Mohon tunggu...
Ihsan Maulana Hussyain
Ihsan Maulana Hussyain Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

hobi olahraga

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Review Hukum Keluarga Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin

8 Maret 2023   10:57 Diperbarui: 8 Maret 2023   11:14 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Nama: Ih`san Maulana Hussyain

Nim: 212121045

Kelas: HKI 4B

 

BOOK REVIEW

 

Judul     : HUKUM KELUARGA HAK DAN KEDUDUKAN ANAK LUAR KAWIN

Penulis  : D.Y. Witayanto,S.H.

Editor : Umi Athelia Kurniati. S.Pd.

Desain Cover: Sudarmaji Lamiran. S.Pd.

Setting: Nurfitriya, S.T.

Penerbit : Prestasi Pustakaraya

Terbit     : 2012

Ukuran  : 14cm x 20,5cm

Halaman : 316

ISBN : 978-602-8963-75-6

Cetakan Pertama  :  juni 2012

Halaman : 316

Biodata penulis

D.Y.  WITANTO, SH, Lahir di Bandung 13 Januari 1978 pada tanggal menamatkan sekolah dasar di SDN Sukajadi pada tahun 1990 , lalu melanjutkan ke SMPN Sukatali dan lulus pada tahun 1993 , kemudian melanjutkan ke SMAN 2 Sumedang dan 1996 , setelah tahun pada lulus di Fakultas menjalani pendidikan  Hukum Universitas Wijayakusuma Purwokerto pada tahun 2001 penulis menyandang gelar Sarjana Hukum .

Pada tahun 2001 Penulis tergabung dalam LBH Intania Arta Kencana sampai dengan awal tahun 2003 dan sejak bulan Mei 2003 penulis menjadi calon hakim pada Pengadilan Negeri Sumedang hingga tahun 2006. Pada bulan Mei 2006, penulis diangkat menjadi hakim di Pengadilan Negeri Sabang Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, selama penugasan di Aceh penulis aktif melakukan penelitian di bidang Hukum Adat, hingga pada tahun 2009 penulis dimutasikan ke Pengadilan Negeri Blambangan Umpu Provinsi Lampung hingga sekarang.

Pada buku yang ditulis oleh D.Y. Witanto, S. H. Ini terdiri dari 9 bab pada masing-masing dijelaskan secara terperinci dan buku ini dipersembahkan kepada anak-anak yang dalam belenggu takdir karena dosa orang tuanya. Sejak keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010, pada tanggal 13 Februari 2012 tentang jiudicial review terhadap Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan, timbul polemik di kalangan ulama, akademi, praktisi, aktivitas keagamaan dan LMS pemerhati anak tentang dampak lahinya putusan tersebut yang dianggap akan berbenturan dengan kaidah hukum islam. Putusan tersebut menga dung kontroversi karena telah menyatakan pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan yang menyebutkan bahwa "Anak luar kawin hanya memiliki hubungan kepedataan dengan ibunya dan keluarga ibunya" bertentangan dengan kostitusi

Dengan lahinya putusan tersebut penulis buku ini menaruh harapan yang beear bahwa suatu saat stigma negatif yang saat ini disandang oleh anak-anak luar kawin baik di mata hukum maupun dimana masyarakat bisa sedikit mereda, karena semua perlakuan yang tidak manusiawi terhadap anak-anak yang lahir dikuar perkawinan telah menjadi fenomena sepanjang jaman yang tidak kunjung ada solusinya. Padaha jika kita berfikir dari posisi mereka, sesungguhnya mereka tidak pernah meminta untuk dilahirkan dan tidak pula berikan kesempatan untuk memilih akan gerahir dari rahim milik siapa, maka terlalu naif jika kita menjatuhkan hukuman terhadap mereka dengan berbagai status dan kedudukan yang membuat mereka terbelenggu dalam dunia tanpa pengakuan.

Pada bab 1 berisi tentang makna kehadiran anak dalam sebuah keluarga, Seorang anak memiliki peranan yang sangan penting dalam kehidupan rumah tangga, karena tujuan melangsungkan perkawinan selain untuk membangun mahligai rumah tangga yang bahagia dan sejahtera juga untuk mempersatukan keluarga dan meneruskan keturunan.

