Gadis itu mengangguk sebagai jawaban. Akhirnya kami pun duduk berhadap-hadapan. Aku duduk di hadapan gadis itu dengan sepiring gado-gado yang sedari tadi aku aduk-aduk saja.
"Eh, gue ambil makanan dulu ya, By. Lupa gue. Tapi kalau gue dapat kursi di sana, gue makan di sana aja," ucap Alex. Mungkin ini bagian dari rencananya.
"Oke," sahutku ringan.
Akhirnya tinggal gue sama gadis itu. Berasa sarapan bersama kalau begini. Aku memberanikan diri mendongkak, menatap wajahnya yang tegas dan cantik. Tiba-tiba saja mataku melihat ke arah lehernya yang terlihat bengkak dengan sebuah tonjolan seperti tulang.
"Emm ... maaf, itu lehermu sakit, ya? Kayak ada benjolan gitu, tapi nggak merah kok," ucapku memulai obrolan.
Gadis itu mengangguk sambil memegang lehernya. Ia tersenyum kecut sambil terus mengunyah makanannya.
"Oh pantes kamu nggak buka suara. Iya baiknya jangan banyak ngomong dulu, takut itu ngaruh ke pita suara. Temanku dulu pernah juga sakit tenggorokan, sampai suaranya hilang. Dia beneran kayak orang bisu selama seminggu. Hahaha!" Aku bercerita layaknya teman akrab, ia juga tertawa tanpa suara. Senangnya bisa melihat pujaan hati tertawa begitu.
"Setelah makan ini, mau nggak kita jalan sebentar? Duduk di atas batu yang dekat aliran sungai itu kayaknya seru deh. Bisa foto bareng, lumayan buat kenang-kenangan."
Gadis itu mengangguk dengan ajakanku. Aku melahap gado-gado yang sudah aku aduk berulang kali itu dengan suapan besar. Rasanya begini toh berhasil pendekatan dengan cewek.Â
Usai makan, kami menuju tempat yang aku inginkan tadi. Kami ke sungai tempatku mencuci kemarin. Aku membantu dia naik ke atas batu yang cukup tinggi itu. Kami duduk bersebelahan, dekat sekali.
"Sejuk banget ternyata di desa. Kalau aku pulang ke kota mungkin bakal kangen banget sama kamu. Eh! Sama suasana di sini maksudnya."