Chorunisa Ramadhani.
Sekarang bukan lagi perempuan centil nan cantik yang selalu didekati banyak teman laki-laki. Ica sekarang adalah Ica yang hanya punya satu kaki. Kaki Ica pun baru saja diamputasi. Kaki Ica sekarang tinggal satu. Dan Ica pun mulai sekarang harus berhantung pada kursi roda.
Masih adakah harapan?
Selalu. Fitri sudah membuktikannya. Kan kaki bukan segalanya. Selagi kita punya otak kenapa kita takut tak punya kaki? Keunggulan yang diberikan Tuhan kepada manusia justru otak, bukan kaki. Seperti tertulis dalam buku karya Fitri.
Masih ada pagi. Pagi Februari. Yang indah. Dengan irama ritmik dari rintik yang tersisa. Jadi kenapa mesti putus asa? Hanya orang-orang kalah yang lari dari kenyataan. Ica tak mau jadi orang kalah. Ica tak mau menyerah. Seperti Fitri. Ah, Ica jadi mengagumi dia. Tak apalah? Toh yang dicontoh kebaikannya.
“Assalamualaikum.”
Ica tak menyadari kalau ada tamu. Ica asyik dengan buku yang dibacanya.
“Assalamualikum.”
Ica menurunkan buku yang dibacanya. Fitri ada di pintu. Sendiri. Fitri memang tak ingin menjadi anak manja. Walau dengan kursi roda, Fitri tak mau tergantung pada siapa pun. Segalanya dilakukan sendiri. Jika betul-betul tak mampu, baru Fitri meminta tolong.
Itulah Fitri.
“Boleh masuk?” tanya Fitri.