Imron yang tak tahu jika Dwi marah benaran tetap berusaha mengambil buku matematika Dwi. Tapi apa yang terjadi? Dwi menampar Imron dengan buku itu. Semua teman yang sudah ada di kelas kaget. Sangat kaget. Apalagi Imron. Hampir saja Imron balas menampar Dwi. Seandainya, ya, seandainya Sabrina tak segera melerai dan membawa Imron keluar kelas.Â
Di luar kelas itulah Sabrina berhasil meyakinkan Imron tentang kondisi Dwi yang agak beda. Imron pun mau memaafkan.  Sabrina senang. Sabrina berjanji. Memang hanya dalam hati. Sabrina akan berupaya. Berupaya sekuat tenaga. Untuk mengembalikan teman baiknya itu menjadi seperti dulu lagi.
Dwi menggeleng.
"Mau main ke rumahku?" tanya Sabrina lagi.
Dwi hanya terbengong. Tak tahu harus berkata apa. Sabrina memang teman akrabnya. Tapi belum pernah sekali pun Dwi diajak ke rumahnya. Padahal sudah lama Dwi ingin main ke rumah Sabrina. Ingin melihat betapa enaknya menjadi orang kaya.
"Mau?"
Dwi masih ragu. Dwi belum percaya dengan apa yang didengarnya. Kalau Dwi belum pernah mengajak Sabrina ke rumahnya, itu karena Dwi tak ingin Sabrina tahu rumahnya yang kusam. Bangkunya yang sudah sobek-sobek. Kamarnya yang sumpek. Ah, tak ada yang bisa dibanggakan dari rumah Dwi. Tapi Sabrina sekarang mengajak Dwi ke rumahnya.  Terus harus bagaimana, ya?
"Kamu mengajakku?" tanya Dwi.
"Iya. Main ke rumahku, yuk!" kata Sabrina meyakinkan.
"Mau," jawab Dwi berbinar.
Sepulang sekolah Dwi mengikuti Sabrina. Hendak ke rumah Sabrina. Sayang, hari ini Sabrina tak dijemput ayahnya. Ayah Sabrina sedang tugas keluar kota. Sehingga mereka berdua pun berjalan kaki.