Mohon tunggu...
Mochamad Syafei
Mochamad Syafei Mohon Tunggu... Guru - Menerobos Masa Depan

Kepala SMP Negeri 52 Jakarta. Pengagum Gus Dur, Syafii Maarif, dan Mustofa Bisri. Penerima Adi Karya IKAPI tahun 2000 untuk buku novel anaknya yang berjudul "Bukan Sekadar Basa Basi".

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Sehabis Malam, Pagi Kan Menjelang

10 Juli 2015   17:18 Diperbarui: 10 Juli 2015   17:18 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Sepi, sepi, dan sepi.  Sepi merajai.  Sepi merambat ke mana-mana.  Termasuk ke kamar Sevi.  Termasuk ke hati Sevi.  Ya, Sevi sedang dilanda sepi.  Jangan-jangan karena nama panjang Sevi juga.  Kata bunda, nama panjang Sevi itu memang Sevi Sekali Malam Ini.  Hehehe... bercanda, kok.  Nama panjang Sevi itu bukan Sevi Sekali Malam Ini.  Bukan. Tapi seviiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii.  Kan panjang tuh.  Kalau kurang panjang, ya, tinggal dipanjangkan lagi.

Tak tahu.

Sevi sulit sekali untuk memejamkan mata.  Sevi sudah berusaha.  Berusaha sekuat tenaga.  Hanya  untuk memejamkan mata.  Tapi mau dikata apa?  Kedua buah bola mata Sevi yang seperti bola tenis itu, maaf, mata Sevi memang agak belo, seakan memberontak dan tak mau menuruti kemauan tuannya.  Baru kali ini, ya, baru kali ini, mata itu menjadi pembrontak.

“Ah!” keluh Sevi.

Pikiran Sevi pun melayang.  Ada sesuatu yang tidak beres.   Antara ayah dan bundanya.  Tidak seperti biasa.  Tidak seperti hari-hari lalu.  Sudah tiga hari.  Atau mungkin lebih.  Kedua orangtuanya tak saling menyapa.  Ayah dan bundanya tak mau bicara.  Jangankan bicara.  Tidur mereka pun sudah sendiri-sendiri.  Bunda sekarang tidur di kamar tamu. 

Mengapa?  Itulah pertanyaan yang muncul tapi tak pernah menemukan jawaban.  Mungkin karena itulah, maka Sevi malam ini dilanda sepi.  Tak bisa tidur.  Tak bisa mimpi. 

Seandainya....

Seandainya Sevi tahu sebabnya.  Seandainya Sevi tahu sebabnya.  Seandainya Sevi tahu sebabnya.  Sevi pasti akan mencari jalan keluarnya.  Agar kedua orangtuanya.  Agar ayah dan bundanya.  Mesra lagi.  Bercanda lagi.  Saling sapa lagi.  Seperti dulu lagi.

Sevi sedih.  Sedih sekali.  Apalagi ... ah, tapi jangan!  Terpikirkan pun jangan!  Sevi tak ingin.  Tak ingin kalau sampai mereka berpisah. 

Oca.  Adik Sevi semata wayang. Masih kelas tujuh atau kelas satu SMP.  Rambutnya kribo.  Mirip Valentino Rossi.  Selalu ceria.  Selalu tertawa.  Bahkan banyak melawaknya daripada seriusnya.  Segala sesuatu sering dianggapnya sebagai lucu.  Bahkan ketika Sevi menangis pun, Oca selalu menganggapnya lucu.  Sampai tertawa terpingkal-pingkal karena tangisan Sevi.  Sehingga Sevi pun malu dan menghentikan tangisnya.  Daripada ditertawakan adik kribonya ini.

Sevi menyayangi dia.  Sangat.  Rasa sayang Sevi pada adik kribonya ini lebih dari apa pun.  Sevi mau mengorbankan apa pun untuk di kribo ini.  Ketika kecil,  Sevi selalu mengalah pada manusia kurus yang hobi tertawa ini. 

Oca sepertinya juga merasakan hal yang sama.  Merasakan betapa kedua orangtuanya sudah tidak semesra dulu.  Akibatnya, tawa Oca berkurang sedikit.  Tak sebanyak dulu.  Bahkan beberapa kali terlihat merenung. 

“Ada yang aneh ya, Kak?” kata Oca.

“Apa yang aneh, Ca?” Sevi pura-pura tidak tahu.

“Ayah.”

“Kenapa dengan ayah?” Sevi masih mencoba berpura-pura.  Mencoba agar adik kribonya tak sedih.

“Bunda.”

“Kenapa dengan bunda, Ca?”

“Kakak juga tahu.  Jangan pura-pura deh Kak,” kata Oca sambil membereskan buku-bukunya.

Sevi tak bisa menjawab. 

Tak ada kata-kata di dada Sevi.  Sevi justru meneteskan air mata.  Sedih.  Sedih sekali.  Peris hati Sevi.  Tapi Sevi juga tak tahu apa yang harus dilakukannya.  Sevi hanya bisa memendam rasa sedih itu.  Bagaimana kalau mereka betul-betul pisah?  Pertanyaan itu yang selalu muncul di pikiran Sevi.

Sevi memang tak bisa membayangkan nasib yang menimpa Rina juga menimpa dirinya.  Rina, teman akrabnya di SMP.  Rina, anak paling pandai di kelasnya.  Rina, anak paling ceria satu sekolah.  Rina, anak paling jago main basket.  Sekarang menjadi pesakitan.  Setelah ayah dan bunda Rina berpisah. 

“Aku tak sanggup menghadapi ini, Sev,” kata Rina dengan suara lirih saat sevi menjenguknya di rumah sakit ketergantungan narkoba.

“Tapi kamu harus sabar, Rin,” Sevi mencoba membesarkan hati sahabatnya itu.  Sahabatnya yang sekarang tak lagi main basket, tak lagi juara kelas, tak lagi ceria itu.

“Terima kasih, Sev.  Kamu memang sahabatku.  Kamu tak tinggalkan aku saat aku terpuruk.  Maafkan aku, Sev, kalau kemarin-kemarin aku sering membuatmu jengkel,” kata Rina memelas.  Air mata tak henti-henti Rina keluar dari kedua bola mata yang sendu.  Padahal dulu, bola mata itu indah, berbinar, penuh asa.

Haruskah apa yang menimpa Rina menimpa diriku juga?  Akankah aku terpuruk juga seperti Rina? 

Jangan!  Aku tak mau seperti Rina.  Aku harus kuat.  Kalau aku ingin Oca, adikku yang berambut keriting itu kuat, maka aku juga harus kuat.  Aku kakaknya.  Aku harus memberi perhatian pada Oca saat ayah dan bunda sekarang sibuk dengan diri mereka sendiri.

“Iya, De.  Kakak tahu,” kata Sevi sambil memeluk adiknya.

“Terus bagaimana, Kak?” tanya Oca. 

Sevi merasakan.  Oca menangis dalam peluknya.  Baru kali ini Oca meneteskan bulir-bulir bening itu.  Baru kali ini Oca tak tertawa.  Pasti karena ini terlalu berat bagi Oca.  Pasti karena ini tak pernah ada dalam pikirannya. 

“Kakak juga belum tahu, De.”

Sevi mempererat rangkulannya.  Erat sekali.  Sevi seakan tak ingin kehilangan orang yang sangat disayanginya ini.  Air mata Oca pun membuncah.  Tak mungkin terbendung lagi.  Mereka berdua menangis.  Bersama.

Malam ini.  Ya, malam ini Sevi tak bisa memejamkan mata.  Ada yang mengganjal dan tak bisa disingkirkan dari hatinya.  Rasa gundah.  Hati yang resah.

