“Aku tak sanggup menghadapi ini, Sev,” kata Rina dengan suara lirih saat sevi menjenguknya di rumah sakit ketergantungan narkoba.
“Tapi kamu harus sabar, Rin,” Sevi mencoba membesarkan hati sahabatnya itu. Sahabatnya yang sekarang tak lagi main basket, tak lagi juara kelas, tak lagi ceria itu.
“Terima kasih, Sev. Kamu memang sahabatku. Kamu tak tinggalkan aku saat aku terpuruk. Maafkan aku, Sev, kalau kemarin-kemarin aku sering membuatmu jengkel,” kata Rina memelas. Air mata tak henti-henti Rina keluar dari kedua bola mata yang sendu. Padahal dulu, bola mata itu indah, berbinar, penuh asa.
Haruskah apa yang menimpa Rina menimpa diriku juga? Akankah aku terpuruk juga seperti Rina?
Jangan! Aku tak mau seperti Rina. Aku harus kuat. Kalau aku ingin Oca, adikku yang berambut keriting itu kuat, maka aku juga harus kuat. Aku kakaknya. Aku harus memberi perhatian pada Oca saat ayah dan bunda sekarang sibuk dengan diri mereka sendiri.
“Iya, De. Kakak tahu,” kata Sevi sambil memeluk adiknya.
“Terus bagaimana, Kak?” tanya Oca.
Sevi merasakan. Oca menangis dalam peluknya. Baru kali ini Oca meneteskan bulir-bulir bening itu. Baru kali ini Oca tak tertawa. Pasti karena ini terlalu berat bagi Oca. Pasti karena ini tak pernah ada dalam pikirannya.
“Kakak juga belum tahu, De.”
Sevi mempererat rangkulannya. Erat sekali. Sevi seakan tak ingin kehilangan orang yang sangat disayanginya ini. Air mata Oca pun membuncah. Tak mungkin terbendung lagi. Mereka berdua menangis. Bersama.
Malam ini. Ya, malam ini Sevi tak bisa memejamkan mata. Ada yang mengganjal dan tak bisa disingkirkan dari hatinya. Rasa gundah. Hati yang resah.