“Si jelek rupa itu?” Ica mencoba meyakinkan. Kali ini dengan hati agak geram. Kenapa mesti satu kelompok dengan Fitri? Ica paling sebel dengan Fitri. Manusia lemah. Manusia kursi roda. Kemana-mana harus memakai kursi roda.
“Kenapa?” ada rasa heran dalam kata-kata Haris.
“Kalau ada Fitri, lebih baik saya ikut kelompok lain,” kata Ica.
Rupa-rupanya Ica memilih jauh dari Haris, jika di tempat yang sama ada Fitri pula. Ica rela tak satu kelompok dengan Haris hanya gara-gara ada Fitri di kelompok itu.
Sebenarnya. Ya, sebenarnya hampir semua anak di kelas sembilan tujuh itu tahu. Tahu jika Ica memang paling benci Fitri. Bukan hanya benci. Ica sering bicara dengan teman-teman satu genk-nya kalau dirinya sangat jijik dengan Fitri.
Pernah. Di awal tahun. Ica meminta kepada Pak Tri Supriyohadi, staf kesiswaan, agar dipindah kelasnya dari kelas sembilan tujuh. Tapi Pak Tri bersikeras menolaknya. Karena alasannya hanya sepele. Tak mau sekelas dengan Fitri.
“Si jelek rupa?” Ica lebih senang mengucapkan julukan itu. Ica lebih sering menyebut si miskin, si jelek, atau nama merendahkan lainnya.
Dan harapan satu kelompok dengan Haris, pupuslah. Bunga-bunga pun kuncup kembali. Sepi lagi hati. Cinta Ica pun harus berakhir sebelum berkembang.
***
Sore. Bunda Ica belum pulang. Ayah Ica apalagi. Mereka terlalu sibuk untuk pulang sore. Saat Ica sudah terlelap, mereka baru pulang. Mereka mungkin tak ingat lagi hari ulang tahun anak satu-satunya ini. Ica sedih. Lebih sedih lagi saat ingat, permintaannya tak juga kunjung dipenuhi. Padahal harganya juga tak seberapa.
Sore. Ica hanya melotot melihat acara televisi. Tak ada yang disukai. Bosan dengan sinetron yang begitu-begitu saja. Dari tadi chanel dibolak-balik. Sampai-sampai Bibi ikut bingung melihat tingkah Ica hari ini.