Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[Poltak #091] Gadis Batu Gantung Sibaganding

26 Mei 2022   07:16 Diperbarui: 26 Mei 2022   14:33 960
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kolase foto oleh FT (Foto: kompas.com/dok. istimewa)

"Pak Guru ketinggalan! Stop, amang supir! Atterek!" 

Poltak berteriak keras. Seisi bus langsung gaduh. Supir menghentikan laju  bus, lalu aterek, mundur.

Guru Arsenius berlari-lari kecil mengejar bus yang sedang mundur. Di tangan kanannya dia menenteng baskom yang dibungkus kain serbet.

“Kurang ajar kalian! Masa Pak Guru ditinggal!”

Guru Arsenius marah-marah, sambil menaiki bus dan duduk di asese, di samping supir.

“Santabi, Gurunami. Kami tak sengaja. Terlalu gembira kami. Ampunilah kesalahan kami, seperti kamipun … .”

“Ah, sudah, sudah! Jangan salah-gunakan doa, Poltak. Maju, supir!”

Guru Arsenius memotong perkataan Poltak. “…mengampuni yang bersalah kepada kami,” lanjut Poltak dalam hati. Kalimat itu adalah petikan dari doa “Bapa Kami”.

Perjalanan dari Hutabolon ke Parapat adalah pemanggungan lakon anak-anak ceria. Segala celoteh bersiliweran. Disatukan oleh gelak-tawa bersama. Segala hal dilontarkan. Kecuali soal mata pelajaran.

“Gurunami, stoplah sebentar!” Jonder berteriak menjelang jembatan Siserasera, Girsang.

“Kenapa pula kau, Jonder!”

“Santabi, Gurunami. Aku mau kencing.”

“Bah! Payahlah kau. Lima menit lagi kita sampai di Parapat. Kau tahan dululah.”

“Jonder, ini karet. Kau ikat dululah paruh burungmu itu." Poltak memberi saran sambil mengangsurkan sebuah karet gelang.

Seisi bus tertawa tergelak-gelak.

"Babiat kau, Poltak!" maki Jonder sambil mengunci rapat kedua lututnya.

Guru Arsenius tak bohong. Lima menit kemudian rombongan darmawisata itu sudah tiba di pelabuhan wisata Parapat.

Anak-anak berebutan turun dari bus. Jonder yang turun paling dulu, clingak-clinguk cari kakus.

"Anak-anak, itu kapal kita!" Guru Arsenius menunjuk ke arah sebuah kapal danau berukuran sedang  yang tambat di pelabuhan.

Anak-anak satu per satu naik ke atas kapal. Dibantu jurumudi dan kondekturnya.  

"Jonder, kau bisa kencing di situ." Guru Arsenius menunjuk ke arah kamar kecil pada sisi kiri buritan. Jonder bergegas ke situ.

"Kita ke Batu Gantung dulu, Anggia." Guru Arsenius menyebut tujuan pertama darmawisata.

"Olo, Abang," jawab Pak Jurumudi. Ternyata, jurumudi itu adalah adik sepupu Guru Arsenius.

Kapal mundur. Lalu putar haluan menuju Batu Gantung di kampung Sibaganding. 

Objek darmawisata itu berada atas tebing andesit di sisi timur Danau Toba, tepat di bawah jalur jalan raya Parapat-Siantar.

"Gurunami, apakah benar Batu Gantung itu tadinya gadis cantik dan anjingnya?" Berta bertanya.

"Menurut legenda, ya, begitulah," jawab Guru Arsenius.

"Ceritakanlah kepada kami, Gurunami," pinta Tiur. 

"Iya, Gurunami," timpal anak-anak yang lain.

Anak-anak spontan merubung Guru Arsenius, berharap mendengar kisah Batu Gantung.

"Baiklah. Pak Guru akan ceritakan kisah yang dulu dikisahkan ompung Pak Guru, ya.”

“Dahulu kala di huta Siuhan di sebelah utara sana, hiduplah suami-istri nelayan danau dengan anak gadis mereka. Anak gadis itu, namanya Taruli, cantik dan baik hati.

Taruli sudah dijodohkan dengan Maruli, pariban, anak lelaki namborunya, saudari bapaknya. Maruli terkenal tampan dan baik hati. Dia dan orangtuanya tinggal di huta Saitdolok, sebelah selatan Siuhan sana.

Walaupun perjodohan antar pariban, Taruli dan Maruli ternyata saling jatuh hati.  Mereka sudah mengikat janji untuk sehidup-semati.

Suatu waktu, orang terkaya di Sibaganding meminang Taruli untuk menjadi istri Gulasa, anak tunggal mereka. Silau oleh kekayaan, orangtua Taruli menerima pinangan itu. Perjodohan Taruli dan Maruli diputus secara sepihak.  

Oleh orangtuanya, Taruli dipaksa menikah dengan Gulasa. Taruli berkeras menolak. Hatinya sudah milik Maruli. 

Karena penolakan itu, ibunya mengatai Taruli anak yang keras hati dan keras kepala seperti batu. Katanya, kalau Taruli tak melunakkan hatinya, kelak bisa mati membatu.

Tak tahan dipaksa, ditekan, dan dikecam, pada suatu malam tanpa bulan, Taruli melarikan diri ke Saitdolok. Dia berencana menemui Maruli dan akan minta mangalua, kawin lari.

