Mohon tunggu...
Mona Cim
Mona Cim Mohon Tunggu... Administrasi - Admin

Aku suka sekali menulis dan mendengar musik. Dua hal yang nyaris tak pernah aku lewatkan setiap harinya. Aku aktif menulis di berbagai plaform dengan nama akun @mona_cim. Aku juga giat mengikuti berbagai event kepenulisan.

Selanjutnya

Tutup

Kkn

Kembang Desa Buatku Trauma

30 Juni 2024   12:40 Diperbarui: 30 Juni 2024   12:40 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
KKN. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

"Subhanallah!"

Aku menoleh pada Danuar yang berdiri di atas batu yang letaknya cukup tinggi. Temanku perawakan kurus dan rambut keriting itu tampaknya takjub akan sesuatu yang ia lihat dari atas sana. Awalnya aku memilih acuh, masih melanjutkan kegiatan mencuci baju di pinggir aliran sungai yang sangat jernih sekali. Bahkan bebatuan dan ikan-ikan kecil jelas sekali terlihat di dalamnya.

"Aby! By!"

Danuar memanggil namaku cukup keras, tetapi terkesan berbisik. Abyan Pratama namaku, biasa dipanggil Aby. Aku pun menoleh dengan kening berkerut dalam. Kulihat Danuar menatapku dengan raut semringah seraya mengucapkan, "ada cewek."

"Biarinlah. Kenapa emang?" sahutku acuh.

"Sini dulu lo! Cantik banget sumpah. Putih, mungil, seksi. Beuhhh ... mantap!"

Aku tipikal orang yang menghargai antusias teman. Mau itu penting atau tidak, aku harus meresponnya. Aku membilas tanganku yang licin oleh sabun, lalu beranjak dengan perlahan. Satu per-satu bebatuan aku pijak hati-hati, hingga sampailah aku dimana Danuar berada.

"Mana?" tanyaku mengikuti arah tatap Danuar.

"Tuh! Liat yang koloran warna biru," ujar Danuar menunjuk dengan pasti.

Aku menyipitkan mata memperhatikan orang-orang yang tengah mandi di seberang sana. Ada wanita paruh baya sedang mencuci pakaian, dua bocah laki-laki sedang berenang, dan satu bocah perempuan kira-kira berusia 6 tahun. Sungguh, aku sama sekali tak menemukan cewek seksi seperti yang Danuar bilang sebelumnya.

"Mana sih? Mana ceweknya? Hantu kali yang lo liat," ucapku cukup kesal.

Kubilang apa, ini sangat meragukan. Danuar cengengesan sambil menunjuk lagi ke arah mereka. Kulihat telunjuk Danuar mengarah pada bocah perempuan yang memakai dalaman biru.

"Kurang ajar lo, Dan. Gue pikir beneran. Gila lu, ya!" Aku mengomel dengan raut wajah ingin menelan kawan hidup-hidup. Kupikir sungguh ada wanita cantik di desa ini. Seperti di sinetron, di sebuah desa terdapat seorang wanita cantik yang merupakan kembang desa.

Danuar tertawa lepas, puas sekali. Tubuh kurusnya sampai terbungkuk-bungkuk. Kalau saja aku tak ada hati nurani, mau kudorong pemuda kurus itu.

"Lagian lu percaya aja. Mana ada cewek mandi koloran doang di sungai terbuka gini."

"Ya kan tertipu sama muka lo yang udah paten banget kayak penipu kelas kakap," sahutku masih dengan nada kesal.

"DANUUUU!"

Tiba-tiba terdengar suara teriakan cempereng dari arah bawah. Suara melengking itu tak lain dan bukan milik kekasih Danuar, si Natasya. Kebetulan Tasya satu kelompok KKN sama kami. Makin senanglah si Danuar, KKN bersama orang terpuja.

"Iya, Sayang! Bentar honei, boimu akan turun," ucap Danuar sambil turun dengan perlahan.

Kelakuan Danuar memang seperti itu. Mood banget dalam segala kondisi. Salah satu kelucuan seorang Danuar itu adalah berbicara menggunakan bahasa Inggris pada kekasihnya dengan pronounce alakadarnya.

Sudahlah, tak ada gunanya aku merutuki kebodohanku yang mau saja dibodohi oleh kutu kupret macam Danuar. Mending aku lanjut mencuci pakaianku, tersisa tiga lembar baju atasan lagi. Aku turun dari sana, melangkah dengan lompatan kecil dari batu ke batu. Kakiku sudah cukup kering, tak takut terpeleset seperti awal.

Setelah menyelesaikan soal cucian, aku memutuskan untuk segera kembali ke tempat penginapan. Bukan penginapan khusus sebenarnya, melainkan rumah yang dikontrakkan oleh salah satu warga di sana. Kebetulan ada dua rumah kosong, jadi kami menyewa keduanya. Satu rumah untuk perempuan dan satu rumah lagi untuk kami para lelaki. 

Di perjalanan menuju ke rumah, tak sengaja aku bertemu dengan seorang gadis manis bertubuh tegap, kulit kuning langsat, dan alis yang tebal. Wah, cantik sekali pikirku. Mungkinkah ini yang disebut kembang desa? Eh, omong-omong aku jadi malu membawa sebuah ember hitam berisi pakaianku yang tadi dicuci. Lekas aku menyembunyikan ember itu di belakang badan, begitu kami hampir berpapasan.

Aku memasang wajah ramah sambil perlahan melirik ke arahnya. Masya Allah ... dia tersenyum tipis. Walau langkahku terus berlanjut, tetapi kepalaku berputar 90 derajat ke belakang saking kagumnya dengan gadis itu.

"MEOWWGHHH!"

"Ayam! Ayam! Eh---" Kaget sekali aku. Suara histeris kucing itu membuat jantungku semakin berdebar. Ternyata aku tak sengaja menginjak buntutnya. Boleh tidak aku salahkan kembang desa itu? Dia yang membuatku menjadi orang bersalah di sini.

"Jalan yang bener dong, Mas. Keinjek deh kucing saya," komentar seorang remaja laki-laki yang sedang meraup tubuh kucing putih itu untuk ia gendong.

"Maaf, Dek. Nggak sengaja."

"Mas tadi kepalanya ke belakang. Makanya nggak liat jalan dengan benar. Untung Ujang gapapa. Baru juga sembuh dari tabrak lari," celoteh remaja itu dengan bibir yang cemberut.

"Y-ya maaf. Habisnya tadi gue liat cewek cantik bener," sahutku merasa bersalah. "Eh, lo tau nggak cewek tadi namanya siapa? Kembang desa sini?" tanyaku lagi dengan rada rendah.

Remaja itu melihat ke arah gadis cantik tadi yang sudah berjalan cukup jauh. Ia terlihat canggung, tangannya menggaruk kepala yang aku yakin tak terasa gatal. Persis seperti kondisi orang yang tak nyaman untuk menanggapi sesuatu.

"I-itu ... ck, jangan deh, Mas. Jangan coba-coba Mas incer dia. Dia nggak cocok buat, Mas."

Aku mengernyit bingung. "Emang kenapa? Dia sudah punya pacar 'kah? Atau lo lagi yang suka sama dia. Masih kecil, Dek. Lu cocoknya jadi adek gue aja." Aku terkekeh geli mengucapkan hal itu.

"Bukan, Mas. Saya belum pernah jatuh cinta. Saya cuma mengingatkan kalau dia nggak boleh didekati. Dia itu nggak boleh pacaran sama sekali, dengan pria manapun. Itu sudah menjadi perjanjian dia dengan Kepala Desa. Jadi Mas jangan nekat incar dia," ucap remaja itu lagi. Tentunya sukses membuatku makin penasaran dan tak terima dengan larangan itu.

"Coba lu jelasin yang bener dong kenapa dia nggak boleh didekati? Emang dia siapa? Jangan ngibul lo, ya." tanyaku lagi sambil menunjuk wajahnya.

Remaja itu lagi-lagi menggaruk kepapanya, tetapi tapi ini lebih kasar. Tampaknya ia cukup frustrasi dengan pertanyaan yang telah aku lontarkan. Padahal tinggal jawab, apa susahnya? Mungkin ini akal-akalan dia saja supaya aku tak mendekati gadis itu. 