Dalam sebuah perkawinan yang ideal, kehadiran anak merupakan idaman bagi setiap orang tua, namun kenyataan yang ada tidaklah selalu demikian, banyak fakta yang menunjukan bahwa orang tua rela membuang bahkan membunuh anaknya sendiri demi menutupi aib bagi keluarga. Kelahiran si anak akam membuat malu bagi keluarga karena anak it dihasilkan dari hubungan di luar nikah yang tidak dibenarkan oleh ajaran agama dan etika yang berlaku di masyarakat pada umumnya.

Seorang anak dilahirkan ke dunia melalui proses yang Panjang, mulai dari adanya pertemuan biologis antara benih dari seorang laki-laki dan sel telur milik seorang perempuan sampai terjadinya proses kehamilan yang harus dilalui oleh seorang perempuan sebelum kemudian si bayi terlahir ke dunia. Rangkaian/tahapan proses tersebut kemudian akan menentukan status dan kedudukan si anak di hadapan hukum. Menurut sudut pandang hukum tahapan proses yang dilalui sampai terjadinya peristiwa kelahiran dapat digolongkan mejadi:

a. Jika proses yang dilalui sah (legal), baik menurut hukum agama maupun hukum negara, maka ketika lahir si anak akan menyandang predikat sebagai anak yang sah .

b. Jika proses yang dilalui tidak sah (ilegal), baik menurut hukum agama maupun hukum negara, maka ketika lahir si anak akan menyandang predikat sebagai anak tidak sah (anak luar kawin).

Secara fitroh alamiah tidak ada ada perbedaan antara anak yang dilahirkan dari suatu perkawinan yang sah dengan anak yang lahir di luar perkawinan. Keduanya merupakan subjek hukum yang harus dilindungi oleh negara dan undang - undang , karena menurut pandangan agama , tidak ada satu ajaran pun yang menganut prinsip tentang dosa keturunan , sehingga stigma tentang anak luar kawin yang sering disebut sebagai anak haram jadah, anak kampang, anak sumbang, anak kowar dan sebagainya , harus disingkirkan dari identitas yang selama ini melekat pada diri mereka dan perlahan - lahan masyarakat harus dapat memahami bahwa yang membedakan mereka ( anak luar kawin dengan anak - anak lain pada umumnya hanyalah berbeda nasib dan takdir semata . Perbuatan zina yang dilakukan oleh orang tuanya tidak bisa menjadi alasan untuk memberikan stigma haram bagi si anak. Anak yang lahir dari sebab hubungan apa pun harus tetap dipandang sebagai anak yang suci dan terlepas dari dosa yang dilakukan oleh orang tuanya, dan semestinya juga dihadapan hukum ia harus mendapatkan hak dan kedudukan yang seimbang dengan anak - anak yang sah lainnya.

Pada bab 2 Pengelompokan anak berdasarkan status dan kedudukannya di hadapan hukum

Pada bab ke dua buku ini menjelaskan pengenelompokan anak berdasarkan status dan kedudukannya di hadapan, terdapat 6 pengelompokan yaitu

1. Anak sah

2. Anak zina

3. Anak subang

4. Anak luar kawin

5. Anak Angkat

6. Anak Tiri

Dari kelima pengelompokan tersebut anak sah menempati kedudukan yang paling tinggi dan paling sempurna dimata hukum dibandingkan yang lain, di sebabkan karena anak sah menyandang seluruh hak yang diberikan oleh hukum (hak waris, hak sosial, hak alimentasi, dan hak-hak lainya atas orang tuanya.

Kemudian di dalam buku ini lebih banyak menjelaskan anak luar kawin, apa itu anak luar kawin yang di maksut disini adalah anak yang lahir di luar perkawinan yang sah selain dari anak zina dan anak subang. Jadi dapat diakui oleh orang tua biologisnya sehingga ada kemungkinan memiliki hubungan perdata dengan ayah atau ibu kandungnya. Kedudukan Anak yang telah di akui orang tuanya tetap tidak sederajat sederajat dengan anak sah, anak ini memiliki kesempatan untuk menjadi ahli waris meskipun tidak sebesar ahli waris dari golongan anak sah.

