Risiko ketidak-tahuan macam itu sangat serius. Bayangkan orang dungu berkeliaran nyopir mobil di jalanan. Itu tak hanya berpotensi mencelakakan diri sendiri. Tapi, lebih parah, bisa bikin celaka orang-orang cerdas.
Kedua, karena "tidak mau tahu". Tidak mau tahu atau gak peduli aturan lalin dan kepentingan sesama pengguna jalan.
Aku bukannya gak tahu aturan gage di Jakarta. Tahu banget. Tapi aku perlu tiba tepat waktu di satu tempat. Jadi masa bodolah dengan aturan gage.Â
Seapes-apesnya, paling juga kena tilang. Dan itulah yang terjadi.
Aku juga kerap gak mau tahu kepentingan sesama pengguna jalan. Yang aku tahu, ya, kepentinganku sendiri. Egois!
Maka jadilah aku nerobos lampu merah, masuk jalur verboden, ngebut di bahu tol, dan lain-lain. Sebab itu cara paling efektif dan efisien untuk tiba di tujuan.
Etika berkendara? Oh, tersimpan rapat dalam memoriku.
Aku yang Senjang Budaya
Kalau mau berteori sedikit, perilaku dungu berkendara yang kulakukan itu cermin senjang budaya (cultural gap). Senjang antara budaya materil dan budaya non-materil dalam diriku.
Kok bisa?Â
Begini ceritanya. Mobil itu budaya materil. Diproduksi di negara industri maju. Jepang, Amerika, Eropa, dan Korsel.Â
Jadi mobil sejatinya adalah budaya materil dalam masyarakat di negara industri maju.