"Maaf, Mas. Saya nggak bisa kasih tau, ini rahasia. Kata Kepala Desa, pamali lakuin hal itu. Okelah, Mas. Saya pergi dulu, ya," ucap remah itu.

Aku bingung sendiri dengan remaja itu. Mana ada gadis kota jaman sekarang begitu? Sudahlah, lebih aku segera menuju rumah. Nanti aku akan mencari tahu sendiri.

***

KKN kami telah berjalan selama tiga minggu. Beberapa bahan makanan dan bumbu dapur telah menipis. Saidah---temenku yang berhijab ini pemegang uang iuran makan kami selama KKN. Dia memutuskan untuk ke warung membeli sesuatu, untuk makan malam mereka.

"Lo pada mau nitip apa? Biar sekalian," tanya Saidah. 

Kami sehabis maghrib memang kumpul bareng di kontrakan para cewek, dengan syarat pintu jangan ditutup. Kata warga, untuk menghindari fitnah. Biasanya setiap habis maghrib kami makan malam, tetapi kali ini tak ada yang bisa dimakan.

"Emang menu kita hari ini apa?" tanya Alex---sepupuku yang lebih tua setahun dariku.

"Rencananya sih mau beli telur sama mi instan aja. Besok deh kalau mau makan enak kami ke pasar dulu," sahut Saidah.

"Gue nitip kopi ya, Sai. Kopi pahit deh, jangan kopi susu," ucapku.

"Oke. Ada lagi?"

"Beli camilan kalau ada. Pakai aja duit kas kita, ntar besok gue ganti. Males ke sebelah ambil dompet," kata Miko---temanku berambut cepak kulit sawo matang.

Saidah mengangguk, ia menggandeng temannya bernama Fitri untuk menemani belanja di warung. Tinggal aku, Miko, dan Alex yang melanjutkan kegiatan menulis laporan. Sedangkan Tasya, Dila, dan Danuar mengobrol di halaman rumah. 

Tiba-tiba aku ingat gadis kembang desa yang aku temui siang tadi. Aku berniat untuk berbagi cerita dengan Alex dan Miko. Siapa tahu, mereka punya ide untuk pendekatanku dengan si Cantik itu.

"Eh, lu pada harus tau. Di desa ini ada kembang desa. Cuantiiiik banget! Asli ya, walau muka dia tegas gitu tapi senyum tipis nya, bruh, bikin jantung disko tau nggak!" ucapku dengan lugas. 

Miko terkekeh sambil menutup laptopnya. Mungkin tugasnya sudah selesai. Miko memang jago soal nulis laporan, tangannya lihai juga mengetik keyboard. 

"Emang lu yakin tuh kembang desa nggak ada yang punya? Jarang ada cewek desa cantik terus jomlo. Kebanyakan sudah ada yang tandain dari kecil malah. Kalau calon suaminya jurangan tanah, lo mau apa?" Miko mengungkapkan fakta tersebut sambil tertawa. Suka sekali meruntuhkan semangat kawan.

"Ya kalau nggak dideketin, mana tau 'kan? Lagian tergantung si cewek juga. Kan ada tuh cewek yang nggak mau nikah muda atau yang dijodoh-jodohin gitu. Mana tau, belum coba. Ikhtiar, bro!" komentarku dengan penuh keyakinan.

"Kalau lu yakin deketin aja. Gue bantu deh. Gini-gini gue penakluk cewek spek macan betina. Si Rani yang terkenal angkuh dan jutek gitu, jadi pacar gue udah 4 tahun!" Alex selalu membanggakan hal itu. Selalu saja, sudah dari awal semester ia membanggakan hal itu.

"Ya udah bantuin gue besok. Kira-kira rumahnya dimana, ya?" tanyaku sambil berpikir.

"Gampang! Besok kan hari Minggu ada acara kondangan di dekat rumah pak Kades. Nah, kita bisa cari dia di sana. Bawa ke tempat yang sepi, ajak kenalan," celetuk Miko.

Aku bertepuk tangan bangga pada Miko. Bagus sekali, rasanya tak sabar menunggu hari esok. Keyakinan di hatiku seketika tumbuh, akankah aku akhirnya melepas masa lajangku? Tak apa dapat gadis desa, justru ini istimewa.

"Nggak sabar gue ganti bio sosmed," ucapku bangga, tetapi terkikik setelahnya.