Tadinya Taruli hendak naik perahu, tapi diurungkan. Sebab malam itu turun hujan lebat disertai badai besar.  Gelombang danau berkecamuk ganas. Bahaya jika naik perahu.

Taruli memutuskan jalan kaki menyusuri jalan setapak pada tebing batu di sisi timur danau. Jalan setapak itu menghubungkan Siuhan dan Saitdolok. 

Jalan setapak itu sangat berbahaya. Sempit, turun-naik, dan licin. Kalau tak hati-hati, bisa tergelincir jatuh puluhan meter ke danau. 

Itulah yang terjadi. Karena hujan sangat lebat, jalan setapak itu bertambah licin. Kira-kira setengah perjalanan, karena gelap malam, Taruli terpeleset lalu jatuh tergelincir menuju danau.

Si Sotul, anjing kesayangannya yang ikut diam-diam, berusaha menyelamatkan Taruli dengan menggigit rambutnya yang terurai panjang. Sayang, tebing terlalu curam. Usaha Si Sotul sia-sia.

Tubuh Taruli dan anjingnya  meluncur deras tak tertahankan. Tepat di bibir salingsing, dinding batu, rambut panjang Taruli tersangkut di retakan bebatuan. Akibatnya Taruli dan anjing di pangkuannya tergantung di situ,  puluhan meter di atas permukaan danau.

Tiba-tiba sebuah petir besar menyambar tubuh Taruli dan anjingnya. Anehnya, petir itu tak menghanguskan tubuh Taruli dan anjingnya. Tapi menjadikannya batu yang mengantung di puncak salingsing.

Demikianlah kisah terjadinya Gadis Batu Gantung Sibaganding."

Batu Gantung Sibaganding (Foto: calderatobageopark.org)
Batu Gantung Sibaganding (Foto: calderatobageopark.org)

Bersamaan dengan akhir cerita, kapal tiba tepat di bawah Batu Gantung.

Anak-anak menyaksikan Batu Gantung itu dengan takjub. Tidak ada suara. Semua diam. Hening.

"Jangan menumpuk di pinggir situ. Geser ke tengah." Jurumudi kapal mengingatkan. 

Penumpukan penumpang di satu sisi kapal, demi melihat Batu Gantung, sangat berbahaya. Kapal bisa oleng karena berat sebelah dan menumpahkan penumpang ke danau. Itu pernah terjadi.

Poltak berusaha mengerahkan imajinasinya untuk menemukan sosok gadis Taruli dan anjingnya Si Sotul pada bongkah batu mengantung itu. Jidatnya sampai berkerut hebat, tapi tetap tak berhasil. Di mata Poltak, Batu Gantung itu tetap tampak sebagai stalagtit.

"Anak-anak, cukup, ya. Kita ke Tomok sekarang." Guru Arsenius menyudahi kunjungan ke Batu Gantung.

"Gurunami, nasib Maruli bagaimana?" tanya Tiur saat kapal sudah putar haluan ke arah Tomok.

"Ah, tak tahulah Pak Guru, Tiur. Soalnya Pak Guru belum pernah ketemu dia."

Anak-anak tergelak-gelak mendengar jawaban kocak Guru Arsenius.

"Tapi ada pelajaran berharga dari kisah itu," lanjut Guru Arsenius. "Orangtua jangan memaksakan kehendak kepada anaknya. Anak jangan mengambil jalan sendiri tanpa restu orangtuanya."

"Mauliate, Gurunami." Anak-anak kompak mengami ujaran Guru  Arsenius.

"Ya, sudah," tukas Guru Arsenius. "Berta, ambil lampet di baskom itu. Bagikan kepada teman-temanmu. Daun bungkusnya dikumpul, ya.  Jangan buang ke danau."  

Anak-anak langsung sibuk dengan lampet masing-masing. Itu lampet dari kedai Ama Rosmeri. Idaman setiap murid SD Hutabolon.

Berta menghampiri Poltak yang berdiri sendiri di haluan kapal.  

"Poltak, kamu percaya Batu Gantung itu tadinya gadis cantik?"

"Tidaklah, Berta. Itu cuma  gumpalan lava yang membeku saat letusan Gunung Toba dahulu kala."

Berta takjub atas jawaban Poltak. Cerdas sekali. Padahal Poltak hanya mengulang cerita Parandum, amangudanya.

"Oh, kalau hati bisa membatukah, Poltak?"

Poltak menatap mata Berta dalam-dalam. Dengan pikiran kanak-kanaknya, dia mencoba menebak arah pertanyaan itu.

"Betullah kata umpasa Batak," katanya dalam hati, "pangaririt pe baoa pangariritan do borua." Soal cinta, laki-laki agresif tapi perempuan jauh lebih agresif.

"Bisa. Kalau hatimu dimasukkan ke pabrik es batu." Jawab Poltak berkelit, sambil tertawa.

"Ih, jahat. Ditanya baik-baik." Cubitan Berta mendarat di pinggang Poltak.

"Adoh! Sakit!"

"Bodo!"

"Gurunami! Poltak dan Berta berkasih-kasihan itu!" Jonder tiba-tiba berteriak mengadu. (Bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun