“Mauliate, Frater. Aku ditunggu ompungku di Tigaraja,” tampik Poltak dengan halus.
“Oh, baiklah. Hati-hati di jalan, ya, Poltak. Ingat, kau calon pastor.”
Entah kenapa Frater Ambrosius sangat yakin Poltak pasti lulus ujian masuk seminari. Dia sudah jatuh hati pada Poltak sejak anak itu menjadi juara menulis dan membaca puisi pada 17 Agustus lalu.
“Olo, Fraternami.”
Poltak berbohong. Bukan neneknya yang menanti kehadirannya. Melainkan Berta, paribannya. Tapi hal itu tak mungkinlah dikatakan kepada Frater Ambrosius. Sebab dia kan calon pastor.
Masa calon pastor memikirkan pariban. Apa kata Yesus nanti?
Poltak berlari menuruni jalan setapak dari pastoran. Lalu menambah kecepatan larinya saat belok kanan ke Jalan Yosep Sinaga.
Ibarat celeng diburu anjing saja larinya. Tak perduli pada orang-orang yang terheran-heran melihat dirinya.
Hanya ada satu hal dalam pikiran Poltak. Dia harus secepatnya tiba di Dermaga Tigaraja. Lalu menepati janjinya kepada Berta.
Sementara itu di Dermaga Tigaraja, di atas kapal tujuan Pangururan, Berta berdiri gelisah di ujung dek haluan. Tatapan matanya lurus ke timur, ke arah pasar, mencari-cari sosok Poltak di tengah kerumunan para paronan, pengunjung pasar. Tapi sosok yang dinanti itu belum tampak juga.
“Inong, mana, Poltak. Kenapa dia belum datang juga?” Berta bertanya pada inong, ibunya.