“Olo, Ompung.”
“Kita harus mengantar tulangmu, nantulangmu, dan paribanmu naik ke kapal. Jangan sampai telat kau!”
“Olo, Ompung.”
Poltak menapaki jalan mendaki dari Onan Tigaraja menuju Pastoran Katolik Seminari Agung Parapat. Ditembusnya keramaian balairung dan kios-kios dagang ke arah timur, sebelum kemudian tiba di Jalan Joseph Sinaga. Setelah menyusuri jalan beraspal sekitar limaratus meter, Poltak belok kiri mendaki jalan setapak menanjak menuju Pastoran Katolik.
Gedung Pastoran itu bertengger di atas sebuah bukit. Itu sebuah komplek gedung-gedung pelayanan Paroki Parapat. Ada gedung pastoran, gereja, gedung susteran, dan gedung frateran atau novisiat Seminari Agung.
Sedikit terengah dan berkeringat di pelipis dan ketiak, Poltak tiba di pintu depan gedung pastoran. Seorang frater sudah menunggu di situ.
“Horas, adik Poltak,” sapanya ramah.
Poltak terkejut. Bagaimana bisa frater itu tahu namanya. Diamatinya wajah frater itu. Ah, dia ingat sekarang.
“Horas, Frater Ambrosius.” Poltak ingat, dia adalah Frater Ambroius, ketua dewan juri lomba menulis dan membaca puisi saat Perayaan Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus yang lalu.
“Poltak mau ikut ujian masuk seminari, kan?”
“Betul, Frater.” Poltak menyalami frater itu.