“Tunggu sebentar lagilah, Ito. Boruku ini mau ketemu paribannya dulu. Mengerti sikitlah. Macam tak punya pariban pula kau.”
Nai Rumiris minta pengertian Ama Ronggur. Jurumudi itu semarga dengan Nai Rumiris, sama-sama Sitanggang, sehingga dia memanggilnya ito, adik atau kakak.
“Bah. Sedap kalilah namarpariban itu. Ya, sudahlah. Kita tunggulah sebentar.” Ama Ronggur mengalah.
“Itu Poltak!” Berta berteriak sambil menunjuk ke arah pasar.
Rona wajahnya mendadak cerah dan ceria seperti taman bunga di pagi hari. Hatinya bersorak gembira. Sorot matanya berbinar, tak hendak lepas dari gerak gesit Poltak berlari zig-zag di antara kerumunan orang-orang di pasar.
Poltak berlari seperti rase terbang menuju Darmaga Tigaraja. Entah sudah berapa orang ibu-ibu paronan disenggolnya. Dan entah sudah berapa umpatan yang dilontarkan padanya. Tak diperdulikannya semua itu.
Seakan tak punya rem, Poltak berlari lurus ke bibir dermaga. Lalu, dengan tiga langkah panjang, melintas cepat pada titian naik ke dek haluan kapal. Sedemikian cepatnya sehingga dia tak kuasa menghentikan laju larinya.
Tak terhindarkan lagi, ditingkah jeritan ibu-ibu penumpang kapal, Poltak menabrak Berta yang berdiri tersenyum menyambutnya di ujung dek haluan.
Berta jatuh terlentang dalam pelukan Poltak yang juga jatuh menindihnya dari atas. Keduanya saling pandang, diam tanpa kata-kata. Tapi suara hati mereka gemuruh berbagi rindu sebelum perpisahan tiba. Kelak adegan ini banyak ditiru dalam sinetron-sinetron dan film-film drama romantis Indonesia dan Hollywood.
Adegan-adegan kebersamaan yang indah di hari-hari lampau tayang bergantisn di layar memori Berta dan Poltak. Duduk berduaan di Bukit Keramunting; Poltak menangkap pinggang Berta yang nyaris terjatuh dari pematang sawah; berduaan di dangau menanti hujan reda; Poltak menangkap pinggang Berta di ujung haluan kapal danau; berdua berlarian di tepi danau di Tomok; bercengkerama di kebun nenas; duduk berdua di bawah terang bulan purnama.
“Kau akan pergikah, Berta?”