"Bukan, Mas. Saya belum pernah jatuh cinta. Saya cuma mengingatkan kalau dia nggak boleh didekati. Dia itu nggak boleh pacaran sama sekali, dengan pria manapun. Itu sudah menjadi perjanjian dia dengan Kepala Desa. Jadi Mas jangan nekat incar dia," ucap remaja itu lagi. Tentunya sukses membuatku makin penasaran dan tak terima dengan larangan itu.
"Coba lu jelasin yang bener dong kenapa dia nggak boleh didekati? Emang dia siapa? Jangan ngibul lo, ya." tanyaku lagi sambil menunjuk wajahnya.
Remaja itu lagi-lagi menggaruk kepapanya, tetapi tapi ini lebih kasar. Tampaknya ia cukup frustrasi dengan pertanyaan yang telah aku lontarkan. Padahal tinggal jawab, apa susahnya? Mungkin ini akal-akalan dia saja supaya aku tak mendekati gadis itu.Â
"Maaf, Mas. Saya nggak bisa kasih tau, ini rahasia. Kata Kepala Desa, pamali lakuin hal itu. Okelah, Mas. Saya pergi dulu, ya," ucap remah itu.
Aku bingung sendiri dengan remaja itu. Mana ada gadis kota jaman sekarang begitu? Sudahlah, lebih aku segera menuju rumah. Nanti aku akan mencari tahu sendiri.
***
KKN kami telah berjalan selama tiga minggu. Beberapa bahan makanan dan bumbu dapur telah menipis. Saidah---temenku yang berhijab ini pemegang uang iuran makan kami selama KKN. Dia memutuskan untuk ke warung membeli sesuatu, untuk makan malam mereka.
"Lo pada mau nitip apa? Biar sekalian," tanya Saidah.Â
Kami sehabis maghrib memang kumpul bareng di kontrakan para cewek, dengan syarat pintu jangan ditutup. Kata warga, untuk menghindari fitnah. Biasanya setiap habis maghrib kami makan malam, tetapi kali ini tak ada yang bisa dimakan.
"Emang menu kita hari ini apa?" tanya Alex---sepupuku yang lebih tua setahun dariku.
"Rencananya sih mau beli telur sama mi instan aja. Besok deh kalau mau makan enak kami ke pasar dulu," sahut Saidah.