Sepi, sepi, dan sepi. Sepi merajai. Sepi merambat ke mana-mana. Termasuk ke kamar Sevi. Termasuk ke hati Sevi. Ya, Sevi sedang dilanda sepi. Jangan-jangan karena nama panjang Sevi juga. Kata bunda, nama panjang Sevi itu memang Sevi Sekali Malam Ini. Hehehe... bercanda, kok. Nama panjang Sevi itu bukan Sevi Sekali Malam Ini. Bukan. Tapi seviiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii. Kan panjang tuh. Kalau kurang panjang, ya, tinggal dipanjangkan lagi.
Tak tahu.
Sevi sulit sekali untuk memejamkan mata. Sevi sudah berusaha. Berusaha sekuat tenaga. Hanya untuk memejamkan mata. Tapi mau dikata apa? Kedua buah bola mata Sevi yang seperti bola tenis itu, maaf, mata Sevi memang agak belo, seakan memberontak dan tak mau menuruti kemauan tuannya. Baru kali ini, ya, baru kali ini, mata itu menjadi pembrontak.
“Ah!” keluh Sevi.
Pikiran Sevi pun melayang. Ada sesuatu yang tidak beres. Antara ayah dan bundanya. Tidak seperti biasa. Tidak seperti hari-hari lalu. Sudah tiga hari. Atau mungkin lebih. Kedua orangtuanya tak saling menyapa. Ayah dan bundanya tak mau bicara. Jangankan bicara. Tidur mereka pun sudah sendiri-sendiri. Bunda sekarang tidur di kamar tamu.
Mengapa? Itulah pertanyaan yang muncul tapi tak pernah menemukan jawaban. Mungkin karena itulah, maka Sevi malam ini dilanda sepi. Tak bisa tidur. Tak bisa mimpi.
Seandainya....
Seandainya Sevi tahu sebabnya. Seandainya Sevi tahu sebabnya. Seandainya Sevi tahu sebabnya. Sevi pasti akan mencari jalan keluarnya. Agar kedua orangtuanya. Agar ayah dan bundanya. Mesra lagi. Bercanda lagi. Saling sapa lagi. Seperti dulu lagi.
Sevi sedih. Sedih sekali. Apalagi ... ah, tapi jangan! Terpikirkan pun jangan! Sevi tak ingin. Tak ingin kalau sampai mereka berpisah.
Oca. Adik Sevi semata wayang. Masih kelas tujuh atau kelas satu SMP. Rambutnya kribo. Mirip Valentino Rossi. Selalu ceria. Selalu tertawa. Bahkan banyak melawaknya daripada seriusnya. Segala sesuatu sering dianggapnya sebagai lucu. Bahkan ketika Sevi menangis pun, Oca selalu menganggapnya lucu. Sampai tertawa terpingkal-pingkal karena tangisan Sevi. Sehingga Sevi pun malu dan menghentikan tangisnya. Daripada ditertawakan adik kribonya ini.
Sevi menyayangi dia. Sangat. Rasa sayang Sevi pada adik kribonya ini lebih dari apa pun. Sevi mau mengorbankan apa pun untuk di kribo ini. Ketika kecil, Sevi selalu mengalah pada manusia kurus yang hobi tertawa ini.