"Kamu tak apa kan harus jalan kaki?" tanya Sabrina.
"Setiap hari kan aku sudah jalan kaki," jawab Sabrina sambil tersenyum. "Justru kamu yang biasanya naik mobil."
Sabrina hanya diam. Melangkahkan kaki menyusuri gang. Menyusuri gang-gang sempit. Gang senggol. Karena kalau berpapasan dengan orang lain pasti akan bersenggolan. Di antara rumah petak yang tak jauh beda dengan rumah Dwi. Bahkan lebih sumpek.Â
Dwi sebetulnya agak heran juga. Kenapa Sabrina melewati lorong-lorong sempit nan kumuh itu. Padahal Sabrina kan anak orang kaya. Punya mobil segala. Masa ke rumahnya lewat lorong kumuh ini? Pikir Dwi yang tak terucap dan hanya disimpan dalam hati.
"Mau ke mana?" tanya Dwi yang ternyata tak sanggup juga menyimpan rasa penasarannya.
"Kan tadi sudah kubilang, ke rumahku, " jawab Sabrina yang memang sudah tahu arah pertanyaan Dwi.
Bukannya menuju jalan raya. Sabrina malah mengajak Dwi menelusup ke daerah yang lebih kumuh. Bahkan bau sampah sudah tercium agak menyengat. Apalagi sehabis hujan. Bau sampah seperti menusuk hidung. Pasti sudah dekat tempat penampungan sementara sampah.
Sabrina berhenti di salah satu gubuk. Bukan rumah. Bangunan dari triplek bekas. Bahkan triplek ditempel dengan cara yang sembarangan. Sabrina membuka pintu yang tak terkunci. Masuk sambil membungkuk karena atap rumah yang terlalu rendah.Â
Bau busuk sampah masih sangat menusuk hidung Dwi. Padahal Dwi sudah sekeras tenaga memencet hidungnya yang sudah pesek itu. Tapi tetap saja, bau sampah mampu menyerobot ke dalam lubang hidungnya. Malah Dwi yang megap-megap sendiri.Â
Dwi hanya melongo di depan rumah gubuk yang pintunya sudah dibuka Sabrina.
"Ayo masuk!" ajak Sabrina.