Tapi apa yang mau dilakukan Sevi?

Sevi ingin sekali berbicara dengan ayah.  Atau dengan bunda.  Tapi tak pernah ada kesempatan.  Ayah?  Sekarang ayah lebih senang bekerja di kantornya.  Pulang sering larut.  Saat Sevi sudah pulas.  Sudah bergumul dengan mimpi.

Bunda juga lebih sering mengunci diri.  Entah apa yang dilakukan di kamarnya.  Pulang kantor, langsung masuk kamar.  Keluar kamarnya entah kapan.  Sevi tidak pernah tahu. Benar-benar tak pernah tahu apa yang dilakukan bundanya di kamar. 

Tidak seperti biasanya.  Karena bunda sebetulnya orang yang tak pernah betah berlama-lama di kamar.  Bunda juga sebetulnya orang yang cerewetnya ampun-ampunan.  Bahkan burung pipit yang paling cerewet pun akan kalah oleh kecerewetan bunda.  Eh, sekarang berbalik seratus delapan puluh persen.  Mulutnya betul-betul terkunci.  Terkunci rapat.  Tak ada kata-kata yang dikeluarkan bunda.  Pada Sevi dan pada Oca sekali pun.

Sevi terkadang berpikir kalau rumahnya sudah seperti neraka.  Ah, tapi Sevi kan belum pernah ke neraka, ya?  Yang jelas, rumah Sevi tak seperti dulu lagi.  Rumah yang paling ramai satu kompleks.  Sevi ingat sekali.  Waktu ada pertandingan bola antara Indonesia melawan Malaysia.  Mereka berempat, ayah, bunda, Sevi, dan Oca saling berteriak.  Bertepuk tangan.  Mendukung tim nasional yang sedang berjuang mati-matian.  Walaupun tim Indonesia akhirnya kalah, tapi kegembiraan di antara kami begitu besar.  Teriakan kami bahkan sampai membuat anak tetangga datang dan bertanya ada apa?  Ada pertandingan bola.  Kami pun menjawab dengan tertawa.

Masa-masa seperti itu terus berkelebat.  Silih berganti dengan suasana yang mungkin akan terjadi besok-besok hari.

Tangis kembali muncul dan mengaliri pipi Sevi.  Entah kenapa, air mata ini sekarang begitu akrab dengan Sevi.  Padahal Sevi terkenal ketomboyannya.  Tak pernah ada air mata di wajah Sevi.  Yang ada hanya senyum.

“Kak, Kakak harus melakukan sesuatu,” usul Oca.

Sevi hanya mengangguk.  Sevi ingin membesarkan hati adiknya.  Walaupun Sevi sendiri belum tahu apa yang harus dilakukannya.  Sevi tetap mengangguk.

“Kalau hatimu resah, salatlah!  Adukan seluruh keluh kesahmu pada Yang Maha Mengetahui,” kata Mbah Pardi.  Mbah Pardi yang lebih senang tinggal di kampung.  Mbah Pardi yang tak pernah tinggal salat malam.  Pesan ini baru saja melintas di dalm ingatnnya.

“Hup!”

Sevi pun beranjak.  Melirik jam dinding. Jarum jam menunjukkan angka dua.  Berarti pukul dua malam.  Sevi melangkah.  Keluar kamar.  Menuju kamar mandi.  Mengambil air wudu. 

Sepi masih terus menyelimuti malam.  Tak ada suara apa pun yang bisa mengusir sepi.  Hanya ada suara sengguk yang ditahan.  Terdengar begitu pelan.  Pelan sekali.  Sevio mencoba mencari asal suara itu. 

Hati Sevi  memang rada takut.  Tapi disimpannya dalam-dalam  rasa takut itu.  Tak mungkin ada hantu.  Apalagi pakai acara menangis segala.        

