"Poltak, kau mau jadi kumbangkah?" Â Berta menunjuk ke arah kumbang hitam yang sedang menghisap cairan manis bunga hisik-hisik.
"Tidaklah," jawab Poltak tegas. Â
Berta cemberut, sebab dia ingin menjadi bunga. Sebagaimana gadis-gadis di Hutabolon juga ingin menjadi bunga.
"Kenapa, Poltak?" Berta heran. Â Setahunya, para perjaka di Hutabolon ingin menjadi kumbang yang hinggap di bunga. Mengapa Poltak beda.
"Kumbang itu jahat, Berta. Â Tak setia. Sekarang menghisap manisan satu bunga. Nanti dia pindah ke bunga lain. Setelah itu cari bunga baru lagi. "
Jawaban tak terduga, bikin kaget Berta. Padahal itu cuma pelajaran Ilmu Hayat. Â
Berta menatap kagum pada Poltak. Sementara Poltak memandang kagum pada bentangan danau yang kemilau laksana cermin.Â
Di sudut lain pantai, agak di kejauhan. Guru Arsenius duduk mengamati Poltak dan Berta. Di matanya kedua anak itu tampak seperti sepasang kupu-kupu yang sedang bercengkerama.Â
"Pasangan yang serasi," bisiknya dalam hati.
"Apakah Poltak dan Berta marhallet, Gurunami?" Pertanyaan Alogo yang tiba-tiba mendekat mengejutkan Guru Arsenius.
"Tidak, Alogo. Mereka berdua hanya marpariban."