata basah saling mengucap rindu, sebelum kapal bertolak menciptakan jarak berupa danau yang luas, lembah yang dalam, dan gunung tinggi di antara keduanya. Itulah perpisahan terindah yang pernah ada.

Now the hacienda is so dark, the town is sleeping.

Now the time has come to part, the time for weeping.

Vaya con dios my darling, vaya con dios, vaya con dios my love.”

Terdengar alunan musik dan lagu kelompok The Cats melantunkan satu bait dan refrain sedih “Vaya Con Dios” dari radio di kedai bakmi “Acek Rudy”, di pojok selatan dermaga. Ah, kenapa pula radio harus memutar lagu yang mengharu-biru itu pada saat yang tepat. Acek Rudy, pemilik kedai bakmi itu, sungguh jahat.

“Oi, romantis kalilah namarpariban itu.  Eh, ingat. Kalian masih anak-anak!”  Ama Ronggur berteriak lagi. Disambut tawa riuh dan berbagai komentar para penumpang kapal, terutama para inang-inang, ibu-ibu pedagang.

“Bah, suka-suka namarparibanlah!  Jangan angek pula kau!”  Nai Rumiris membentak Ama Ronggur, membela Berta borunya dan Poltak berenya. (Tamat)

*Mauliate godang kuucapkan pada rekan-rekan Kompasianer pembaca setia novel mosaik anarkis "Poltak".  Kalian telah menyemangatiku sejak episode #001 sampai episode #115 ini. 

Izinkan saya mengucap umpasa ini: Sahat-sahat ni solu sai sahat ma hu bontean. Sahat hita leleng mangolu sai sahatma hu panggabean. Artinya: Sejauh perahu berlayar akhirnya berlabuh di dermaga. Semoga kita berumur panjang dan menempuh hidup bahagia.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun