Soal cerdas berkendara itu aku, Poltak (pseudonim), Â tak hendak mengguruilah. Kamu jauh lebih cerdas dariku. Terbukti kamu suka memaki pengendara dungu macam aku, kan?
Ya, aku dungu, tempatnya salah. Maka aku ditilang Pak Polantas. Puas?
Aku mau cerita saja dulu tiga pengalaman ditilang Pak Polantas. Sekadar mengisahkan ketaktertiban berkendara dari sisi subyek pelaku.
Setelah itu nanti kujelaskan denfan cara dungu, mengapa aku tak cerdas berkendara.
Tiga Kisah Tilang
[1]
Suatu momen Lebaran, hari kedua, bertahun-tahun lalu.
Pagi-pagi benar aku dan keluarga melaju berkendara di Jalan  MT Haryono menuju Cawang, Jakarta. Hendak berkebaran ke rumah kerabat di Cibubur.Â
Jalanan sepi, terlalu sepi.
Tiba di perempatan Jalan MT Haryono dan Jalan DI Panjaitan, sebelum belok kanan ke UKI Cawang, lampu merah nyala. Aku hentikan mobil, dong. Tertib, kan?
Eh, di seberang ada Pak Polantas melambaikan tangan,seakan memanggil. Rajin banget itu polisi, ya. Ini Lebaran, lho.Â
Aku pikir lambaian itu isyarat boleh jalan terus. Maka aku jalan terus.
Lha, tiba di seberang kok distop Pak Polantas? Apa salahku, Pak?
"Pagi, Pak. Kenapa bapak jalan terus?" tanya Pak Polisi.
"Karena bapak lambaikan tangan tadi. Aku pikir suruh jalan terus."Â
"Tidak boleh sekarang, Pak. Kalau mau ke arah Cawang, harus belok kiri dulu ke arah Priok. Nanti duaratus meter ada putaran balik."
Semprul. Baru beberapa bulan gak lewat situ kok aturannya sudah berubah. Pesat banget pembangunan Jakarta.
Ya, sudahlah. Pagi itu Pak Pak Polantas dapat "salam tempel" Lebaran. Â Lalu uang di dompetku berkurang Rp 50,000. Banyak itu, Kawan!
[2]
Suatu sore, bertahun-tahun lalu di kawasan Blok M, Jakarta Selatan.
Aku mau mengurus satu soal di Kantor Cabang BNI Melawai  Jakarta Selatan.  Posisi kantor itu dekat perempatan Jalan Melawai dan Jl. Iskandarsyah, sebelah kanan kalau dari barat.
Sudah hampir pukul 15.00 WIB. Â Aku harus cepat tiba, karena kantor BNI itu tutup layanan pukul 15.00 WIB.Â
Ngebut dari arah Kemang, aku melaju di Jalan Iskandarsyah, dari arah selatan. Â Rencanaku, di perempatan Melawai-Iskandarsyah aku akan belok kiri masuk Melawai. Jarak gedung BNI dari situ hanya 50 meter. Â Seingatku waktu itu Jalan Melawai masih dua arah dari pukul 06.00 sampai 16.00 WIB.
Lampu lalin perempatan pas hijau. Rejeki lelaki soleh. Langsung belok kiri. Â Mantap!
Mantap pale gue!  Langsung ditangkap Pak Polantas yang sudah standby di pojokan.
"Selamat sore, Pak. Â Bapak mau kemana?" sapa Pak Polantas ramah banget.
"Ke BNI situ, Pak."
"Melawai sekarang satu arah, Pak. Â Boleh lihat SIM-nya?"
Lagi. Â Pembangunan begitu cepat di Jakarta. Kemarin Melawai masih dua arah. Hari ini langsung searah.
"Bapak mau selesaikan tilang di sini atau di pengadilan?" Pak Polantas menawarkan solusi.
Aku buru-buru. Harus segera tiba di BNI sebelum tutup layanan. Pilih solusi tercepat.
Begitulah. Â sekali lagi isi dompetku melayang Rp 50,000. Â Itu duit buat beli asinan untuk istri tunggal. Akan kubilang apa nanti padanya, coba?
[3]
Lagi, beberapa tahun lalu sebelum pandemi Covid-19 melanda.
Aku berkendara melaju sekitar pukul 15.45 WIB dari kantor di Jalan Saharjo. Â Tujuan ke Kebayoran Baru. Artinya, dari Tugu Pemuda Angkasa Pancoran harus belok kanan ke arah Jalan Gatot Subroto.
Kebijakan ganjil-genap (gage) sudah diberlakuk0an. Â Waktu itu Gatot Subroto masuk ruas jalan gage. Â Pukul 06.00-10.00 dan 16.00-20.00 WIB.
Pada hari itu tanggal genap. Nomor plat mobilku ganjil.
Aku berhitung. Â Bila arus lalu-lintas lancar, waktu 15 menit cukuplah untuk menembus Saharjo-Gatot Subroto sampai masuk Jalan Tendean.
Ndilalah, Pancoran macet pisan. Baru bisa tembus pukul 15.59 WIB. Â Sisa waktu 1 menit menembus ruas gage Gatot Subroto sampai Tendean.
Nekad saja. Â Hitung-hitunganku, Pak Polantas gak rajin-rajin amatlah. Paling cepat juga mereka mulai berjaga pukul 16.05.
Tapi perkiraanku salah total. Â Pak Polantas rajin banget. Â Mereka sudah berjaga di titik pantau, di depan komplek MBAU. Itulah buah revolusi mental kepolisian. Dugaaanku begitu.
Singkat kata, aku disetop Pak Polantas. Dijelaskan pelanggaran yang terjadi. Lalu ditawarkan mau ditilang di tempat atau selesaikan di pengadilan. Â
Aku pilih selesaikan di pengadilan saja. Dasarnya aku kan warga negara yang taat hukum. Â Gak bakalan melanggar hukum kalau gak perlu-perlu amat.