Bab 3 Anak luar kawin dalam pandangan hukum islam, Pada bab ini  Hukum Islam menempatkan lembaga perkawinan dalam sebuah bingkai mulia sebagai bentuk ikatan sakral antara seorang laki-laki - dengan seorang perempuan di atas dasar perasaan cinta dan kasih sayang, hal ini bisa kita lihat dari beberapa ketentuan Al Quranyang melukiskan seberapa banyak panti perkawinan menjadi sangat penting posisinya dalam hubungan kekeluargaan, karena selain perkawinan dapat menjaga kesucian manusia dari perbuatan zina yang bisa menjerumuskan ke lembah yang terhina, juga bisa menjadi pintu gerbang untuk mempertahankan kembali generasi manusia. Sangat penting sebuah perkawinan berimplikasi pada berlakunya sanksi yang sangat berat bagi orang - orang yang melakukan hubungan badan di luar perkawinan, bahkan bagi mereka yang melakukan zina dalam katagori muhshan diancam dengan pidana mati (rajam) yaitu dikubur di tanah sebatas leher dan dilempari batu sampai meninggal.  Istilah perkawinan atau juga disebut pernikahan berasal dari bahasa Arab yaitu an - nikah yaitu berdasarkan pendapat para ulama fiqh terkemuka (imam mazhab) definisi nikah atau pernikahan antara lain sebagai berikut:

1) Mazhab Al -- Hanafiyah Akad yang berarti mendapatkan hak milik untuk melakukan hubungan seksual dengan seorang wanita yang tidak ada halangan untuk dinikahi secara syar'i.

2) Mazhab Al - Malikiyah Sebuah akad yang menghalalkan hubungan seksual dengan wanita yang bukan mahram, bukan majusi , bukan budak ahli kitab dengan shighah . 

3) Mazhab Asy - Syafi'iyah Akad yang mencakup pembolehan melakukan hubungan seksual dengan lafadz nikah, tazwij atau lafadz lain yang maknanya sepadan.

 4) Mazhab Al - Hanabilah Akad perkawinan atau akad yang diakui didalamnya lafadz nikah, tazwij dan lafadz yang punya makna sepadan.

Dalam hukum islam bahwa Asas pada kedudukan seorang anak ditentukan oleh sah atau tidaknya perkawinan yang dilakukan orang tuanya. Begitu pentingnya peranan perkawinan dalam menentukan status dan kedudukan seorang anak di hadapan hukum, sehingga dalam melakukan pembahasan tentang persoalan status dan kedudukan anak kita tidak dapat melepaskan diri dari pelajaran tentang perkawinan hukum dan segala aspeknya termasuk segala persyaratan yang wajib dipenuhi dalam melangsungkan perkawinan. Pasal 1 UU Perkawinan menyebutkan bahwa perkawinan ialah "ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa".

Kemudian disini juga berisikan tentang penentuan nasab anak dalam hukum islam

1)  Anak yang dibuahi tidak dalam pernikahan yang sah, namun dilahirkan dalam pernikahan yang sah .  Menurut Imam Malik dan Imam Syafi'i, anak yang lahir setelah enam bulan dari perkawinan ibu dan bapaknya, anak itu dinasabkan kepada bapaknya.  Jika anak itu dilahirkan sebelum enam bulan , maka anak itu dinasabkan kepada ibunya .  Berbeda dengan pendapat itu, menurut Imam Abu Hanifah, bahwa anak di luar nikah itu tetap dinasabkan kepada bapaknya sebagai anak yang sah.  Perbedaan pendapat ini disebabkan karena terjadinya beda pandangan dalam mengartikan lafaz fiarsy, dalam hadist nabi: "Anak itu bagi pemilik tilam dan bagi pezina adalah hukum rajam".  Mayoritas ulama mengaitkan lafadz firasy menunjukkan kepada perempuan, yang diambilkan seperti dari tingkah iftirasy (duduk ayak).  Namun ada juga ulama yang mengartikan kepada laki-laki (bapak).

