TapI sudahlah. Biaya pelanggaran lalu lintas itu memang besar. Sekarang ini denda pelanggaran lalin di Jakarta malah Rp 500,000. Itu 10.77 persen dari UMP DKI 2022, lho.
Tidak Tahu dan Tidak Mau Tahu
Yang aku ceritakan tadi hanya tiga pelanggaran lalin yang, ndilalah, Â ketahuan dan ketangkap oleh Pak Polantas.
Selain itu masih banyak pelanggaran lalin yang kulakukan, tapi gak ketahuan Pak Polantas, sejak tahun 1990-an. Â Menerobos lampu merah, ngebut dari bahu jalan tol, nyolong jalur Transjakarta, nyerobot antrian macet, melawan arah, ngebut zig-zag, masuk jalur verboden, melewati batas kecepatan, main hape saat nyopir, parkir di bahu jalan, dan lain-lain.
Apakah aku bangga dengan semua kengawuran berkendara di jalan umum itu?
Sama sekali tidak. Dulu sih biasa aja. Sekarang malahan malu kalau mengingat semua itu. Gak ada bagus-bagusnya, tauk.
Dengan semua kedunguan berkendara macam itu, mungkin banyak pengendara lain yang nenyumpahiku. "Somoga kau  nyungsep masuk selokan!"
Tapi untunglah Tuhan tak sudi mengabulkan doa mohon kecelakaan. Tuhan Maha Kasih, bukan.
Kalau dipikir-pikir, ada dua sebab aku melakukan pelanggaran lalin, lalu beberapa kali ditilang Pak Polantas.
Pertama, karena "tidak tahu". Tidak tahu rambu lalin sudah berubah. Dari Jalan MT Haryono gak boleh lagi langsung belok kanan ke UKI Cawang. Jalan Melawai sudah satu arah 24 jam.
Lalu apakah adil menghukum seseorang karena ketidak-tahuannya? Dalam konteks berlalu-lintas, ya, adil saja dan harus. Sebab pengendara kan wajib alert pada rambu-rambu lalin dan perubahannya.Â
Alasan "tidak tahu" tak bisa diterima. Itu tanda tak punya kompetensi mengemudi. Tapi kok bisa dapat SIM, ya.Â