Besoknya aku minta tolong office boy ikut sidang tilang di Pengadilan negeri Jaksel. Habislah Rp 150,000 untuk denda dan uang jalan office boy. Â Kalau dipikir-pikir rugi Rp 100,000 dibanding tilang di tempat.
TapI sudahlah. Biaya pelanggaran lalu lintas itu memang besar. Sekarang ini denda pelanggaran lalin di Jakarta malah Rp 500,000. Itu 10.77 persen dari UMP DKI 2022, lho.
Tidak Tahu dan Tidak Mau Tahu
Yang aku ceritakan tadi hanya tiga pelanggaran lalin yang, ndilalah, Â ketahuan dan ketangkap oleh Pak Polantas.
Selain itu masih banyak pelanggaran lalin yang kulakukan, tapi gak ketahuan Pak Polantas, sejak tahun 1990-an. Â Menerobos lampu merah, ngebut dari bahu jalan tol, nyolong jalur Transjakarta, nyerobot antrian macet, melawan arah, ngebut zig-zag, masuk jalur verboden, melewati batas kecepatan, main hape saat nyopir, parkir di bahu jalan, dan lain-lain.
Apakah aku bangga dengan semua kengawuran berkendara di jalan umum itu?
Sama sekali tidak. Dulu sih biasa aja. Sekarang malahan malu kalau mengingat semua itu. Gak ada bagus-bagusnya, tauk.
Dengan semua kedunguan berkendara macam itu, mungkin banyak pengendara lain yang nenyumpahiku. "Somoga kau  nyungsep masuk selokan!"
Tapi untunglah Tuhan tak sudi mengabulkan doa mohon kecelakaan. Tuhan Maha Kasih, bukan.
Kalau dipikir-pikir, ada dua sebab aku melakukan pelanggaran lalin, lalu beberapa kali ditilang Pak Polantas.
Pertama, karena "tidak tahu". Tidak tahu rambu lalin sudah berubah. Dari Jalan MT Haryono gak boleh lagi langsung belok kanan ke UKI Cawang. Jalan Melawai sudah satu arah 24 jam.
Lalu apakah adil menghukum seseorang karena ketidak-tahuannya? Dalam konteks berlalu-lintas, ya, adil saja dan harus. Sebab pengendara kan wajib alert pada rambu-rambu lalin dan perubahannya.Â
Alasan "tidak tahu" tak bisa diterima. Itu tanda tak punya kompetensi mengemudi. Tapi kok bisa dapat SIM, ya.Â
Risiko ketidak-tahuan macam itu sangat serius. Bayangkan orang dungu berkeliaran nyopir mobil di jalanan. Itu tak hanya berpotensi mencelakakan diri sendiri. Tapi, lebih parah, bisa bikin celaka orang-orang cerdas.
Kedua, karena "tidak mau tahu". Tidak mau tahu atau gak peduli aturan lalin dan kepentingan sesama pengguna jalan.
Aku bukannya gak tahu aturan gage di Jakarta. Tahu banget. Tapi aku perlu tiba tepat waktu di satu tempat. Jadi masa bodolah dengan aturan gage.Â
Seapes-apesnya, paling juga kena tilang. Dan itulah yang terjadi.
Aku juga kerap gak mau tahu kepentingan sesama pengguna jalan. Yang aku tahu, ya, kepentinganku sendiri. Egois!
Maka jadilah aku nerobos lampu merah, masuk jalur verboden, ngebut di bahu tol, dan lain-lain. Sebab itu cara paling efektif dan efisien untuk tiba di tujuan.
Etika berkendara? Oh, tersimpan rapat dalam memoriku.
Aku yang Senjang Budaya
Kalau mau berteori sedikit, perilaku dungu berkendara yang kulakukan itu cermin senjang budaya (cultural gap). Senjang antara budaya materil dan budaya non-materil dalam diriku.
Kok bisa?Â
Begini ceritanya. Mobil itu budaya materil. Diproduksi di negara industri maju. Jepang, Amerika, Eropa, dan Korsel.Â
Jadi mobil sejatinya adalah budaya materil dalam masyarakat di negara industri maju.
Tapi aku, warga negara sedang berkembang, bisa juga memiliki mobil sebagai budaya materil. Aku punya uang, aku beli saja itu mobil. Ada yang mahal, ada yang murah. Tunai atau nyicil.Â
Dan itulah yang terjadi. Aku punya mobil kelas bawah, kelas sejuta umat.
Tapi aku gak bisa beli budaya non-materil yang  bersenyawa dengan budaya materil mobil itu. Maksudku budaya masyarakat industri modern yang serba tertib dan terukur.
Begitulah. Sebuah mobil menjadi manfaat bila berada di tangan orang yang tertib dan jujur. Dia akan berkendara secara tertib dan terukur di jalan umum. Itu namanya cerdas.
Aku? Aku adalah pemangku budaya post-agraris yang serba longgar dan lentur. Jadi aku berkendara secara longgar dan lentur juga. Layaknya mengendarai dokar atau sepeda pancal di jalanan pedesaan.Â
Bisakah aku tertib dan terukur saat berkendara? Â Bisa. Asalkan di bawah pelototan Pak Polantas.Â
Tapi kan Pak Polantas itu pemangku budaya post-agraris juga. Sama-sama longgar dan lentur.
Okelah. Pakai kamera e-tilang aja.Â
Kan bisa diakali dengan modus copot plat nomor polisi?
Aih, betapa lentur warga bangsa ini.
Tapi sekarang kamu sudah paham kan? Mengapa aku ditilang Pak Polantas? (eFTe)
Â
Â
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H