Keduanya bertukar senyum sebelum kemudian, dengan langkah kaki yang mendadak terasa berat, bersimpang jalan di pintu gerbang sekolah. Berta ke utara, ke kampung Binanga. Poltak ke selatan, ke kampung Panatapan.
Tiga hari sebelum keberangkatan Berta dan keluarganya ke Pangururan, Poltak mendapat surat undangan ujian masuk seminari. Surat itu dikirim kepadanya lewat Ama Lamria, Porhangir Gereja Katolik Aeknatio. Tertulis di situ ujian masuk seminari diadakan pada hari Sabtu tanggal 16 Desember 1973, pukul 10.00 – 12.00 WIB, bertempat di Pastoran Katolik Seminari Agung Parapat.
“Mudah-mudahan aku masih sempat mengantar Berta naik kapal,” bisik Poltak dalam hati, sambil menimang-nimang surat undangan ujian itu.
“Ah, tapi harus sempat. Aku sudah berjanji,” batinnya.
Poltak menghitung waktu. Kapal ke Pangururan diperkirakan bertolak paling cepat pukul 13.00 WIB. Ujian masuk seminari selesai pukul 12.00 WIB. Ada selang waktu satu jam. Paling lama seperempat jam berlari dari Pastoran Katolik ke Dermaga Tigaraja. Jadi masih ada waktu sekurangnya tiga perempat jam untuk bertemu dengan Berta.
Hanya tiga perempat jam? Cukupkah?
Tidak, sejujurnya sangat tidak cukup. Waktu tiga perempat jam itu pasti terasa hanya sekejap. Tapi bagi Poltak dan Berta itu akan menjadi sekejap yang tak terlupakan.
Sabtu 16 Desember pagi, menumpang motor bus “PMH”, Poltak dan neneknya tiba di Onan Tigaraja. Sementara neneknya maronan, jual-beli di pasar, Poltak akan mengikuti ujian di Pastoran Katolik. Setelah itu mereka akan mengantar keluarga Ama Rumiris, termasuk Berta tentu saja, naik kapal rute Pangururan.
“Poltak, kau bisa pergi sendiri ujian ke pastoran di atas sana, kan?” Nenek Poltak minta kepastian.
“Bisa, Ompung.”
“Nanti, selesai ujian, kau langsung ke dermaga, ya.”