2) Anak yang dibuahi dan lahir diluar pernikahan yang sah. Status anak diluar nikah dalam kategori yang kedua, disamakan statusnya dengan anak zina dan anak li'an, oleh karena itu maka mempunyai akibat hukum sebagai berikut :

 a. Tidak ada hubungan nasab dengan bapaknya.  Anak itu hanya memiliki hubungan nasab dengan ibunya.  Bapaknya tidak wajib memberikan nafkah kepada anak itu, namun secara biologis ia tetap anaknya.  Jadi hubungan yang timbul hanyalah secara manusiawi, bukan secara hukum.

b. Tidak ada saling mewaris dengan bapaknya, karena hubungan nasab merupakan salah satu penyebab kerwarisan .

c. Bapak tidak dapat menjadi wali bagi anak diluar nikah.

Kemudian pada penjelasan bab 4 berisi tentang anak luar kawin dalam pandangan hukum adat

Masyarakat Indonesia tersusun oleh berbagai persekutuan wilayah hukum adat, dimana masing-masing memiliki karakteristik khusus sebagai identitas yang membedakan antara yang satu dengan yang lain.  Menurut Van Vollenhoven masyarakat adat di Indonesia dibagi menjadi sembilan belas daerah lingkungan hukum adat (adatrechtskringen) antara lain meliputi:

1. Aceh

2. Minangkabau beserta Mentawai

2. Tanah Gayo - Alas, Batak serta Nias 

4. Sumatera Selatan

5 Bangka dan Blitung

6. Melayu (Sumatera Timur, Jambi dan Riau)

7. Kalimantan

8. Minahasa

9. Gorontalo

10. Toraja

11. Maluku, Ambon Sulawesi Selatan

12. Kepulauan Ternate

13. Sulawesi Selatan

14. Kepulauan Timor

15. Irian

16. Bali dan Lombok (beserta Sumbawa)

17. Daerah - daerah Swapraja Jawa Tengah dan jawa Timur

18. Jawa Tengah dan jawa Timur

19.Jawa Barat

Selanjutnya status anak luar kawin dalam pandangan msyarakat adat Ada beberapa penyebutan anak luar kawin di pelbagai daerah yang pada prinsipnya menunjukkan identitas yang termarjinalisasi dari kelompok masyarakat pada umumnya.  Beberapa istilah tersebut antara lain 1. Di daerah Sunda / Jawa Barat dikenal dengan " anak haram jaddah ". 

2. Di daerah Jawa Tengah dikenal dengan " anak kowar ". 

3. Di daerah Bali dikenal dengan " astra " atau " anak bebinjat.

4. Di daerah Lampung dan di Palembang dikenal dengan " anak kampung ".

5. Di daerah Makasar / Bugis dikenal dengan " anak buni atau " anak bule ".

Kemudian pada bab 5 di jelaskan kedudukan anak luar kawin dalam KUH perdata

Pengaturan tentang anak dalam KUH Perdata Pengaturan tentang anak dan segala persoalan yang menyertainya di dalam KUH Perdata diatur dalam beberapa disebutkan pada Bab XII tentang Kebapakan dan Asal Usul Keturunan Anak - Anak.  Bab XIV tentang Kekuasaan Orang Tua.  Bab XV tentang Kebelum - dewasaan dan Perwalian.  Bab XVI tentang Pendewasaan.  Namun yang secara khusus mengatur pesoalan tentang hubungan antara anak dan orang tua tidak lebih dari apa yang diatur dalam Bab XII dan Bab XIV saja.

Penggolongan status dan kedudukan anak dalam KUH Perdata menganut anggapan bahwa seorang anak luar kawin baru memiliki hubungan perdata baik dengan ayah maupun ibunya setelah mendapat pengakuan, hal itu bisa kita temukan dari makna yang terkandung dalam Pasal 280 KUH Perdata.  Memang terasa agak aneh karena ada kemungkinan seorang anak secara yuridis tidak memiliki ayah maupun ibu ketika ayah maupun ibunya tidak atau lalai melakukan pengakuan terhadap anak di luar kawinnya.  Si anak memang mempunyai ayah dan ibu secara biologis tetapi secara yuridis mereka tidak mempunyai hak dan kewajiban apa - apa terhadap anaknya .