"Pede banget si Dugong. Belum tentu dia mau sama elu," ucap Alex menyindir. Walau perhatiannya sedari tadi pada laptop, tetapi serius mendengarkan celotehanku dengan Miko.

"Ganteng gini. Mana ada cewek yang nggak suka cowok ganteng. Si ganteng aja ada yang suka sama ganteng," ucapku asal.

"Jangan ubah genre, Nyet. Mending lu diem nunggu dikasih makan sama Saidah," ujar Miko ringan sekali menghina temannya.

***

Aku sudah siap dengan kemeja putih dan celana jeans denim. Niat cuma KKN, jadi tak menyiapkan sama sekali bakal mengikuti acara kondangan begini. Makanya memakai baju yang ada saja, kira-kira cocok dengan acara kondangan.

Aku keluar kamar, hanya ada Miko yang sedang mengikat tali sepatunya. Mungkin yang lainnya sudah duluan. Maklumlah, malam tadi aku begadang sampai pukul 2 malam. Tak tahu Miko kenapa baru siap-siap.

"Yang lain udah pada berangkat, Mik?" tanyaku pada Miko.

"Sudah. Gue tadi ke toilet dulu, makanya baru aja mau berangkat. Kalau enggak mah, lo berangkat sendirian."

"Bangke."

Kami pun keluar rumah, aku mengunci pintu rumah kami. Walau tak ada perabotan atau alat elektronik rumahan, tetapi ada laptop kami yang sangat berharga. Mau tak mau harus tetap waspada. Semua jendela pun sudah kami tutup.

"Alex berangkat duluan? Katanya mau bantuin gue nyari kembang desa."

"Ya kan ketemu juga di tempat kondangan sama dia. Badan tinggi Alex nggak sulit nyari tuh anak," sahut Miko. Benar juga, tubuh Alex memang cocok disebut "tiang listrik" saking tingginya. Mungkin sekitar 180 cm.

"Yoi. Nggak sabar gue mah." Semangat sekali rasanya, segar pikiran membayangkan senyuman manis sang kembang desa. Ah, penuh damba sejak pertemuan pertama.

Acara kondangan di desa ternyata ramai sekali. Mungkin penghuni masing-masing rumah keluar semua, ikut menghadiri acara tersebut. Tak memedulikan malu bawa anak banyak, mereka tampak antusias membawa anak-anak mereka ke sana. Rata-rata warga desa tak memakai pakaian yang glamor seperti menghadiri undangan di kota. Lebih ke bebas pantas saja.

Baru kami sampai di tempat acara, Alex entah datang dari arah mana menghampiri kami. Fokus menelisik sampai tak menyadari Alex yang melihat kami duluan.

"Bro, gimana soal kembang desa? Lo tunjukkin deh yang mana orangnya. Biar gue bantu muluskan jalan PDKT kalian," ujar Alex percaya diri.

"Ntar, gue cari dulu," sahutku sambil menelisik wajah-wajah warga yang datang.

Sambil berjalan perlahan, mataku tak lepas menelisik. Biarlah soal makanan tak kupedulikan dulu, yang penting kembang desa tertangkap oleh netraku. Hingga akhirnya, kedua mataku berbinar menangkap sosok gadis cantik sedang duduk seorang diri di pelatar rumah dekat acara sambil menikmati sepiring makanan di tangannya.

"Lex, Lex! Itu dia, Lex. Kembang desa," ucapku senang sekali sambil menunjuk ke arah gadis itu.

"Mana? Tangan lu jangan goyang! Gimana gue mau tau arah telunjuk lu," protes Alex.

Akhirnya Alex melihat juga sosok gadis yang kuanggap kembang desa itu. Alex berdecak kagum dengan senyuman yang terkesan sus sekali di mataku.

"Biasa aja ngeliatinnya. Jatah gue tuh. Mau gue colok?" ancamku pada Alex.

"Boleh juga selera lu. Tenang, gue cuma kagum sesaat doang. Masih cantik cewek gue."

"Jadi gimana nih?" tanyaku tak sabaran.

Alex menelisik sekitar mereka, ia tampak kelimpungan mencari seseorang. Hingga jarinya menunjuk ke suatu arah dengan wajah menunjukkan kekesalan. 

