Taruli sudah dijodohkan dengan Maruli, pariban, anak lelaki namborunya, saudari bapaknya. Maruli terkenal tampan dan baik hati. Dia dan orangtuanya tinggal di huta Saitdolok, sebelah selatan Siuhan sana.
Walaupun perjodohan antar pariban, Taruli dan Maruli ternyata saling jatuh hati. Â Mereka sudah mengikat janji untuk sehidup-semati.
Suatu waktu, orang terkaya di Sibaganding meminang Taruli untuk menjadi istri Gulasa, anak tunggal mereka. Silau oleh kekayaan, orangtua Taruli menerima pinangan itu. Perjodohan Taruli dan Maruli diputus secara sepihak. Â
Oleh orangtuanya, Taruli dipaksa menikah dengan Gulasa. Taruli berkeras menolak. Hatinya sudah milik Maruli.Â
Karena penolakan itu, ibunya mengatai Taruli anak yang keras hati dan keras kepala seperti batu. Katanya, kalau Taruli tak melunakkan hatinya, kelak bisa mati membatu.
Tak tahan dipaksa, ditekan, dan dikecam, pada suatu malam tanpa bulan, Taruli melarikan diri ke Saitdolok. Dia berencana menemui Maruli dan akan minta mangalua, kawin lari.
Tadinya Taruli hendak naik perahu, tapi diurungkan. Sebab malam itu turun hujan lebat disertai badai besar. Â Gelombang danau berkecamuk ganas. Bahaya jika naik perahu.
Taruli memutuskan jalan kaki menyusuri jalan setapak pada tebing batu di sisi timur danau. Jalan setapak itu menghubungkan Siuhan dan Saitdolok.Â
Jalan setapak itu sangat berbahaya. Sempit, turun-naik, dan licin. Kalau tak hati-hati, bisa tergelincir jatuh puluhan meter ke danau.Â
Itulah yang terjadi. Karena hujan sangat lebat, jalan setapak itu bertambah licin. Kira-kira setengah perjalanan, karena gelap malam, Taruli terpeleset lalu jatuh tergelincir menuju danau.
Si Sotul, anjing kesayangannya yang ikut diam-diam, berusaha menyelamatkan Taruli dengan menggigit rambutnya yang terurai panjang. Sayang, tebing terlalu curam. Usaha Si Sotul sia-sia.