Selanjutkan pada bab 6 berisi lembaga perkawinan dalam perspektif budaya Sebagai bangsa yang memegang teguh budaya ketimuran, masyarakat Indonesia pada umumnya sangat melindungi lembaga perkawinan, sebagai lembaga yang sakral dan mengandung nilai - nilai religius , hal ini tidak selalu berlebihan mengingat esensi perkawinan sesungguhnya merupakan bagian dari titah dan saran  agama kepada pemeluknya.

Ruang lingkup pengaturan uu perkawinan Undang - Undang Nomor 1 Tahun 1974 diundangkan pada tanggal 2 Januari 1974 dan dinyatakan berlaku sejak saat diundangkan.  Berdasarkan judul yang tertera di bagian kepala undang - undang tersebut berbunyi: " perkawinan. " sekilas kita dapat membayangkan, bahwa isi undang - undang tersebut hanya akan mengatur tentang seluk beluk perkawinan saja, namun ketika kita membaca dan telaah isi dan konten di dalamnya, ternyata undang - undang tersebut bukan hanya mengatur tentang hukum perkawinan, namun juga mengatur tentang persoalan - persoalan lain diluar dari masalah perkawinan.

Terminologi anak sah dalam uu perkawinan Menurut Pasal 42 UU Perkawinan bahwa yang dimaksud dengan anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan sah, sedangkan perkawinan yang sah berdasarkan Pasal 1 ayat (2) adalah perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing - masing  agamanya dan kepercayaannya itu .  Dari dua ketentuan di atas jika diartikan secara bersamaan maka anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam suatu perkawinan yang sah menurut agama atau kepercayaan dari suami dan isteri atau anak yang lahir sebagai akibat perkawinan menurut agama dan kepercayaan yang dianut oleh suami dan isteri yang melangsungkan  pernikahan .

Kemudian kewajiban pencatatan perkawinan dan akibat hukumnya menurut UU Perkawinan, bawasannya Sudah di bahas dari awal bahwa status hukum seorang anak di dalam hukum keluarga berkaitan erat atau bahkan secara mutlak ditentukan oleh sah dan tidak ada perkawinan yang dilangsungkan oleh kedua orang tuanya.  Sehingga tidak lengkap jika kita membicarakan tentang sah dan tidaknya status seorang anak tanpa membahas tentang keabsahan perkawinan dan segala aspek - aspek yang menyertainya.  Dalam pembicaraan tentang keabsahan perkawinan kita sering dihadapkan pada dua persoalan penting antara lain: persoalan hukum agama dan persoalan hukum negara (hukum positif). Pasal 2 berturut - turut memberikan dua kompetensi sekaligus antara lain pada ayat (1) disebutkan bahwa keabsahan perkawinan ditentukan oleh dan kepercayaan para pihak yang hukum agama melangsungkannya, sedangkan pada ayat ( 2 ) negara memberikan kewajiban kepada para pihak untuk mencatatkan perkawinan yang dilangsungkan di  kantor pencatat perkawinan yang telah ditentukan oleh undang undang.

Kemudian pada bab 7 berisikan tentang putusan MK No. 46/PUU-VII/2010 terhadap persoalan anak luar kawin

  • Yang pertama duduk perkara
  • Yang kedua yaitu petitum permohonan
  • Yang ketiga alat bukti surat kemudian
  • Yang keempat keterangan ahli
  • Yang kelima keterangan pihak pemerintah
  • Yang ke enam keterangan pihak DPR-RI
  • Yang ke tujuh pertimbangan Hukum dan Concurring opinion
  • Yang kedelapan konklusi dan amar putusan

Kemudian selanjutnya bab 8 berisi tentang kaidah hukum dalam putusan MK yang berkaitan dengan status anak luar kawin

Wewenang mahkamah konstitusi dalam melakukan uji materiil terhadap undang-undang

Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan puncak peraturan tertinggi dalam tata urutan peraturan perundang undangan yang berlaku di Indonesia sehingga konsekuensi dari hal tersebut mengandung makna bahwa segala peraturan yang lebih rendah tingkatannya tidak boleh bertentangan dengan yang lebih tinggi (UUD 1945).  Sedangkan untuk menjamin bahwa proses pembentukan peraturan perundang - undangan itu tidak bertentangan dengan konstitusi atau peraturan yang lebih tinggi, perlu ada mekanisme pengawasan melalui hak pengujian (toetsingsrecht).  Berdasarkan perubahan UUD 1945 bahwa pengujian terhadap peraturan perundang-undangan - undangan di bawah undang-undang - undang-undang dilakukan oleh Mahkamah Agung, sedangkan pengujian suatu undang-undang.