"Noh temen lu Miko malah asik makan duluan. Pantes aja nggak ada suaranya." Alex berkacak pinggang sambil menujuk ke arah Miko yang hanya menunjukkan cengiran khasnya.

"Dahlah dia nggak bakat juga hal beginian. Lo kan lebih bakat. Kasih saranlah."

Alex mengangguk setuju. "Oke. Sekarang lo ambil makanan apa aja, nanti bawa ke sana. Gue temenin deh nyamperin dia. Abis itu lo urus sendiri. Takut Tasya jahil kirim foto ke cewek gue."

Aku pun mengambil sepiring gado-gado di meja hidangan itu. Kami berdua berjalan menuju gadis itu. Gugup sekali rasanya, berbeda dengan Alex yang santai sekali setiap langkahnya. Akhirnya kami sampai di hadapan gadis itu. Gadis itu menatap kami berdua dengan senyuman tipisnya. Ah, manisnya. Aku tanpa sadar juga tersenyum, meletup sekali rasa di hatiku ini.

"Misi, Mbak. Kami boleh ikut makan di sini? Tuh, meja-meja sudah pada penuh," ucap Alex dengan nada ramah.

Gadis itu mengangguk sebagai jawaban. Akhirnya kami pun duduk berhadap-hadapan. Aku duduk di hadapan gadis itu dengan sepiring gado-gado yang sedari tadi aku aduk-aduk saja.

"Eh, gue ambil makanan dulu ya, By. Lupa gue. Tapi kalau gue dapat kursi di sana, gue makan di sana aja," ucap Alex. Mungkin ini bagian dari rencananya.

"Oke," sahutku ringan.

Akhirnya tinggal gue sama gadis itu. Berasa sarapan bersama kalau begini. Aku memberanikan diri mendongkak, menatap wajahnya yang tegas dan cantik. Tiba-tiba saja mataku melihat ke arah lehernya yang terlihat bengkak dengan sebuah tonjolan seperti tulang.

"Emm ... maaf, itu lehermu sakit, ya? Kayak ada benjolan gitu, tapi nggak merah kok," ucapku memulai obrolan.

Gadis itu mengangguk sambil memegang lehernya. Ia tersenyum kecut sambil terus mengunyah makanannya.

"Oh pantes kamu nggak buka suara. Iya baiknya jangan banyak ngomong dulu, takut itu ngaruh ke pita suara. Temanku dulu pernah juga sakit tenggorokan, sampai suaranya hilang. Dia beneran kayak orang bisu selama seminggu. Hahaha!" Aku bercerita layaknya teman akrab, ia juga tertawa tanpa suara. Senangnya bisa melihat pujaan hati tertawa begitu.

"Setelah makan ini, mau nggak kita jalan sebentar? Duduk di atas batu yang dekat aliran sungai itu kayaknya seru deh. Bisa foto bareng, lumayan buat kenang-kenangan."

Gadis itu mengangguk dengan ajakanku. Aku melahap gado-gado yang sudah aku aduk berulang kali itu dengan suapan besar. Rasanya begini toh berhasil pendekatan dengan cewek. 

Usai makan, kami menuju tempat yang aku inginkan tadi. Kami ke sungai tempatku mencuci kemarin. Aku membantu dia naik ke atas batu yang cukup tinggi itu. Kami duduk bersebelahan, dekat sekali.

"Sejuk banget ternyata di desa. Kalau aku pulang ke kota mungkin bakal kangen banget sama kamu. Eh! Sama suasana di sini maksudnya."

Gombalan basi sebenarnya, tapi gadis itu tertawa lagi tanpa suara. Menampilkan deretan giginya yang putih. Kalau begini, pipiku yang akan bersemu lama-lama.

Angin sepoi-sepoi, udara terasa nyaman, dan cuaca tak panas. Menambah kesan nyaman kebersamaan kami. Gadis itu berselonjor, tak sengaja aku melihat kakinya yang putih, tetapi berbulu cukup lebat. Terkejut aku melihatnya, tetapi aku dapat berpikir positif. Mungkin hal seperti ini yang membuat gadis di sampingku diperlakukan tak adil oleh kepala desa dan warga sekitar. Sebab beberapa kekurangannya membuat dirinya dijauhi dan tak dipandang oleh warga. Kasihan sekali kasihku ini, malang sekali nasibnya.

