Duduk di atas tikar, di tengah-tengah enambelas orang anak yang sedang kelaparan, Poltak memimpin doa makan siang bersama.Â
"Ale Amang Pardenggan Basa, mauliatema di Ho di ala sipanganon na rade di jolonami. Pasu-pasuma sipangananon on, suang songon i dohot natua-tuanami na paradehon i di ruma na martua on. Hupasahat hami tangiangnami on  tu Ho marhite-hite Anak-Mu  Yesus Kristus Sipalua hami. Amen."Â
"Ya Bapa yang Maha Rahim, syukur kepada-Mu atas makaban yang tersaji di depan kami. Berkatilah makanan ini, demikian juga orangtua kami yang telah menyiapkannya di rumah yang terberkati ini. Kami panjatkan doa kami kepada Mu dengan perantaraan Putra-Mu Yesus Kristus Penyelamat kami. Amin."
"Amen!" seru sekalian anak lapar mengamini doa makan siang.
"Siapa yang tak suka kepala ikan! Kasi ke aku!" Alogo meneriakkan pengumuman. Tepatnya, permintaan.
Alogo sedang bicara tentang kepala ikan mujair arsik asli Danau Toba. Itulah lauk makan siang mereka di rumah mertua Guru Arsenius. Dilengkapi sayur tumbuk daun singkong campur jipang dan rimbang.
Rumah itu ruma bolon, rumah adat Batak. Ada aturan posisi duduk. Guru Arsenius, ayah dan ibu mertuanya, dan Bang Dabutar duduk di halangulu, letak kepala saat tidur pada belahan timur rumah, tempat orang dewasa. Anak-anak duduk di talaga, letak kaki saat tidur pada belahan barat, tempat anak-anak.
Kalau dalam kegiatan paradaton, adat, halangulu adalah tempat duduk pihak hula-hula, pihak pemberi istri, dan suhut bolon, tuan rumah. Sedangkan boru, pihak penerima istri, duduk di belahan talaga.  Hula-hula adalah "kepala yang memimpin", boru adalah "kaki yang siap bergerak".
"Bah, hebatlah kau, Alogo. Suka kepala ikan. Calon pemimpin kau itu." Tulang Dabutar memuji.
"Kalau makan lima kepala ikan, berarti calon pemimpin hebat, ya, Tulang," tanya Alogo bungah. Di piringnya teronggok tambahan empat kepala ikan mujair pemberian Tiur, Berta, Poibe, dan Dinar.
"Itu berarti congok!" tukas Poltak tanpa dosa. Semua tergelak. Â Jonder sampai tersedak.
Ramai celoteh dan gelak-tawa. Makan bersama di siang hari itu menjadi arena suka-ria. Â
Mulut-mulut kecil anak-anak bekerja cepat. Mengunyah dan menelan tanpa jeda. Menandaskan nasi di periuk, arsik mujair di belanga, dan sayur daun singkong di panci.
"Anak-anak, ayo, berterimakasih sekalian pamit pada ompung baoa dan ompung boru. Kita bermain dulu di pantai. Â Setelah itu pulang."
"Olo, Gurunami." Â Anak-anak berebutan menyalami ayah dan ibu mertua Guru Arsenius serta Tulang Dabutar. "Mauliate, Ompung." Â "Mauliate, Tulang." Anak-anak mengucapkan terimakasih. Â "Nauli, amang. Nauli, inang. Horas ma da." Â Mertua Guru Arsenius mendoakan anak-anak selamat semua.
Anak-anak menghambur seperti sekumpulan gelatik ke pantai Tomok. Â Pantai yang masih asli. Tidak berpasir. Â Tapi asri oleh rerumputan, semak rendah, dan aneka perdu kecil berbunga.Â
"Ayo, mandi-mandi!" Jonder memang provokator. Dengan cepat melepas baju lalu, masih mengenakan celana pendek,  terjun  ke air danau. Â
Anak-anak laki lain terprovokasi.  Ikut terjun ke dalam danau.  Kecuali Poltak yang tak tertarik mandi siang bolong,celananya basah, Alogo yang tak ingin  dan Bistok yang tak bisa berenang. Â
"Hei! Anak-anak! Â Jangan ke tengah! Di pinggir saja!" Guru Arsenius berteriak mengingatkan.Â
Dia agak khawatir. Â Murid-muridnya itu belum punya pengalaman berenang di danau berombak. Mereka hanya terbiasa berenang di sungai, tebat, atau di pea, situ.
Anak-anak perempuan memetik bunga-bunga liar di tepi pantai. Â Mereka tak tertarik mandi atau berendam di air danau.
"Poltak! Sini!" Â Berta berteriak memanggil Poltak yang sedang mengamati perilaku teman-temannya berenang di danau.
Poltak mendekat, "Ada apa?"
"Itu rimbur rara. Tolong tangkaplah, Poltak." Berta menunjuk pada seekor rimbur rara, capung merah.
"Bah, tak maulah aku."
"Kenapalah? Bagus kalipun kulihat."
"Eh, janganlah. Nanti sakit hati pula kau."
"Ah, kenapa rupanya?"
"Si Rimbur Rara itu jahat, Berta. Â Tampilannya saja yang bagus. Perangainya, alamak, buruk kalipun. Punya pacar di mana-mana."
"Oh ..., begitu. Â Aku tak maulah."
Berta baru sadar. Â Si Rimbur Rara itu istilah orang Batak untuk lelaki atau perempuan yang punya pacar di mana-mana pada saat bersamaan. Tadi hinggap di sana, kini hinggap di sini, nanti hinggap di situ.
