Tapi aku, warga negara sedang berkembang, bisa juga memiliki mobil sebagai budaya materil. Aku punya uang, aku beli saja itu mobil. Ada yang mahal, ada yang murah. Tunai atau nyicil.Â
Dan itulah yang terjadi. Aku punya mobil kelas bawah, kelas sejuta umat.
Tapi aku gak bisa beli budaya non-materil yang  bersenyawa dengan budaya materil mobil itu. Maksudku budaya masyarakat industri modern yang serba tertib dan terukur.
Begitulah. Sebuah mobil menjadi manfaat bila berada di tangan orang yang tertib dan jujur. Dia akan berkendara secara tertib dan terukur di jalan umum. Itu namanya cerdas.
Aku? Aku adalah pemangku budaya post-agraris yang serba longgar dan lentur. Jadi aku berkendara secara longgar dan lentur juga. Layaknya mengendarai dokar atau sepeda pancal di jalanan pedesaan.Â
Bisakah aku tertib dan terukur saat berkendara? Â Bisa. Asalkan di bawah pelototan Pak Polantas.Â
Tapi kan Pak Polantas itu pemangku budaya post-agraris juga. Sama-sama longgar dan lentur.
Okelah. Pakai kamera e-tilang aja.Â
Kan bisa diakali dengan modus copot plat nomor polisi?
Aih, betapa lentur warga bangsa ini.
Tapi sekarang kamu sudah paham kan? Mengapa aku ditilang Pak Polantas? (eFTe)