Suara itu ternyata dari kamar tamu.  Tempat tidur bunda.  Pelan-pelan Sevi mengetuk.  Tak dibuka. Lama tak dibuka.  Sevi mencoba membuka pintu itu.  Ternyata pintu tak dikunci. 

“Bunda?” panggil Sevi saat melihat bundanya yang sedang menangis sedih di pinggir tempat tidur.

Bunda pun kaget saat melihat ada Sevi di depannya.

“Iya, Vi,” kata Bunda.

Ada air mata yang tak terseka.  Bundalah memang yang sedang menangis.  Malam-malam begini.  Sevi tak ingin bertanya apa-apa.  Sevi hanya mendekap bundanya.  Begitu erat.  Begitu lekat.

“Kamu bangun, Vi?” tanya Bunda.

“Iya, Bun.”

“Karena tangis Bunda, ya?” tanya Bunda.

“Bukan, Bun.”

“Tangan kamu kok basah, Vi.”

“Sevi mau salat, Bunda.”

“Salat?” Bunda terlihat kaget.

“Iya, Bun.  Sevi selalu ingat pesan Mbah Pardi.  Kata Mbah, kalau hati sedang resah, sebaiknya salat.  Adukan resah kita pada Tuhan.  Biar Tuhan membantu,” kata Sevi.

Bunda mendengarkan.  “Bunda ikut ya?” tanya Bunda.

“Ayo!”  senang sekali hati Sevi.  Mudah-mudahan Bundanya tak sedih lagi.

Mereka berdua salat malam.  Merenungi hati masing-masing. Mengadukan resah masing-masing.  Cukup lama.  Sampai lega hati mereka.  Dan tertidur di kamar salat berdua.  Kamar yang sudah lama tak dijamah oleh keluarga.  Padahal, kamar ini dulu selalu ramai untuk salat berjamaah.  Mengaji.  Ayah selalu mewajibkan kami untuk berjamah pada saat salat Magrib.  Terus mengaji bersama.  Hingga salat Isya tiba.  Tapi sekarang sudah lama tak dihampiri.  Jangan-jangan karena ini maka kami pun tertimpa musibah.

Pagi. 

Sevi dan Bunda bangun.  Lebih tepatnya terbangun.  Oca yang bangun paling dulu.  Oca mencari Sevi ke mana-mana.  Karena tak ketemu, Oca pun berteriak.  Dan teriakan Oca membangunkan Sevi dan bundanya.

Karena masih ada waktu untuk salat Subuh.  Mereka bertiga pun salat Subuh berjamaah.  Oca yang menjadi imam.  Seumur-umur, baru kali ini Oca menjadi imam.

***

“Pertama kita ke mana, Kak?” tanya Oca.  Nafasnya terengah-engah.  Karena jalan kaki jauh sekali.  Baru pertama Oca merasakannya.  Dan memang capai juga.

“Ke rumah Tante Ros,” jawab Sevi yang juga terengah-engah.

“Ngapain, Kak?”

“Ya, bilang baik-baik.  Jangan mengganggu rumah tangga orang?”

“Kakak, tahu tempatnya?”

“Tahu dong.  Kakak kan juga seorang detektif.”

“Halah.”

Mereka berdua terus menyusuri jalan itu.  Tak ada ojek, sehingga mereka berdua berjalan kaki.  Untung jalanan tidak becek.  Walaupun tak ada ojek, tak masalah.

Sampai di depan rumah.  Rumah yang terlihat megah.  Sevi mencoba mencocokkan alamat yang ada di tangan dengan nomor rumah yang ada di depannya.  Cocok.  Berarti ini rumah Tante Ros.  Berdua memasuki halaman.

“Tok, tok, tok!”

Muncul dari balik pintu.  Seseorang.  Seseorang yang sangat dikenal Sevi.  Sevi hendak melangkah mundur seandainya tak ada Oca di belakangnya.  Tapi karena Oca tepat ada di belakangnya, maka Sevi pun terpaku di tempat ia berdiri.