Seekor kumbang hitam hinggap pada bunga kuning hisik-hisik, orok-orok, Crolataria incana.Â
"Poltak, kau mau jadi kumbangkah?" Â Berta menunjuk ke arah kumbang hitam yang sedang menghisap cairan manis bunga hisik-hisik.
"Tidaklah," jawab Poltak tegas. Â
Berta cemberut, sebab dia ingin menjadi bunga. Sebagaimana gadis-gadis di Hutabolon juga ingin menjadi bunga.
"Kenapa, Poltak?" Berta heran. Â Setahunya, para perjaka di Hutabolon ingin menjadi kumbang yang hinggap di bunga. Mengapa Poltak beda.
"Kumbang itu jahat, Berta. Â Tak setia. Sekarang menghisap manisan satu bunga. Nanti dia pindah ke bunga lain. Setelah itu cari bunga baru lagi. "
Jawaban tak terduga, bikin kaget Berta. Padahal itu cuma pelajaran Ilmu Hayat. Â
Berta menatap kagum pada Poltak. Sementara Poltak memandang kagum pada bentangan danau yang kemilau laksana cermin.Â
Di sudut lain pantai, agak di kejauhan. Guru Arsenius duduk mengamati Poltak dan Berta. Di matanya kedua anak itu tampak seperti sepasang kupu-kupu yang sedang bercengkerama.Â
"Pasangan yang serasi," bisiknya dalam hati.
"Apakah Poltak dan Berta marhallet, Gurunami?" Pertanyaan Alogo yang tiba-tiba mendekat mengejutkan Guru Arsenius.
"Tidak, Alogo. Mereka berdua hanya marpariban."
"Kasihan Berta, Gurunami. Â Poltak mau jadi pastor. Tak bisalah mereka kawin kelak." Alogo seolah menebak pikiran Guru Arsenius.
"Kenapa Berta tak jadi suster saja. Â Jadi mereka bisa hidup bersama." Â Tiur tiba-tiba Tiur muncul menyela pembicaraan.
"Sudah senget kau rupanya, Tiur, "sergah Alogo. "Suster itu Katolik. Â Berta, kan Huria Kristen Batak Protestan. Tak bisalah itu."
"Tiur, suster juga tak boleh kawin," timpal Bistok yang ikut juga bergabung.
Berta dan Poltak tidak sadar sedang menjadi bahan pembicaraan Guru Arsenius dan teman-temannya. Â Mereka terlalu asyik main berduaan di tepi pantai Danau Toba.
"Lihat, Poltak. Â Kupu-kupu. Â Cantik sekali." Berta menunjuk ke arah dua ekor kupu-kupu yang sedang terbang berkejaran. Â
Poltak melihat searah telunjuk Berta. Â Seekor kupu-kupu warna krem cerah dengan totol merah pada sayapnya terbang berputar-putar. Seekor kupu-kupu lain, berwarna biru muda dengan motif totol krem cerah pada sayapnya, terbang mengejar di belakangnya.
"Kenapa pula warnanya mirip baju  Berta dan aku," pikir Poltak, bingung, tapi juga takjub.
Poltak mengamati Berta yang sedang terpaku mengamati sepasang kupu-kupu. Mengenakan rok terusan warna krem berbahan katun, dengan motif sulam warna-warni pada bagian dada, dipadu dengan kardigan wol rajutan warna merah marun, dan rambut tebal diikat ekor kuda, Berta tampak anggun. Â Wajahnya yang tanpa sentuhan bedak terlihat cantik alami.Â
"Lebih cantik dari gadis kalender," bisik Poltak dalam hati.
Berta mencuri pandang  Poltak dengan ekor matanya. Mengenakan kemeja katun warna biru muda cerah, dipadu dengan celana pendek warna cokelat tua, Poltak tampak seluas langit biru dan setenang air danau di matanya.Â
"Mengapa kau harus menjadi pastor," sesalnya dalam hati.
"Ayo, Poltak. Â Kita tangkap kupu-kupu itu." Â Berta memecah keheningan.
"Janganlah. Â Kupu-kupu itu indah dipandang. Bukan dipegang."
"Oh. Iya ...." Terdiam sejenak. "Apakah mereka punya rumah, Poltak?" lanjutnya.
"Punya. Â Seluas Pulau Samosir."
"Oh ...."
"Kau tahu, Berta? Â Kupu-kupu itu mahluk terhebat di dunia. Lihat, kepak sayapnya lembut, kan? Tapi itu bisa memicu topan dahsyat di Lautan Hindia."
"Betulkah?" Berta terperangah. "Terangkanlah, Poltak" Â Sinar mata Berta penuh minat dan tanya.
Poltak menghela nafas. Panjang, dalam. "Tak bisa kujelaskan, Berta. Tapi begitulah keyakinanku."Â
Tatapan Berta masih menyelam ke pelupuk mata Poltak. Menunggu penjelasan lanjut.
"Seperti usapan lembut nenek di kepalaku, Berta. Itu bikin semangatku berkobar." Poltak memberi contoh tapi tidak yakin.
Berta tersenyum. Manis, sangat manis. Â Seakan berkata, "Ya, aku mengerti, Poltak."Â
Poltak tersenyum, membalas. Dia sedikit lega, walau tak yakin Berta sungguh mengerti. Sebab dia sendiri tak mengerti apa yang telah dikatakannya.Â
Tapi Poltak tidaklah salah. Dia hanya belum tahu saja. Â
Setahun sebelum perbincangan Poltak dan Berta di pantai Tomok itu, Edward Norton Lorenz, ahli meteorologi dan matematika Amerika telah merumuskan teori efek kupu-kupu. Â
Kata Lorenz, sebuah kepakan sayap kupu-kupu di Brazil dapat menyulut tornado di Texas. Nah, persis sama seperti pikiran Poltak, bukan? (Bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H