Pencatatan perkainan dalam pasal 2 ayat 2 kewajiban perkawinan merupakan kewajiban administrative yang tidak berhubungan dengan keabsahan perkawinan

Dalam ruang lingkup akademik, memang selalu menjadi polemik mengenai apakah kewajiban pendaftaran sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan mengikat terhadap keabsahan perkawinan  ataukah tidak?  Sebagian pendapat mengatakan bahwa oleh karena keabsahan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) diserahkan kepada ketentuan hukum agama dan kepercayaan masing - masing mempelai , maka kewajiban pencatatan tersebut tidak mengikat terhadap sah atau tidaknya suatu proses perkawinan .  Namun berdasarkan pendapat orang lain bahwa karena perkawinan merupakan suatu perbuatan hukum , maka syarat pencatatan merupakan syarat tambahan yang mengikat terhadap keabsahan suatu perkawinan dimana hukum akan menganggap bahwa perkawinan itu ada jika telah dicatatkan di kantor pencatat perkawinan .

Asal usul keturunan dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi Pada waktu UU Perkawinan dirumuskan belum terpikirkan oleh para pembuat undang-undang - undang-undang bahwa orang akan dapat membuktikan asal usul keturunan terhadap anak yang lahir di luar perkawinan terutama jika si perempuan pernah melakukan hubungan seksual dengan lebih dari seorang laki-laki. 

Anak luar kawin harus mendapatkan hak yang sama dengan anak-anak lainnya

Setiap anak yang dilahirkan ke dunia memiliki fitrah yang sama sebagai makhluk Tuhan YME.  Pasal 28 B ayat (2) UUD 1945 menyebutkan bahwa "Setiap anak berhak ataskelangsungan hidup tubuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi''.

            Kemudian pada bab terahir yaitu bab 9 berisi tentang hak dan kedudukan yang timbul pada anak luar kawin pasca putusan mahkamah konstitusi, Hak anak kawin untuk menuntut kewajiban pemeliharaan ( alimentasi) dari ayah biologinya Ruang Lingkup Hak dan kewajiban Orang Tua dan Anak Menurut pengertian bahasa "alimentasi" adalah pemeliharaan atau pemberian penghidupan pengertian alimentasi sama dengan pengertian hadhanah dalam hukum Islam , sehingga dapat diartikan  sebagai suatu hak dan kewajiban secara timbal balik antara anak dan orang tua untuk melakukan pemeliharaan dan memberikan penghidupan yang layak dan wajar sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya.  Hak dan kewajiban alimentasi sebagai bagian dari kekuatan orang tua terhadap anaknya melakukan pemeliharaan dan memberikan penghidupan yang layak dan wajar sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya.  Hak dan kewajiban alimentasi sebagai bagian dari kekuatan orang tua terhadap anaknya Bentuk tanggung jawab orang tua kepada anak luar kawin dalam konsepsi islam

Dalam kontruksi hukum Islam memang agak sulit untuk menempatkan posisi anak luar kawin sesuai dengan apa yang dihendaki oleh Putusan Mahkamah Konstitusi , karena anak luar kawin sama sekali tidak bisa dinasabkan kepada ayah biologinya , sehingga dia  tidak mungkin bisa menjadi ahli waris dari ayah biologinya. 

Buku ini mengajak kita untuk tidak membeda-bedakan latar belakang lahirnya anak tersebut, tidak semua anak lahir ke dunia bernasib baik. Anak di luar perkawinan memiliki beban berat, ia menenmpati strata terendah, kerap mendapatkan stigma sebagai anak haram, bahkan Bersama si ibu.

 Pada intinya buku ini ingin mengupas semua isu dan konsekuensi legal fenomena yang terkait terminology anak luar kawin dalam perspeltif hukum islam, hukum adat, hukum colonial dan hukum nasional yang berlaku di Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun