Oca sepertinya juga merasakan hal yang sama. Merasakan betapa kedua orangtuanya sudah tidak semesra dulu. Akibatnya, tawa Oca berkurang sedikit. Tak sebanyak dulu. Bahkan beberapa kali terlihat merenung.
“Ada yang aneh ya, Kak?” kata Oca.
“Apa yang aneh, Ca?” Sevi pura-pura tidak tahu.
“Ayah.”
“Kenapa dengan ayah?” Sevi masih mencoba berpura-pura. Mencoba agar adik kribonya tak sedih.
“Bunda.”
“Kenapa dengan bunda, Ca?”
“Kakak juga tahu. Jangan pura-pura deh Kak,” kata Oca sambil membereskan buku-bukunya.
Sevi tak bisa menjawab.
Tak ada kata-kata di dada Sevi. Sevi justru meneteskan air mata. Sedih. Sedih sekali. Peris hati Sevi. Tapi Sevi juga tak tahu apa yang harus dilakukannya. Sevi hanya bisa memendam rasa sedih itu. Bagaimana kalau mereka betul-betul pisah? Pertanyaan itu yang selalu muncul di pikiran Sevi.
Sevi memang tak bisa membayangkan nasib yang menimpa Rina juga menimpa dirinya. Rina, teman akrabnya di SMP. Rina, anak paling pandai di kelasnya. Rina, anak paling ceria satu sekolah. Rina, anak paling jago main basket. Sekarang menjadi pesakitan. Setelah ayah dan bunda Rina berpisah.