"HEI KALIAN BERDUA!"

Aku tersentak kaget, begitu juga dengan gadis di sebelahku setelah mendengar suara teriakan yang berasal dari bawah. Kami menoleh secara bersamaan, tampak seorang pria paruh baya perawakan tinggi dan kumis tebal menatap garang kami berdua. Belum selesai keterkejutanku, aku kembali terkejut melihat gadis itu berdiri ingin segera melarikan diri.

"Kenapa, Pak? Kok Bapak marah gitu. Kami cuma ngobrol berdua, nggak ngapa-ngapain," ujarku memberikan pembelaan diri.

"Salahnya kamu ngajak dia!" sahut Pak Kades dengan mata melotot. "Bahrun! Turun kamu!" ketus si Pak Kades menunjuk gadis yang sedang berusaha turun itu.

Aku bengong tak mengerti. Apa tadi katanya? Bahrun? Namaku bagus-bagus diganti Bahrun. Bahrudin maksudnya?

"Nama saya Abyan, Pak. Bukan Bahrun. Bapak salah orang," ucapku.

"Bukan kamu! Tapi dia!" sahut beliau menunjuk ke arah gadis itu.

"ARGH! E-eh kepeleset." Pekikan itu aku yakin dari kembang desa itu yang barusan hampir terpeleset. Ya Allah ... Suaranya sungguh perkasa. Aku membeku ditempat dengan mulut terbuka kaku.

Aku masih tak paham, masih mematung di atas batu itu. Kulihat Pak Kades bersiap mengejar kembang desa dengan tatapan melotot dan jari telunjuk tertuju pada gadis itu. 

"Sini kamu, Bahrun! Berani sekali kamu melanggar pantangan! Sini kamu!"

"Ampun, Pak! Ampun, Pak. Saya cuma tes ombak," ucap gadis itu dengan suara laki-laki.

"Keterlaluan kamu! Sini kamu!" 

Pak Kades mengejar gadis bernama Bahrun itu. Si Bahrun berlari pontang-panting sambil mengangkat rok birunya tinggi-tinggi, menampilkan kaki sedikit berotot dengan bulu-bulu kaki yang banyak.

"Astaghfirullah ... jadi dia lanang?" ucapku terduduk lemas di atas batu. 

Tiba-tiba terdengar gelak tawa entah dari mana. Aku menelisik, menemukan Danuar, Alex, dan Miko tertawa terbahak-bahak berjalan ke arahku. Sumpah aku murka sekali, tampaknya mereka sudah tahu dari awal. 

"Gimana si kembang desa, By? Cantik senyumnya? Udah jadian belum? Ahahaha!" Danuar si kutu kupret puas sekali menertawakanku.

"Gila lo pada, ya. Jadi udah tau dia itu cowok? Gue malah berharap sama batangan. Asem kalian!" ucapku dengan lantang.

Alex dan Miko tertawa tak tertahankan. Apa mereka sudah tahu juga?

"Lex, Mik? Lo pada tau dari awal? Wah, kita nggak temenan kalau gini. Sumpah gue trauma sampai badan tremor gini." Aku duduk di batu itu dengan tatapan lelah pada mereka.

"Enggak, By. Gue sama Miko nggak tau. Gue tau malah dari Danuar dan Tasya. Katanya, cewek itu namanya Bahrun Sutomo. Dia itu banci di kota, tapi karena sebuah kejadian membuat dia pulang ke kampung halaman. Nah, di desa ini pamali kalau warganya bahas soal banci atau ada penyuka sesama jenis. Makanya, si Bahrun udah janji nggak bakal berhubungan dengan cowok. Eh, malah lu kepincut sama dia," ujar Alex menjelaskan panjang lebar. 

Aku sudah tak tahu harus berkata apa lagi. Lemas, malu, dan kesal jadi satu. Malang sekali nasibku. Kupikir masa lajangku akan berhenti oleh pertemuanku dengan kembang desa. Ternyata kodam Bahrun yang lepas di hadapanku barusan. Mengerikan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kkn Selengkapnya
Lihat Kkn Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun