Lagi, beberapa tahun lalu sebelum pandemi Covid-19 melanda.
Aku berkendara melaju sekitar pukul 15.45 WIB dari kantor di Jalan Saharjo. Â Tujuan ke Kebayoran Baru. Artinya, dari Tugu Pemuda Angkasa Pancoran harus belok kanan ke arah Jalan Gatot Subroto.
Kebijakan ganjil-genap (gage) sudah diberlakuk0an. Â Waktu itu Gatot Subroto masuk ruas jalan gage. Â Pukul 06.00-10.00 dan 16.00-20.00 WIB.
Pada hari itu tanggal genap. Nomor plat mobilku ganjil.
Aku berhitung. Â Bila arus lalu-lintas lancar, waktu 15 menit cukuplah untuk menembus Saharjo-Gatot Subroto sampai masuk Jalan Tendean.
Ndilalah, Pancoran macet pisan. Baru bisa tembus pukul 15.59 WIB. Â Sisa waktu 1 menit menembus ruas gage Gatot Subroto sampai Tendean.
Nekad saja. Â Hitung-hitunganku, Pak Polantas gak rajin-rajin amatlah. Paling cepat juga mereka mulai berjaga pukul 16.05.
Tapi perkiraanku salah total. Â Pak Polantas rajin banget. Â Mereka sudah berjaga di titik pantau, di depan komplek MBAU. Itulah buah revolusi mental kepolisian. Dugaaanku begitu.
Singkat kata, aku disetop Pak Polantas. Dijelaskan pelanggaran yang terjadi. Lalu ditawarkan mau ditilang di tempat atau selesaikan di pengadilan. Â
Aku pilih selesaikan di pengadilan saja. Dasarnya aku kan warga negara yang taat hukum. Â Gak bakalan melanggar hukum kalau gak perlu-perlu amat.
Besoknya aku minta tolong office boy ikut sidang tilang di Pengadilan negeri Jaksel. Habislah Rp 150,000 untuk denda dan uang jalan office boy. Â Kalau dipikir-pikir rugi Rp 100,000 dibanding tilang di tempat.