“Zakiiiii?” hanya itu yang keluar dari mulut Sevi.

“Seviiii?” hanya kata itu juga yang keluar dari mulut Zaki.

Keduanya mematung.  Hingga Oca yang bingung.  Oca hanya memelototi dua orang di hadapannya bergantian.  Melihat Sevi yang melongo.  Dan menyaksikan Zaki yang tak kalah melongonya.

“Ehem...!” Oca berdehem.

Baru keduanya menyadarkan diri.

“Kok kamu di sini, Zak?” tanya Sevi.  Malu-malu.  Seperti wajah temannya yang tertangkap sedang nyontek oleh guru pengawas.

“Justru aku yang harusnya bertanya, kok kamu ada di sini, Sev?” Zaki balik bertanya.

Akhirnya diceritakanlah tujuan Sevi hingga sampai di rumah yang ternyata rumah Zaki.  Ketua OSIS di sekolah Sevi.  Dan Zaki pun bercerita panjang lebar bahwa dirinya memang benar anaknya Tante Ros.

Tapi Sevi masih ragu untuk menyampaikan tujuan intinya.  Sehingga Oca yang bicara.

“Kak Zaki, kami sebetulnya sedang mencari Tante Ros.  Maksudnya ...”

“Apa?” potong Zaki yang seakan sudah tahu tujuan kedatangan Sevi dan adiknya.

“Ayahku beberapa kali dapat SMS dari ..” kata Oca.

“Dari mamaku, ya?”  potong Zaki lagi.  Kali ini sambil tertawa.  Keras sekali.  “Oh itu?”

Oca dan Sevi saling pandang.  Ada begitu banyak pertanyaan yang berjubel-jubel di kepala mereka berdua.  Mengapa Zaki tertawa?  Bahkan tertawanya keras sekali?

Hup!

Zaki pun langsung sadar.  Tertawanya terlalu lebar.  Hampir saja seekor lalat nyasar.  Untung tidak sampai masuk mulut lebarnya.

“Maaf.  Bukan maksudku untuk menertawakan kalian.  Maaf.  Sekali lagi, maaf,” kata Zaki dengan penuh takzim.

“Memang ada apa, Zak?” tanya Sevi.

“Begini....” Zaki pun menceritakan semuanya.  Dari awal sampai akhir.  Dari A sampai Z.

Sevi manggut-manggut.

Oca tersenyum saja.

“Oh, begitu?” kata Sevi.  Ternyata adiknya Zaki yang iseng.  Mengirim SMS kepada semua nomor yang ada di HP mamanya.  Dengan kata-kata cinta pula.

“Kamu tahu, tidak, Vi?” tanya Zaki yang masih terlihat ingin meledakkan tawanya.  Tapi ditahan karena takut menyinggung Sevi dan Oca.

“Apa?”

“Kata-kata cinta yang ditulis Mona itu diambil dari buku,” kata Zaki.

“Oh, “ Sevi malu sendiri.

“Besok biar aku, bersama, adik, dan ibuku ke rumahmu,” kata Zaki.

“Mau apa?” tanya Sevi yang ke-GR-an.

“Ya, mau menjelaskan semuanya.  Mau meminta maaf.  Karena ulah adikku, semua orang jadi kerepotan,” jelas Zaki.

Oca hanya senyum.  Melihat ada di binar di wajah kakaknya.  Jangan-jangan, Kakak mencin .... Ah, Oca tak mau meneruskan.  Biar sejarah yang akan menuliskannya.

Iya, kan?

Oca membayangkan wajah Bunda.  Menebar senyum seperti semula.  Membayangkan wajah Ayah.  Keras tapi selalu bercanda.  Kak Sevi, apalagi.  Kak Sevi pasti yang paling bahagia.  Karena Kak Sevi bisa lebih dekat dengan Kak Zaki.

“Terima kasih, Tuhan,” kata Oca dalam hati.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun